HUKUM DAGANG
DAN PAJAK
ASURANSI DAN
KEPAILITAN
DISUSUN OLEH
:
SITI
PAHRIYAH
4115101497
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
JURUSAN ILMU
SOSIAL POLITIK
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
2013
1.
Pengertian
Asuransi
Kata “asuransi” berasal dari bahasa
Belanda, assurantie, yang dalam hukum Belanda disebut Verzekering
yang artinya pertanggungan. Dari peristilahan assurantie kemudian timbul
istilah assuradeur bagi penanggung,dan geassureerde bagi
tertanggung. Banyak definisi tentang asuransi (konvensional), menurut Robert I.
Mehr asuransi adalah A device
for reducing risk by combining a sufficient number of exposure units to make
their individual losses collectively predictable. The predictable loss is then
shared by or distributed proportionately among all units in the combination
(Suatu alat untuk mengurangi resiko dengan menggabungkan sejumlah unit-unit
yang beresiko agar kerugian individu secara kolektive dapat diprediksi.
Kerugian yang dapat diprediksi tersebut kemudian dibagi dan didistribusikan
secara proporsional diantara semua unit-unit dalam gabungan tersebut)
Mark R. Greene mendefenisikan
asuransi sebagai An economic institution that reduces risk by
combining under one management and group of objects so situated that the
aggregate accidental losses to which the group is subject become predictable
within narrow limits. ( Institusi ekonomi yang mengurangi resiko dengan
menggabungkan dibawah satu menegemen dan kelompok obyek dalam suatu kondisi
sehingga kerugian besar yang terjadi yang mana diderita oleh suatu kelompok
yang tadi dapat diprediksi dalam lingkup yang lebih kecil).
Sedangkan C Arthur Williams Jr. dan
Richard M. Heins[4],
melihat asuransi dari dua sudut pandang, pertama adalah Insurance is
the protection against financial loss by an insurer (Asuransi adalah
perlindungan terhadap resiko finansial oleh penanggung), sedangkan kedua
adalah Insurance is a device by means of which the risks of two or
more persons or firms are combined through actual or promised contributions to
a fund out of which claimants are paid (Asuransi adalah alat yang
mana resiko dua orang atau lebih atau perusahaan-perusahaan digabungkan melalui
kontribusi premi yang pasti atau yang ditentukan sebagai dana yang dipakai
untuk membayar klaim)
Definisi asuransi sebetulnya bisa
diberikan dari berbagai sudut pandang, yaitu dari sudut pandang ekonomi, hukum,
bisnis, sosial, ataupun berdasarkan pengertian matematika. Itu berarti bisa
lima definisi bagi asuransi.Tidak ada satu definisi yang bisa memenuhi
masing-masing sudut pandang tersebut. Asuransi merupakan bisnis yang unik, yang
didalamnya terdapat kelima aspek tersebut, yaitu aspek ekonomi, hukum, sosial,
bisnis, dan aspek matematika.
Dasar Hukum Asuransi
dalam Undang-Undang No.2 Th 1992
Asuransi dalam Undang-Undang No.2 Th
1992 tentang usaha perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,
dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung
jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari
suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Badan yang menyalurkan risiko
disebut "tertanggung", dan badan yang menerima risiko disebut
"penanggung". Perjanjian antara kedua badan ini disebut kebijakan:
ini adalah sebuah kontrak legal yang menjelaskan setiap istilah dan kondisi
yang dilindungi. Biaya yang
dibayar oleh "tertanggung" kepada "penanggung" untuk risiko
yang ditanggung disebut "premi". Ini biasanya ditentukan oleh
"penanggung" untuk dana yang bisa diklaim di masa depan, biaya administratif, dan keuntungan.
Asuransi
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Definisi Asuransi menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), tentang asuransi atau pertanggungan
seumurnya, Bab 9, Pasal 246: "Asuransi atau Pertanggungan adalah suatu
perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang
tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak
tertentu.”
keuntungan
perusahaan asuransi
Perusahaan asuransi juga mendapatkan keuntungan investasi. Ini diperoleh
dari investasi premi yang diterima sampai mereka harus membayar klaim. Uang ini
disebut "float".[rujukan?] Penanggung
bisa mendapatkan keuntungan atau kerugian dari harga perubahan float dan juga suku bunga atau deviden di float.
Di Amerika Serikat, kehilangan properti dan kematian yang
tercatat oleh perusahaan asuransi adalah US$142,3 milyar dalam waktu lima tahun
yang berakhir pada 2003. Tetapi keuntungan total di periode yang sama adalah
US$68,4 milyar, sebagai hasil dari float.[rujukan?]
Prinsip
dasar asuransi
Dalam dunia asuransi ada 6 macam prinsip dasar yang
harus dipenuhi, yaitu :
*Insurable interest Hak untuk
mengasuransikan, yang timbul dari suatu hubungan keuangan, antara tertanggung
dengan yang diasuransikan dan diakui secara hukum.
*Utmost good faith Suatu
tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua fakta yang
material (material fact) mengenai sesuatu yang akan diasuransikan baik diminta
maupun tidak. Artinya adalah : si penanggung harus dengan jujur
menerangkan dengan jelas segala sesuatu tentang luasnya syarat/kondisi dari
asuransi dan si tertanggung juga harus memberikan keterangan yang jelas dan
benar atas obyek atau kepentingan yang dipertanggungkan.
*Proximate cause Suatu
penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rantaian kejadian yang menimbulkan
suatu akibat tanpa adanya intervensi suatu yang mulai dan secara aktif dari sumber
yang baru dan independen.
*Indemnity Suatu
mekanisme dimana penanggung menyediakan kompensasi finansial dalam upayanya
menempatkan tertanggung dalam posisi keuangan yang ia miliki sesaat sebelum
terjadinya kerugian (KUHD pasal 252, 253 dan dipertegas dalam pasal 278).
*Subrogation Pengalihan
hak tuntut dari tertanggung kepada penanggung setelah klaim dibayar.
*Contribution Hak
penanggung untuk mengajak penanggung lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi
tidak harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut memberikan
indemnity.
1. Tujuan Ganti Rugi
Ganti rugi yang diberikan oleh penanggung kepada
tertanggung apabila tertanggung menderita kerugian yang dijamin oleh polis,
yang bertujuan untuk mengembalikan tertangung dari kebangkrutan sehingga ia
masih mampu berdiri seperti sebelum menderita kerugian.
Jadi tertanggung hanya oleh boleh memperoleh ganti
rugi sebesar kerugian yang dideritanya, artinya tertanggung tidak boleh
mencari keuntungan (speklasi) dari asuransi. Bagitu juga dengan penanggung, ia
tidak boleh mencari keuntungan atas interst yang ditanggungnya, kecuali
memperoleh baals jasa atau premi.
2. Tujuan tertanggung
Adalah sebagai berikut :
- Untuk memperoleh rasa tentram dan aman dari resiko yang dihadapinya atas kegiatan usahanya atas harta miliknya.
- Untuk mendorong keberanianya mengikatkan usaha yang lebih besar dengan resiko yang lebih besar pula, karena risiko yang benar itu idiambil oleh penanggung.
- Tujuan Penanggung
Tujuan penanggung dibagi 2 (dua), yaitu :
- Tujuan Umum, yaitu : memperoleh keuntungan selain menyediakan lapangan kerja, apabila penanggung membutihkan tenaga pembantu.
- Tujuan Khusus, adalah :
- Meringankan resiko yang yang dihadapi oleh para nasabah atau para tertanggung dengan mangambil alhi risiko yang dihadapi.
- Menciptakan rasa tentram dan aman dikalangan nasabahnya, sehingga lebih berani mengikatkan usaha yang lebih besar.
- Mengumpulkan dana melalui premi yang terkumpul sedikit demi sedikit dari para nasabahnya sehingga terhimpun dana besar yang dapat digunakan untuk membiayai pembagian Bangsa dan Negara.
Asuransi atau pertanggungan di
Indonesia sebenarnya berasal dari hukum Berat, baik dalam pengertian maupun
adlam bentuknya. Asuransi sebagai bentuk hukum di Indonesia yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mempunyai beberapa sifat sebagai
berikut: (W irjono Projodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia jakarta, Inter
Masa, 1994, halaman 10)
a. Sifat Perjanjian
Semua asuransi berupa perjanjian
tertentu (Boyzondere Over Komst), yaitu suatu pemufakatan antaar dua pihak atau
lebih dengan maksud akan mencapai suatu tujuan, dimana seorang atau lebih
berjanji terhAdap seorang lain atau lebih (pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata).
b. Sifat timbal balik (Weder Kerige)
Persetujuan
asuransi atau pertanggungan merupakan suatu persetujuan timbal balik (Weder
Kerige Overeen Komst), yang berarti bahwa masing-masing pihak berjanji akan
melakukan sesuatu bagi pihak lain.
Pihak terjamin berjanji akan membayar uang premi,
pihak penjamin berjanji akan membayar sejumlah uang (uang asuransi) kepada
pihak terjamin, apabila suatu peristiwa tertentu terjadi.
c. Sifat Konsensual
Persetujuan asuransi atau pertangungan merupakan suatu
persetujuan yang bersifat konsensual, yaitu sudah dianggap terbentuk dengan
adanya kata sepakat antara kedua belah pihak (pasal 251 KURD).
d. Sifat Perkumpulan
Jenis asuransi yang bersifat
perkumpulan (Vereeninging ) adalah asuransi saling menjamin yang terbentuk
diantara para terjamin selaku anggota. Asuransi seperti ini disebutkan dalam
pasal 286 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang menyatakan bahwa
asuransi itu takluk pada persetujuannya dan peraturannya.
Perkumpulan asuransi diatur dalam
Pasal 1635, 1654 dan 1655 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), yang
dapat disimpulkan bahwa perkumpulan asuransi saling menjamin merupakan
“Zadelijk Lichaam” yang artiny asuransi dalam masyarakat dapat bertindak selaku
orang dan dapat mengadakan segala perhubungan hukum dengan orang lain secara
sah.
Perkumpulan
asuransi dapat bertindak kedalam dan keluar, yaitu kedalam jdapat mengadakan
persetujuan asuransi dengan para anggota selaku terjamin, dan keluar dengan
perbuatan hukum lainnya, persetujuan ini takluk pada ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), baik dengan anggota sendiri maupun dengan
orang lain.
e. Sifat Perusahaan
Asuransi yang mengatur sifat
perusahaan adalah asuransi secara premi dimana diadakan antara pihak penjamin dan
pihak terjamin, tanpa ikatan hukum diantara terjamin dengan orang lain
yang juga menjadi pihak terjamin terhadap si penjamin.
Dalam hal ini pihak penjamin biasanya bukan seorang
individu, melainkan suatu badan yang bersifat perusahaan, yang memperhitungkan
untung rugi dalam tindakannya.
Polis dan Premi di dalam Asuransi
- Polis Asuransi
Suatu perjanjian asuransi atau
pertanggungan bersifat konsensual (adanyakesepakatan), harus dibuat secara
tertulis dalam suatu akta antara pihak yang mengadakan perjanjian. Pada akta
yang dibuat secara tertulis itu dinaman “polis”. Jadi, polis adalah tanda bukti
perjanjianprtanggungan yang merupakan bukti tertulis.
Pada perjanjian asuransi atau
pertanggungan antara para pihak, seorang penanggung harus menyerahkan polis
kepada tertanggung dalam jangka waktu sebagai berikut: (Radiks Purba, Op Cit.
halaman 59)
- Bila perjanjian dibuat seketika dan langsung antara penanggung dan tertanggung yang dikuasakan tertanggung, maka polis yang telah ditandatangani oleh penanggung harus duserahkan kepada tertanggung dalam tempo 24 jam (pasal 259 KUHD).
- Jika pertanggungan dilakukan mulai makelar asuransi (broker), maka polis yang telah ditandatangani oleh penanggung harus diserahkan kepada tertangung paling lama dalam tempo 8 (delapan) hari (pasal 260 KUHD).
- Fungsi Umum
Polis, adalah :
- Perjanjian pertanggungan (Contract Of Indonesia)
- Sebagai bukti jaminan dri penanggung kepada tertanggung untuk mengganti krugian yang mungkin dialami oleh tergugat akibat peristiwa yang tidak diduga sebelumnya dengan prinsip :
- Untuk mengembalikan tertanggung kepada kedudukannya semula sebelum mengalami kerugian; atau
- Untuk mengindarkan tertanggung dari kebangkrutan (Toial Collapse)
- Bukti pembayaran premi asuransi oleh tertanggung kepada penanggung sebagai balas jasa atas jaminan penanggung.
- Isi polis pada Umumnya dalam
Asuransi
Sesuai dengan peraturan
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), dengan pengecualian terhadap asuransi atau
pertanggungan jiwa, terdapat 8 (delapan) syarat diantaranya yaitu (.N
Purwosujipto, SH. Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Hukum
Pertanggungan, Jakarta : Djambatan, 1990, halaman 63)
- Hari ditutupnya perjanjian pertanggungan
- ama oranh yang menutup pertanggungan, atas namanya sendiri atau atas tanggungan orang ketiga.
- Uraian yang jelas mengenai benda pertangungan atau obyek yang dijamin
- Jumlah pertanggungan, untuk mana diadakan jaminan (uang asuransi)
- Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh penanggung
- Saat mulai dan akhir tenggang waktu, dalam mana didakan jaminan oleh penjamin.
- Jumlah uang Premi yang harus dibayar oleh si terjamin
- Keterangan tambahan yang perlu diketahui oleh penjamin dan janji-janji khusus yang diadakan oleh kedua belah pihak.
Premi Didalam Asuransi
Pengertian premi dalam asuransi atau
pertanggungan adalah kewajiban tertanggung, dimana hasil dari kewajiban
tertanggung akan digunakan oleh penangung untuk mengganti kerugian yang
diderita tertanggung.
Premi biasanya ditentukan dalam
suatu presentase dari jumlah pertanggungan, dimana dalam presentase
menggambarkan penilaian penanggung terhadap resiko yang ditanggungnya,
penilaian penanggung berbeda-beda, akan tetapi hal ini dipengaruhi oleh hukum
permintaan dan penawaran.( mmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan,
Yogyakarta : Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM, 1990, halaman 41)
Fungsi dari premi merupakan harga pembelian dari
tanggungan yang wajib diberikan oleh penanggung atau sebagai imbalan resiko
yang diperalihkan pertanggungan dibuat, kecuali pertanggungngan saling
menanggung. Sedangkan mengenai pembayaran premi, biasanya dibayar tunai pada
saat perjanjian pertanggungan ditutup. Tetapi jika premi diperjanjikan dengan
anggaran maka premi dibayar pada permulaan tiap-tiap waktu angsuran.
Subyek dan Obyek Asuransi
- Subyek Asuransi
Dalam tiap-tiap persetujuan selalu ada 2 (dua) macam
subyek, yaitu di satu pihak seorang atau badan hukum mendapat badan kewajiban
untuk sesuatu, dan dilain pihak ada seorang atau suatu badan hukum yang
mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban itu, maka dalam tiap-tiap persetujuan
selalu ada pihak berkewajiban dan pihak berhak. Dengan demikian, para pihak
dalam perjanjian pertanggungan yaitu penanggung dan tertanggung.( bid, halaman
34)
Jadi berdasarkan Pasal 246 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang. (KUHD) bisa disaimpulkan bahwa ada dua pihak yang
berperan sebagai subyek asuransi, yaitu :
- Pihak tertanggung, yaitu pihak yang mempunyai harta benda yang diancam bahaya. Pihak ini bermaksud untuk mengalihkan resiko atas harta bendanya, atas peralihan resiko tersebut pihak tertanggung mempunyai kewajiban untuk membayar premi.
- Pihak penanggung, yakni pihak yang mau menerima resiko atas harta benda orang lain, dengan suatu kontra prestasi berupa premi. Dengan demikian apabila terjadio peristiwa yang mengakibatkan keinginan penanggnglah yang memberi ganti rugi
- Obyek Asuransi
Yang dipergunakan pada umumny adalah
harta benda seseorang atau tepatnya milik atas harta benda, misalnya ; rumah,
bangunan, perhiasan dan benda berharga lainnya. Dalam hal ini dikatakan bahwa
yang pertanggungkan adalah sama dengan benda pertanggungan.
Disamping itu bisa terjadi bahwa
obyek pertanggungan tidak sama dengan benda pertanggungan. Contohnya asuransi
kendaraan bermotor, benda pertanggungannya adalah tanggung jawab pemilik pabila
kendaraan itu membuat celaka orang lain.
Jadi ada 3 (tiga) hal yang dapat didipertanggungkan
(obyek asuransi), yaitu :
Risiko pribadi, yaitu kehidupan dan kesehatan.
- Hak milik atas benda
- Tanggung jawab atau kewajiban yang harus dipikul seseorang.
Obyek pertanggungan dikenal pula
dengan sebutan “Kepintangan”. kepentingan merupakan unsur utama dalam
pertanggungan Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menyebutkan
bahwa bila pada waktu pertanggungan seorang tertanggung tidak mempunyai
kepentingan atas benda yang dipertanggungkan, penanggung tidak wajib memberi
ganti rugi.
Mengingat pentingnya obyek
pertanggungan tersebut maka tidak setiap kepentingan dapat dieprtanggungkan.
Agar dapat diprtanggungkan, kepentingan yang dimaksud harus memenuhi syarat
tertentu.
Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD) menyatakan, bahwa yang dapat menjadi obyek asuransi ialah semua
kepentingan yang :
- Dapat dinilai dengan sejumlah uang
- Dapat diancam oleh macam bahaya
- Tidak dikecualikan oleh undang-undang
Ada kalanya diadakan asuransi
terhadap kemungkinan orang menderita karena tidak mendapat untung dalam suatu
perusahaan. Dalam hal ini tidak ada suatu benda berwujud, yang akan musnah atau
akan ada kerusakan dan sebagainya. Jadi selama persetujuan asuransi berjalan,
tidak ada suatu benda yang terlihat sebagai barang yang terkena suatu macam
bahaya.(W irjono Prof Jodikoro, SH., Asuransi di Indonesia, penerbit PT
Intermasa, Jakarta, 1994, halaman 41)
a. Benda Pertanggungan
Jika seorang pemilik rumah
mempertanggungkan rumahnya terhadap bahaya kebakaran, maka disini benda
pertanggungannya ialah apa yang menjadi obyek dari bahaya itu, yaitu rumahnya.
Kerugian yang timbul disebabkan terbakarnya rumah. Sebagai akibat kebakaran
rumah, maka pemilik menderita suatu kehilangan yang akan diganti kerugiannya
oleh penanggung dan rumah itulah benda yang terkena.
Dalam hal ini benda pertanggungannya
jatuh bersamaan dengan pokok pertanggungannya.(Prof. emmy Pangaribuan
Simanjuntak, Op Cit, Halaman 13 : 14)
b. Kepentingan Yang Tidak Jatuh
Bersamaan Dengan Benda Pertanggungan
Ada pertanggungan dimana benda
pertanggungannya dan pokok pertanggungannya tidak jatuh bersama. Pokok
pertanggungan berbeda dengan benda pertanggungan, walaupun sering dikemukakan
bahwa pokok penanggungan dan benda pertanggungan itu adalah identik.
Kepentingan adalah obyek
pertanggungan dan merupkan hak subyektif yang mungkin akan lenyap atau
berkurang karena terjadinya suatu peristiwa tak tentu atau tidak pasti. Unsur
kepentingan adalah unsur mutlak harus ada pada tiap-tiap pertanggungan, baik
pada sat ditutupnya pertanggungan maupun pada saat terjadinya evenemen.
Molengraff mendefenisikan bahwa yang
dimaksud dengan kepentingan ialah harta kekayaan atau sebagian dari harta kekayaan
tertanggung yang dipertanggungkan yang mungkin diserang bahaya. Definisi
Molengraff ini menunjuk langsung pada benda, yakni harta kekayaan.
Namun hal ini sulit dijelaskan pada
pertanggungan kendaraan bermotor dengan WA (Wettelijke Annsprakelijkeheid),
yaitu pertanggungan tanggung jawab menurut hukum. Pada pertentangan jenis ini
yang merupakan kepentingan ialah kewajiban tertanggung menurut hukum terhadap
kerugian pada pihak ketiga. Jadi singkatnya menurut Purwosutjipto, S.H.,
kepentingan adalah hak dan kewajiban tertanggung yang
dipertanggungkan.
Contoh Kasus
Penyelesaian Klaim Asuransi
Contractora All Risk
(Studi Kasus Pada Pt.Asuransi Wahana
Tata Terhadap Proyek Pembangunan Jembatan Kebon Agung Sleman Yogyakarta)
Beberapa
tahun yang lalu pernah terjadi sebuah kasus dalam penyelesaian klaim asuransi
oleh perusahaan konstruksi atas proyek pembangunan jembatan Kebon Agung yang
menghubungkan wilayah Kabupaten Sleman dengan wilayah Kabupaten Kulon Progo di
Yogyakarta. Klaim tersebut didasari beberapa kali peristiwa yang tidak terduga
yang terjadi dalam pengerjaan proyek tersebut. Pertama, peristiwa terjadi pada
bulan November 2007, pada saat melaksanakan gelagar bentangan, setelah
pemasangan, selang waktu kurang lebih 17 jam, satu buah bentangan jatuh, dan
satu buah girder yang telah terpasang jatuh dan menyebabkan pecah sehingga
timbul kerugian material. Pada kasus pertama ini pelaksana konstruksi PT Hutama
Karya terlambat membayar premi, seharusnya klaim yang diajukan ditolak oleh PT.
Asuransi Wahana Tata. Namun, dengan pertimbangan adanya hubungan baik antara
pihak pelaksana konstruksi dengan pihak PT.Asuransi Wahana Tata, maka klaim
tetap dapat diajukan dan memperoleh ganti rugi meskipun dalam jumlah yang tidak
semestinya. Hubungan baik ini dalam istilah asuransi dinamakan Ex Gratia. Hal
ini dilakukan atas dasar kesepakatan oleh kedua belah pihak. Kedua, tidak lama
berselang peristiwa berikutnya terjadi pada bulan Desember 2007, ketika
itu sedang musim hujan sehingga menyebabkan Kali Progo tempat proyek tersebut
banjir dan meluap hingga 3 meter. Kondisi ini, menyebabkan pasangan batu dan
beton bertulang runtuh dan lima buah girder retak. Klaim dapat dilaksanakan
secara normal (sesuai pertanggungan), karena semua prosedur telah dipenuhi
sesuai persyaratan. Sehingga, pelaksana konstruksi mendapatkan ganti rugi
sesuai dengan jumlah yang tercantum di dalam polis.
2. Pengertian Kepailitan
Kepailitan merupakan suatu proses di
mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya
dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan
debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan
kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan
pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan
yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.
Peraturan
Perundangan tentang Kepailitan
Sejarah perundang-undangan
kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang lalu yakni sejak
1906, sejak berlakunya “Verordening op het Faillissement en Surceance van
Betaling voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam Staatblads
1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 348 Faillissementsverordening. Dalam
tahun 1960-an, 1970-an secara relatip masih banyak perkara kepailitan yang
diajukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, namun sejak
1980-an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan
negeri. Tahun 1997 krisis moneter melanda Indonesia, banyak utang
tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk
membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang-undangan di
bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang atau biasanya
disingkat PKPU.
Pada tanggal 20 April 1998
pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1
tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang
kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang,
yaitu Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No.
1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9
september 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135).
Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut bukanlah
mengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissements
Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads tahun 1906
No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah.
Dengan diundangkannya Perpu No. 1
tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan
Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut, maka tiba-tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements
Verordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348) yang praktis sejak
lama sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali. Sejak itu,
pengajuan permohonan-permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan
Niaga dan bermunculanlah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara
kepailitan.
Tujuan utama kepailitan
adalah untuk melakukan pembagian
antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah
oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga
kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak
masing-masing.
Lembaga kepailitan
Pada dasarnya merupakan suatu
lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam
keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada
dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:
1. kepailitan sebagai lembaga
pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan
tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.
2. kepailitan sebagai lembaga
yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi
massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan
baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu
rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Para Pihak yang dapat mengajukan kepailitan
yaitu:
1.
atas permohonan debitur sendiri
2.
atas permintaan seorang atau lebih kreditur
3.
oleh kejaksaan atas kepentingan umum
4.
Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga bank
5.
oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.
Bahwa untuk bisa dinyatakan pailit, debitur harus
telah memenuhi dua syarat yaitu:
1. Memiliki minimal dua
kreditur;
2. Tidak membayar minimal satu
utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kreditur yang tidak dibayar
tersebut, kemudian dapat dan sah secara hukum untuk mempailitkan kreditur,
tanpa melihat jumlah piutangnya.
Akibat Hukum Pernyataan Pailit
Pernyataan pailit, mengakibatkan
debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang
dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan.
Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus kekayaannya, maka
oleh Undang-Undang Kepailitan ditetapkan bahwa terhitung sejak tanggal putusan
pernyataan pailit ditetapkan, KURATOR berwenang melaksanakan
tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap
putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator tersebut
ditunjuk bersamaan dengan Hakim Pengawas pada saat putusan
pernyataan pailit dibacakan.
Dengan demikian jelaslah, bahwa
akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah bahwa ia tidak boleh
lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang
akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah
Kurator. Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk
seorang hakim pengawas, yang mengawasi perjalan proses kepailitan (pengurusan
dan pemberesan harta pailit).
Siapa yang Mempailitkan Siapa
Setiap kreditur (perorangan atau
perusahaan) berhak mempailitkan debiturnya (perorangan atau perusahaan) jika
telah memenuhi syarat yang diatur dalam UUK, sebagaimana yang telah dipaparkan
di atas. Dikecualikan oleh Undang-Undang Kepailitan adalah Bank dan
Perusahaan Efek. Bank hanya bisa dimohonkan pailitkan oleh Bank
Indonesia, sedangkan perusahaan efek hanya bisa dipailitkan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Bank dan Perusahaan Efek hanya bisa
dipailitkan oleh instansi tertentu, hal ini didasarkan pada satu alasan bahwa
kedua institusi tersebut melibatkan banyak uang masyarakat, sehingga jika
setiap kreditur bisa mempailitkan, hal tersebut akan mengganggu jaminan
kepastian bagi para nasabah dan pemegang saham.
Jika kita melihat kasus Prudential
dan Manulife beberapa waktu yang lalu, maka telah nyata bagi semua kalangan,
bahwa perusahaan asuransi pun melibatkan uang masyarakat banyak, sehingga
seharusnya UUK mengatur bahwa Perusahaan Asuransi pun harus hanya bisa dipailitkan
oleh instansi tertentu, dalam hal ini Departemen Keuangan. Kejaksaaan juga
dapat mengajukan permohonan pailit yang permohonannya didasarkan untuk
kepentingan umum
Tentang Kurator
1. Kewenangan Kurator
Kepailitan suatu perseroan terbatas
berakibat hilangnya kekuasaan dan kewenangan seluruh organ-organ perseroan atas
harta kekayaan perseroan tersebut. Organ-organ perseroan seperti RUPS, Direksi
dan Dewan Komisaris menjadi tidak berwenanang untuk melakukan tindakan-tindakan
kepengurusan harta, dan kedudukannya digantikan oleh kurator. Sebagai contoh,
Pasal 67(2) UU Kepailitan menegaskan bahwa dalam melakukan tugasnya kurator
tidak memerlukan persetujuan dari organ debitur/perseroan pailit, walaupun di
luar kepailitan persetujuan tersebut disyaratkan. Apakah organ-organ perseroan
kehilangan wewenangnya untuk melakukan tindakan selain pengurusan atas harta
pailit. Organ-organ itu tetap berwenang selama tidak ada akibatnya atas
harta pailit. Jika kita mengkaji kepailitan atas perseorangan dan bukan
perseroan terbatas, maka debitur pailit dapat tetap hidup, bersosialisasi,
bahkan dapat bekerja dan menghasilkan uang untuk harta pailit. Namun, untuk
perseroan terbatas memang sulit sekali ditarik garis yang jelas, karena sebagai
badan usaha yang bertujuan mencari keuntungan, maka seluruh atau (hampir
seluruh) tindakan yang diambil organ-organ tersebut adalah untuk mendapatkan
keuntungan. Namun baiklah untuk kepentingan diskusi ini kita anggap saja organ
perseroan tetap berwenang. Akibatnya, kurator tidak dapat mengambilalih
kewenangan tersebut, termasuk mengadakan RUPS, dan sebagainya.
2.Tugas Kurator
Deskripsi tugas seorang kurator dan
pengurus dalam kepailitan tersebar dalam pasal-pasal di Undang-undang
Kepailitan (UUK). Namun tugas kurator dan pengurus yang paling fundamental
(sebagaimana diatur dalam ps. 67(1) UUK), adalah untuk melakukan pengurusan dan
pemberesan harta pailit. Dalam melakukan tugas ini kurator maupun pengurus
memiliki satu visi utama, yaitu mengambil keputusan yang terbaik untuk
memaksimalisasikan nilai harta pailit. Lebih jauh lagi tugas kurator
pengurus dapat dilihat pada job description dari kurator
pengurus, karena setidaknya ada 3 jenis penugasan yang dapat diberikan kepada
kurator pengurus dalam hal proses kepailitan, yaitu:
1. Sebagai Kurator sementara
Kurator sementara ditunjuk dengan tujuan untuk
mencegah kemungkinan debitur melakukan tindakan yang mungkin dapat merugikan
hartanya, selama jalannya proses beracara pada pengadilan sebelum debitur
dinyatakan pailit. Tugas utama kurator sementara adalah untuk:
1) mengawasi pengelolaan usaha
debitur; dan
2)mengawasi pembayaran kepada
kreditur, pengalihan atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam rangka
kepailitan memerlukan kurator (ps.7 UUK).
secara umum tugas kurator sementara tidak banyak
berbeda dengan pengurus, namun karena pertimbangan keterbatasan kewenangan dan
efektivitas yang ada pada kurator sementara, maka sampai saat ini sedikit
sekali terjadi penunjukan kurator sementara.
2. Sebagai pengurus
Pengurus ditunjuk dalam hal adanya
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Tugas pengurus hanya sebatas
menyelenggarakan pengadministrasian proses PKPU, seperti misalnya melakukan
pengumuman, mengundang rapat-rapat kreditur, ditambah dengan pengawasan
terhadap kegiatan pengelolaan usaha yang dilakukan oleh debitur dengan tujuan
agar debitur tidak melakukan hal-hal yang mungkin dapat merugikan
hartanya. Perlu diketahui bahwa dalam PKPU debitur masih memiliki
kewenangan untuk mengurus hartanya sehingga kewenangan pengurus sebatas hanya mengawasi
belaka.
3. Sebagai Kurator
Kurator ditunjuk pada saat debitur
dinyatakan pailit, sebagai akibat dari keadaan pailit, maka debitur kehilangan
hak untuk mengurus harta kekayaannya, dan oleh karena itu kewenangan
pengelolaan harta pailit jatuh ke tangan kurator.
Dari berbagai jenis tugas bagi
Kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan, maka dapat disarikan bahwa
kurator memiliki beberapa tugas utama, yaitu:
1. Tugas AdministratifDalam
kapasitas administratif nya Kurator bertugas untuk mengadministrasikan
proses-proses yang terjadi dalam kepailitan, misalnya melakukan pengumuman (ps.
13 (4) UUK); mengundang rapat-rapat kreditur ; mengamankan harta kekayaan
debitur pailit; melakukan inventarisasi harta pailit (ps. 91 UUK); serta
membuat laporan rutin kepada hakim pengawas (ps. 70 B (1) UUK). Dalam
menjalankan kapasitas administratifnya Kurator memiliki kewenangan antara lain
a) kewenangan untuk melakukan upaya paksa seperti paksa badan (ps. 84 (1) UUK),
b) melakukan penyegelan (bila perlu) (ps. 90 (1) UUK)
2. Tugas Mengurus/mengelola
harta pailit. Selama proses kepailitan belum sampai pada keadaan
insolvensi (pailit), maka kurator dapat melanjutkan pengelolaan usaha-usaha
debitur pailit sebagaimana layaknya organ perseroan (direksi) atas ijin rapat
kreditur (ps. 95 (1) UUK). Pengelolaan hanya dapat dilakukan apabila debitur
pailit masih memiliki suatu usaha yang masih berjalan. Kewenangan yang
diberikan dalam menjalankan pengelolaan ini termasuk diantaranya:
a) kewenangan untuk membuka
seluruh korespondensi yang ditujukan kepada debitur pailit (ps. 14 jo ps.96
UUK)
b) kewenangan untuk meminjam
dana pihak ketiga dengan dijamin dengan harta pailit yang belum dibebani demi
kelangsungan usaha (ps. 67 (3)-(4) UUK)
c) kewenangan khusus untuk
mengakhiri sewa, memutuskan hubungan kerja, dan perjanjian lainnya
Tugas Melakukan penjualan-pemberesan Tugas yang
paling utama bagi Kurator adalah untuk melakukan pemberesan. Maksudnya
pemberesan di sini adalah suatu keadaan dimana kurator melakukan pembayaran kepada
para kreditor konkuren dari hasil penjualan harta pailit.
Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
PKPU diatur pada BAB II UU
Kepailitan, tepatnya ps. 212 sampai ps. 279 Undang-Undang Kepailitan.Kedudukan
dari PKPU adalah bahwa PKPU tidak dapat disejajarkan dengan instrumen
kepailitan, atau sebagai sesuatu yang bersifat alternatif dari prosedur
kepailitan. PKPU adalah prosedur hukum (atau upaya hukum) yang memberikan hak
kepada setiap Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak
akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada
umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran
seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren (pasal 212 UU Kepailitan).
PKPU dapat diajukan secara sukarela oleh debitur yang
telah memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat membayar utang-utangnya, maupun
sebagai upaya hukum terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh
krediturnya. PKPU sendiri terbagi 2 bagian, yaitu:
1.
tahap pertama, adalah PKPU Sementara,
2.
tahap kedua adalah PKPU Tetap. Berdasarkan Pasal 214 ayat (2) UU Kepailitan
Pengadilan niaga HARUS mengabulkan permohonan PKPU Sementara. PKPU sementara
diberikan untuk jangka waktu maksimum 45 hari, sebelum diselenggarakan rapat
kreditur yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada debitur untuk
mempresentasikan rencana perdamaian yang diajukannya.
PKPU Tetap diberikan untuk jangka
waktu maksimum 270 hari, apabila pada hari ke 45 atau rapat kreditur tersebut,
belum dapat memberikan suara mereka terhadap rencana tersebut (pasal 217 (3)
UUK).
Prinsip ini jelas berbeda dengan
kepailitan, yang prinsip dasarnya adalah untuk memperoleh pelunasan secara
proporsional dari utang-utang debitur. Meskipun pada prinsipnya kepailitan
masih membuka pintu menuju perdamaian dalam kepailitan, namun cukup jelas bahwa
kepailitan dan PKPU adalah dua hal yang berbeda, dan oleh karenanya tidak pada
tempatnya untuk membandingkan secara kuantitatif kedua hal tersebut.
Manfaat adanya PKPU
Jelas sangat bermanfaat, karena
perdamaian yang dilakukan melalui PKPU akan mengikat kreditur lain diluar PKPU
(pasal 270 UUK), sehingga debitur dapat melanjutkan restrukturisasi usahanya,
tanpa takut ‘digerecoki’ oleh tagihan-tagihan kreditur-kreditur yang berada
diluar PKPU. Selain itu Kreditur juga seharusnya terjamin melalui PKPU, karena
apabila terjadi pelanggaran terhadap perjanjian perdamaian tersebut, maka
kreditur dapat mengajukan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian kepada
Pengadilan Niaga, dan debitur akan otomatis dinyatakan pailit (pasal160, 161,
jo 276 UUK).
Bandingkan dengan apabila melalui
proses restructuring biasa, yang apabila terjadi breach
perjanjian, tentunya harus dilalui proses gugat perdata yang berliku-liku
proses dan panjangnya waktu. Berdasarkan Undang Undang Kepailitan maka,
pengadilan yang berhak memutus pernyataan pailit dan penundaan kewajiban
pembayaran utang adalah Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan
Umum, dan Hukum Acara yang digunakan adalah Hukum Acara Perdata.
Pengadilan
Niaga
Yang berhak memutus pernyataan
pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Pengadilan Niaga yang berada
di Peradilan Umum yang untuk pertama kalinya dibentuk oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Hukum Acara yang digunakan adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada Pengadilan Umum. Putusan Pengadilan Niaga dapat diajukan upaya
hukum lain setelah memiliki kekuatan hukum tetap yaitu melalui PK (Peninjauan
Kembali ke Mahkamah Agung) dengan syarat:
ú terdapat bukti tertulis baru
ú Pengadilan Niaga telah
melakukan kesalahan berat dalam penetapan hukumnya.
(dengan jangka awaktu paling lambat 30 hari terhitung
sejak tanggal permohonan diterima Panitera M A).
Contoh Kasus
c
Kepailitan yang juga turut diajukan dilingkungan Pengadilan Niaga Surabaya
adalah kasus kepailitan yang terjadi antara OEI KENG HIEN dan TROY HARYANTO,
selaku pemohon pailit yang diajukan terhadap GUNAWAN ALIE selaku Direktur CV
DELIMA dan ANG FANNY ANGELIA, selaku Termohon Pailit.
Dari
pengajuan Permohonan Pailit tersebut, telah dijatuhkan putusan dengan putusan
Nomor: No. 08/Pailit/2008/PN.NIAGA.Sby jo. putusan Mahkamah Agung RI Reg. No.
702 K/Pdt.Sus/2008 jo No. 057 PK/Pdt.Sus/2010. Dari putusan Pengadilan Niaga
Surabaya tersebut telah menjatuhkan bahwa Termohon Pailit GUNAWAN ALIE selaku
Direktur CV DELIMA dan ANG FANNY ANGELIA pailit dengan segala akibat hukumnya.
Penjatuhan
putusan pailit itu sendiri terhadap Termohon Pailit telah sesuai dengan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Rl Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepaillitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, yang berbunyi “Debitor yang mempunyai dua atau
lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya”; dan
Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah terpenuhi sebagaimana berikut,
“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta
ataukeadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan
sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi”; Dilihat dari bunyi
pertimbangan hukum majelis didalam putusannya tersebut, menurut pendapat
penulis, penjatuhan putusan dengan berdasar pasal diatas telah sesuai dengan
peraturan perundangan tentang kepailitan.