Hukum
Islam
Oleh
:
Siti
Pahriyah
4115101497
Program Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
Jurusan Ilmu Sosial Politik
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
2012
1.
Pandangan
hokum berdasarkan paham Ketuhanan Yang Maha Esa dan pandangan paham
kemasyarakatan ( filosofi dalam hukum)
Pandangan hokum berdasarkan pada
Ketuhanan yang Maha esa adalah tersirat dalam Al-qur’an dalam An-Nisa ayat 105
di ayat tersebut dijelaskan bahwa ,”sesungguhnya kami telah menurunkan kitab
ekpadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu dpat menetapkan hokum kepada
manusia dengan apa yang telah ditetapkan”
Sedangkan menurut pandangan
kemasyarakatan adalah segala bentuk aturan atau seperangkat aturan yang di
dalamnya berfungsi untuk mengatur, sebagai pedoman hidup dan terdapat sanksi
yang tegas di dalamnya. Dalam sumber hokum kemasyarakatan tidak bias bersumber
pada Al-Qur’an,sunnah, ijma, qiyas, hanya berlaku hokum yang dibuat masuia,
pemerintah, dsb. Seperti hokum pajak, traktat, hokum pidana dan perdata, dsb.
2.
Makna
dan perbedaan hukum islam, syariah, dan fiqih.
Hukum islam adalah hokum yang bersumber
dan menjadi bagian dari agama islam. Jika berbicara tentang hokum, yang
terlintas dari peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah
laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma yang mengatur
tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat. Dalam konsepsi hukum islam dasar
dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah.
Dalam system hokum islam terdapat lima
akidah yang dipergunakan untuk mengukur perbutan manusia baik di bidang ibadah
maupun di bidang muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut, dinamakan al-ahkam
al-khamsah atau penggolongan hokum yang lima yakni (1) jaiz atau mubah atau
ibadah, (2) sunnah (3) makruh (4) wajib (5) haram.
Untuk memahami hokum islam dengan baik
dan benar seseorang harus memahami beberapa istilah yang berkenaan dengan hokum
islam. Dalam pembahasan kerangka dasar agama islam disebut bahwa komponen kedau
agama islam adalah syariat yang terdiri dari dua bagian yakni ibadah dan
muamalah. Adapun ilmu yang membahas tentang syariat disebut dengan ilmu fiqih.
Syari’at adalah hokum-hukum yang
disyariatkan Allah kepada hamba-hambaNya yang didatangkan oleh nabi, baik
berkaitan dengan cara-cara amal, yang dinamai far’iyah amaliyah yang untuk
didewakan ilmu fiqih maupun yang berpautan dnegan I’tikadiyah yang didewakan
ilmu kalam dan syara dinamai pula dengan dien dan millah.
Sedangkan ilmu fiqh adalah ilmu tentang
hokum islam yang disimpulkan dnegan jalan rasio berdasarkan dnegan alsan-alasan
terperinci. Perbedaan antara syrai’at islam dengan fiqih islam adalah :
a. Syari’at
terdapat dalam Al-qur’an dan kitab-kitab hadis. Kalau seseorang berbicara
syari’at yag dimaksud firman Allah dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan
fiqih ada pada kitab-kitab fiqih. kalau seseorang berbicara tentang fiqih, yang
dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at.
b. Syariat
bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari fiqih. Fiqih
bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada apa yang biasanya disebut
perbuata hokum.
c. Syari’at
adalah ketentuan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku abadi. Fiqih
adalah karya manusia yang dapat berubah atau diubah atau berubah dari masa ke
masa.
d. Syari’at
hanya satu, sedagkan fiqih lebih dari satu seperti terlihat dalam aliran-aliran
hokum yang disebut mazhab-mazhab atau mazahib.
e. Syari’at
menunjukkan kesatuan dalam, sedangkan fiqih menunjukkan keragamannya.
3.
Azas
dan prinsip hukum islam
Asas hokum islam ialah dasar atau
landasan yang memberikan kepastian bahwa Hukum Islam itu dapat dilaksankan oleh
setiap individu yang mukallaf. Adapun asas-asas Hukum Islam adalah sebagai
berikut :
a. Meniadakan
kesempitan dan kesukaran
Asas ini sesuai
dnegan firman Allah dalam Al-qur’an ,” Dan Dia tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan Allah tidak membebani seseorang melainkan dnegan
kesanggupannya” (Al-Baqarah : 286). Berdasarkan asas meniadakan kesukaran atau
kesempitan inilah, maka ajaran islam dalam kondisi-kondisi tertentu memberikan
kelonggaran atau kemudahan (dispensasi) kepada umat islam ketika menghadapi
keadaan darurat (terpaksa) atau mempunyai hajat (keadaan yang memerlukan
kelonggaran). Misalnya orang yang sedang bepergian, sakit, hamil, menyusui,
boleh tidak berpuasa berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 185
,” Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
wajiblah ia berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari yang
lain. Allah mneghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu”.
b. Sedikit
pembebanan
Asas ini
dimaksudkan agar kewajiban agama kepada umat manusia itu tidak menyulitkan dan
menyusahkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat
101 ,”Hai orang-orang yang beriman jangalah kamu bertanya pada Nabimu tentang
hal-hal yang jika dijelaskan kepadamu, niscaya menyusahkanmu”. Ayat ini
mengingatkan kepada manusia agar manusia menahan diri untuk tidak menanyakan
masalah yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-qur’an maupun Sunnah.
Berarti bila peraturan perundang-undangan belum diketahui tidak perlu
dipertanyakan atau dibahas ketentuan mana yang harus dilaksanakan,
permasalahannya untuk sementara bias dibiarkan terlebih dahulu, kemudian permasalahan
itu dapat dipecahkan melaui kaidah-kaidah umum demi memberikan kelonggaran
kepada manusia.
c. Bertahap
dalam menetapkan hokum
Asas
ini dapat dilihat dalam hal menetapkan hokum-hukum dalam ibadah. Misalnya
kewajiban shalat pemula hanay dua kali sehari, yakni shalat pada pagi hari dua
rakaan dan shalat pada sore hari dua rakaat juga. Kemudian setelah yang
melakukan shalat itu memasyarakat barulah diperintahkan shalat lima kali sehari
semalam. Kewajiban berpuasa itu semula hanya tiga hari di setiap bulan.
Kemudian setelah puasa ini mulai memasyarakat barulah ada perintah puasa
sebulan dalam bulan Ramadhan. Hokum-hukum muamalah ini juga ditetapkan secara
bertahap, teruatama mengeai tingkah laku dan perbuatan manusia yang telah
membudaya.
d. Sejalan
dengan kepentingan dan kemaslahatan umat manusiaalan dengan kemaslahatan umat
mausia, oleh akrena itu sebagian hokum islam ada yang dinasakhkan (dihapus atau
diubah).
Pembentukan dan
pembinaan Hukum islam itu se
e. Mewujudkan
keadilan
Manusia menurut
pandangan Allah adalah sama, tidak boleh ada perbedaan perlakuan dalam hokum, baik
karena keturunan, pangkat, kekayaan maupun kedudukan social.
Ø Keadilan
hokum adalah system hokum yang berlaku harus seragam (unifikasi) untuk seluruh
warga Negara, tidak boleh ada diskriminasi
Ø Keadilan
social adalah memberikan kesempatan yang sama untuk mengkatualisasikan dirinya.
Ø Keadilan
dalam pemerintahan adalah semau warganegara mempunyai kesempatan yang sama
untuk duduk dalam struktur pemerintahannya.
Prinsip-prinsip
Hukum Islam
Yang
dimaksud dengan prinsip hokum islam adalah cita-cita, pokok pikiran serta
keyakinan yang menjiwai hokum islam itu.
a. Tauhid
b. Berkomunikasi
langsung
c. Mengahrgai
fungsi akal
d. Menyempurnakan
keislaman
e. Menjadikan
suatu kewajiban untuk membersihkan jiwa
f. Menghargai
fungsi akal
g. Menyempurnakan
keislaman
h. Menjadikan
suatu kewajiban untuk membersihkan jiwa
i. Memperhatikan
kepentingan agama dan dunia
j. Persamaan
dan keadilan
k. Amal
ma’ruf nahi munkar
l. Musyawarah
m. Toleransi
n.
Kemerdekaan dan
kebebasan
4. Sumber-sumber hukum
islam
Dalam kepustakaan hokum islam di
Indonesia, sumber hokum islam, sumber hokum islam kadang-kadang disebut dengan
dalil hokum islam atau pokok hokum islamatau dasar hokum islam. Menurut surat
Al-Nisa ayat 59, setiap muslim wajib menaati (mengikuti) kemauan atau kehendak
Allah, kehendak Rasul dan Ulil Amri yakni orang yang mempunyai kekuasaan atau
“penguasa”. Kehendak Rasul kini tertulis dalam kitab-kitab hadis dan kehendak
penguasa sekarang termaktub dalam hasil karya orang yang memenuhi syarat untuk
berijtihad karena telah mempunya “kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan untuk
mengalirkan ajaran hokum islam dari sumber utamanya yakni Al-qur’an dan
Al-Sunnah.
Dari penjelasan di atas sumber hokum
islam ada tiga, yakni (1) Al-Qur’an, (2) al-Sunah, (3) akal fikiran manusia
yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal fikiran ini dalam kepustakaan serig
disebut dengan istilah al-ra’yu. Ketiga sumber hokum islam itu merupakan satu
rangkaian kesatuan, dengan urutan seperti yang sudah disebutkan dan tidak boleh
dibalik.
Sedangakn menurut Muhammad Idris
Al-Syafi’i dalam bukunya yang bernama Kitab Al-Risalah fi Usul al-Fiqh
berpendaapt bahwa sumber hokum islam ada empat yakni (1) Al-Qur’an, (2)
al-Sunnah, (3) al-ijma’ (4)al-qiyas. Pendapat menurut Imam Syafi’i ini juga
didasarkan pada surat al-Nisa:59 yang berarti “Hai orang-orang yang beriman,
taatlah pada Allah, dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu. Jika
kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu, maka kembalikanlah perbedaan pendapat
itu kepada Allah dan Rasul” . dalam ayat tersebut menunjuk pada Al-Qur’an dan
sunnah sebagai sumber hokum islam sedang kata-kata “jika kamu berbeda pendapat
mengenai sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul ”. menunjuk kepada
al-qiyas sebagai sumber hokum islam.
Di Indonesia, kedua sumber-sumber hokum
islam tersebut tertulis dalam kepustakaan hokum islam. Sebenarnya jika dikaji
dnegan seksama antara kedua sistematika sumber hokum islam tersebut adalah
sama. Baik yang menyebutkan sumber hokum islam tiga maupun empat pada
prinsipnya mereka mengambil sumber yang sama yaitu Al-qur’an surat Al-Nisa ayat
59 dan hadits Mu’adz bin Jabal. Mereka sama-sama berpendapat bahwa sumber utama
dan pertama adalah Al-Qur’an dan al-Sunnah. Sumber tambahan yang lain pada
hakekatnya juga sama, karena apa yang disebut oleh Syafi’I ijma’ dan qiyas
sesungguhnya merupakan jalan atau metode yang dipergunakan oleh akal pikiran
manusia.
5.
Makna,
tujuan, dan hukum perkawinan menurut islam
Hokum perkawinan islam menurut Abdul
Wahid Selayan SH adalah perikatan suci disimpulkan antara pria dan wanita
sesuai yang telah ditentukan oleh Allah untuk dapat hidup bersama guna mencapai
masyarakat yang susila..
Tujuan melaksanakan perkawinan adalah
a. Penyaluran
kebutuhan biologis secara halal
Perkawinan
menurut islam adalah jalan yang dibenarkan untuk menyalurkan kebutuhan
biologis/seks. Dengan perkawinan mereka dapat menjaga diri dari perbuatan yang
dilarang oleh agama.
b. Melanjutkan
keturunan dengan cara yang syah
Keturunan ynag
dapat dinyatakan “sah ” adalah yang didapat dari perkawinan yang sah.
c. Psikologi
Menurut islam,
perkawinan dapat memnuhi salah satu kebutuhan psikologi manusia untuk
memperoleh ketenangan hidup.
d. Untuk
mengikuti sunnah rasul, yaitu mengikuti apa yang termasuk perbuatan baik.
Adapun hokum melakukan perkawinan
menurut sebagian ahli fiqh bagi seseorang muslim adalah mubah, hal ini
didasarkan firman Allah, dalam Q.S. an-Nur ayat 32.sebagian lainnya menyatakan
hokum melaksanakn perkawinan adalah sunnah. Akan teta[I bila dikaitkan dnegan
dalil Al-Ahkamulhamzah, atau dari segi patokan yang lima hokum, maka hokum
melakukan kawin akan menjadi :
Ø Wajib
adalah orang yang sudah mempunyai kesanggupan dan ia mudah tergoda untuk
berbuat sesautu yang melanggar kesusilaan (birahi). Oleh akrena itu
melaksanakan perkawinan baginya adalah solusi untuk menghindari dosa.
Ø Sunnah.
Yang dikategorikan sunnah adalah seseorang yang telah mempunyai kemampuan,
tetapi masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan melanggar kesusilaan.
Mengenai gertian pekemampuan cakupannya cukup luas, diantaranya adalah biaya
hidup, bgaul, fisik, dan lain-lain.
Ø Haram.
Melakukan perkawinan diharamkan bagi orang yang tidak akan mendapatkan
kehidupan berumah tangga yang tidak sesuai dengan ketentuan agama. Perkawinan
ini berindikasi menimbulkan bahaya (kemudharatan) secara fisik maupun
psikologis bagi pasanagn hidupnya.
Ø Makruh.
Adalah seseorang yang belum memiliki
kesanggupan dalam menyelenggarakan dan membina kehidupan berumah tangga.
Ø Mubah
bagi orang-orang yang sudah memiliki kesanggupan untuk melaksanakan perkawinan
tidak mempunyai halangan untuk kawin dan belum ada keinginan untuk kawin.
6.
Hal-hal
yang perlu diperhatikan sebelum perkawinan ( memilih jodoh, kemampuan, muhrim,
dan sekufu atau kesebandingan)
Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum
menikah dpat juga disebut dnegan “syarat-syarat nikah”.diantaranya
a.perihal
sejodoh
ukuran sejodoh ada sifatnya mutlak yang
harus diperhatikan, dan ada juga yang bersifat relative atau sebaiknya
diperhatikan.
Ø Sifatnya
mutlak diperhatikan
·
Ukuran kufu.
Ukuran sekufu
menjadi syarat mutlak untuk sahnya suatu perkawinan. Menurut pandangan islam.
Ketentuan ini terdapat dalam Q.S Al-Baqara ayat 221. Para ahli fiqh berpendapat
bahwa wanita islam tidak sekufu dnegan lelaki non islam. Hal ini tercantum dalam
Q.S al-Maidah ayat diperhatikan, apabila tidak diindahkan maka perkawinan tidak
dapat dilangsungkan, atau otomatis batal (tidak sah).
Ø Yang
bersifat relative (tidak tegas dalam Al-Qur’an )
Sejodoh yang
bersifat relative adalah berdasarkan ahdis nabi yang berbunyi ,”wanita itu
dinikasi karena empat perkara yaiyu : hartanya, kebangsawanannya,
ke”cantikannya, dan agamanya. Maka
pilihlah yang beragama mudah-mudahan engaku berpenghasilan” (H.R jamaah
ulama hadist kecuali Tarmidzi)
Mengenai kesanggupan sebenarnya pengertiannya sangat
luas, tapi dalam fikih berkenaan dengan masalah kesanggupan materi dan rohani.
a. Kesanggupan
dalam bidang materi sebagai sautu syarat pernikahan yang ditunjukkan pada calon
suami. Artinya seorang suami mempunyai kewajiban untuk menafkahi istri, anak,
dan anggota keluarga yang lainnya. Yang termasuk dnegan nafkah ialah makanan,
pakaian, dan tempat tinggal
b. Kesanggupan
rohani atau bergaul yang baik adalah kesanggupan rohani calon mempelai untuk
membina kehidupan rumah tangga.
Sedangkan tentang mahram adalah “yang terlarang”,
jadi mahram adalah wanita-wanita atau lelaki yang terlarang untuk dinikahi.
·
Terlarang untuk
selamanya.
ü nasab
(keterunan). Ini berdasarkan ketentuan Q.S an-Nisa ayat 23.
c. Ibu-ibu,
maksudnya termasuk ibu-ibu dari ibu, ayah dan seterusnya ke atas
d. Anak-anak
perempuan, maksudnya adalah mencakup pula susu perempuan seterusnya ke bawah dari
anak laki-laki atau perempuan
e. Saudara-saudaramu,
maksudnya adalah saudara perempuan sekandung atau se-ayah maupun se-ibu.
f. Saudara-saudara
ayah yang perempuan, maksudnya mencakup saudara kakek yang perempuan
g. Saudara-saudara
ibu perempuan,termasuk saudara-saudara nenek yang perempuan
h. Anak-anak
perempuan dari saudara perempuan danb saudara laki-laki maksudnya saudara
sekandung se-ayah dan se-ibu.
ü Karena
hubungan perkawinan
a. Bekas
istri ayah
b. Anak
tiri yang telah dicampuri
c. Bekas
istri anak (menantu)
d. Ibu
dan istri-istri
e. Karena
sepersusuan
·
Larangan yang bersifat
sementara maksudnya adalah karena dalam waktu tertentu karena adanya suatu
sebab yang mengharamkan. Jika sebab itu hapus maka perkawinan dapat
dilaksanakan, diantaranya :
ü Dua
wanita yang bersaudara, baik saudara sekandung, se-ayah, se-ibu dan
sepersusuan. Larangan tersebut bias hapus bila dengan yang satu telah bercerai
(cerai hidup atau mati)
ü Wanita
yang bersuami
ü Wanita
yang dalam iddah
ü Perempuan
musyrik
ü Wanita
yang telah ditalaq tiga
ü Mengawini
yang lebih dari empat orang
ü Orang
yang ihram
ü Orang
pezina
7.
Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pernikahan ( prisip, syarat, rukun,
wajib, dan yang disunnahkan dalam perkawinan )
Rukun
iddah adalah hal yang harus diperhatikan
atau yang harus ada atau harus dilaksanakan sewaktu acara pernikahan.
a. Shiqah
aqad nikah. Menyatakan sepakat dari pihak calon suami atau walinya dengan pihak
calon istri dari walinya untuk mengikat diri dnegan tali perkawinan. Dengan
adanya pernyataan tersebut maka kedau belah pihak telah rela dan sepakat
melangsungkan kehidupan rumah tangga, serta bersedia mebgikuti
ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan dengan ketetapan suami-istri.
b. Saksi.
Bersabda Rasullah SAW,”tidak sah nikah kecuali ada wali dan dua saksi yang
adil” (H.R Ahmad bin Hambal).
Syarat-syarat
saksi
Ø Orang
yang mukallaf
Ø Muslim
Ø Bersifat
adil
c. Wali.
Menurut islam wali adalah orang yang telah diberi hak untuk menguasai,
melindungi orang yang dalam keperluan perkawinannya.
Syarat-syarat
menjadi wali
Ø Mukallaf
Ø Islam
bagi orang muslim
d. Mahar.
Sebagian ualam berpendapat mahar (mas kawin) merupakan suatu pemberian wajib
dari suami kepada istri sewaktu maupun setelah melaksanakan akad nikah. Adapun
tentang jumlah mahar pada umumnya ulama fikih mengatakan bahwa tidak ada batas
maksimum ataupun minimum dari mahar. Menurut Imam Syafi’I bahwa segala sesuatu
yang dapat dianggap harga bagi pihak ldapat dijadikan mas kawin. Bentuk mahar
pun dapat berbentuk benda kecuali benda yang haram dan tidak berupa benda yang
tidak dapat dimiliki sperti jasa dan ilmu pengetahuan. Macam-macam mahar
menurut ahli fikih ada dua yaitu (1) mahar Musamma yaitu mahar yang ditetapkan
dalam shighat aqad (2) mahar Mitsil adalah mahar yang tidak ditetapkan
jumlahnya dlam shighat aqad. Jumlah mahar ini biasanay disesauikan dengan
wanita yang sederajat dengan dia. Sedangkan waktu pemberian mahar sebagian
besar ulama berpendapat bahwa mahar wajib diberikan setelah bercampurnya suami
istri (dukkul). Apabila suami meninggal dan belum member mahar maka hutang
mahar harus diberikan sebelum harta dibagikan kepada ahli waris. Tapi apabila
isri merelakan atau memafkan maka terhapuslah hutang tersebut.
8.
Hak
dan kewajiban suami istri serta hal-hal yang dianjurkan dalam hubungan suami
istri
Keajiban
suami terhadp istrinya ada dua macam yaitu
a. Kewajiban
yang bersifat materi
b. Kewajiban
yang bukan bersifat materi
Kewajiban suami
merupakan hak istrinya. Begitupun sebaliknya kewajiban istri merupakan hak
suaminya.
Kewajiban suami
diantarnya :
a. Menggauli
istrinya dengan cara yang baik
b. Menjaga
rumah tangga dari segala sesautu bentuk maksiat dan marabahaya
c. Suami
wajibb mewujudkan kehidupan perkawinan yang diperintahkan oleh Allah
Kewajiban
suami ini menajdi hak bagi istrinya.
Adapun
kewajiban istri adalah :
a. Menggauli
suaminya dnegan cara yang baik
b. Memberikan
rasa tenang dalam rumah tangga
c. Patuh
dan taat pada suami
d. Menjaga
dirinya dan ahrta suaminya ketika suami tidak ada di rumah
e. Menjauhkan
dirinya dari muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak enak didengar
Kewajiban
istri ini menajdi hak bagi suaminya.
Sedangkan
kewajiban keduanya adalah
a. Memelihara
dan mendidik anak yang telah lahir dari perkawinannya itu
b. Membentuk
kehidupan rumah tangga yang harmonis yang diperintahkan oelh Allah.
9.
Hal-hal
yang dapat menyebabkan putusnya perkawinan dalam islam
Dalam UU no. 1 1994
BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas keputusan
Pengadilan.
Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat
rukun sebagai suami isteri.
(3) Tata cara perceraian di
depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut.
Pasal 40
(1) Gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tata cara mengajukan
gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan
tersendiri.
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan
karena perceraian ialah:
a. Baik ibuatau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung
jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu,
bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut
pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
Pustaka:
yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 9
c.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
10.
Hal-hal
yang terkait dengan iddah dan rujuk
Iddah daalm kitab fiqh artinya adalah
sederhana dan pedek atau masa tunggu yang dilalui oleh seorang perempuan.
Secara pengertian iddah adalah masa ynag harus ditunggu oleh seorang perempuan
yang telah bercerai dengan suaminya supaya dapat kawin lagi untuk mengetahui
bersih rahimnya atau untuk melaksanakn perintah Allah.
Perempuan yang bercerai dengan suaminya
dalam bnetuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih haid
atau tidak, wajib menjalani masa iddah ini. Firman Allah dalam Q.S al—Baqarah
ayat 228 yang artinya ,” perempuan yang dithalaq oleh suaminya hendakalh
menunggu masa selama tiga kali quru’. Tidak hala perempuan itu menyembunyikan
apa yang dijadikan Allah daalm rahimnya.”.
Adapun tujuan dan hikmah iddah adalah
untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebut dari bibit yang
ditinggalkan mantan suaminya, yang kedau adalah untuk taabud, artinya adalah
semata untuk memenuhi kehendak dari Allah meskipun secara rasio kita mengira
tidak perlu lagi.
Bentuk-bentuk iddah adalah
a. Kematian
saumi
b. Belum
dicampuri
c. Sudah
dicampuri tapi dalam ekadaan hamil
d. Sudah
dicampuri tidak dalam keadaan hamildan telah selesai haidnya
e. Sudah
dicampuri tidak daalm keadaan hamil dan belum selesai haidnya
Massa iddah terdiri dari dua bagian
yaitu
a. Wanita
yang belum dicampuri. Tidak ada massa iddah bagi wanita yang belum dicampuri
b. Bagi
istri yang sudah dicampuri ada dua macam hokum, diantaranya :
Ø Bagi
istri yang suaminya sudah meningggal dunia. Para ulama sepakat bahwa massa
iddah wanita yang suaminya meningggal dunia dan ia tidak hamil adalah selama
empat puluh hari.
Ø Bagi
istri yang hamil ketika suaminya meninggal. Pertama menungguh sampaiu
melahirkan dan kedau empat puluh hari setelah melahirkan.
Rujuk artinya kembali. Dapat ekmbali sebagais suami
adalah hak ayng diberikan agama bagi seoerang suami yang telah bercerai dnegan
istrinya. Ketentuan ini berdasarkan
firman Allah Q.S Al-Baqarah yang berbunyi,”dan suami-suami mereka berhak
merujuki dalam amssa menanti jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.”
Syarat-syarat rujuk adalah :
a. Suami
yang mukallaf
b. Cara
rujuk harus dengan perkataan dan perbuatan. Maksudnya dengan perbuatan adalah
adanay saksi.
c. Rujuk
dapat dilakukan karena pada dasarnya dalam tenggang waktu yang ditentukan pada
perceraian itu, perkawinan mereka belum terputus sama sekali.
11.
Undang-Undang
No. 1 tahun 1994 tentag perkawinan
Bab i dasar perkawinan
Bab ii syarat-syarat perkawinan
Bab iii pencegahan perkawinan
Bab iv batalnya perkawinan
Bab v perjanjian perkawinan
Bab vi
Hak dan kewajiban suami-isteri
Bab vii harta benda dalam perkawinan
Bab viii putusnya perkawinan serta akibatnya
Bab ix kedudukan anak
Bab x hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
Bab xi
Perwakilan
Bab xii
ketentuan-ketentuan lain
Bagian pertama pembuktian asal-usul anak
Bagian kedua Perkawinan
di luar indonesia
Bagian ketiga perkawinan campuran
Bagian keempat pengadilan
Bab xiii ketentuan peralihan
Bab xiv ketentuan penutup
Daftar Pustaka
Furqan,
Arif, Islam Dalam Disiplin Ilmu Hokum,
Jakarta: Direktoran Jendral Kelembagaan Agama Islam,2002.
Nasution,
Yusriah Hokum Islam , Jakarta:Laboratorium
Sosial Politi Press,2011.
Syamsudin
Amir ,Hokum perkawinan Indonesai, Jakarta:
prenada media, 2006 .
Husnan,
Djaelan, Islam Universal, Jakarta :
Unit Pelaksana teknis Mata Kuliah Umum, 2012.
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata