Disusun
Oleh :
Dina Mariana
4115102459
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
JURUSAN
ILMU SOSIAL
FAKULTAS
LMU SOSIAL
2010
2.3. Penyelesaian Sengketa Tanah
Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan
Pertanahan Nasional) yaitu :
Kasus
pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari
masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap
suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan
oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta
keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang
tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian
secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat
yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu
keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus
pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
1.
mengenai masalah status tanah,
2.
masalah kepemilikan,
3.
masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah
menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang
berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan
data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut
atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan
Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan
Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana
kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian
kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur,
kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau
badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat
perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor
Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang
harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa.
Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional
tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri
No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala
Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan
Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian
Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum
Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas
keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan
masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan
Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat
dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan
melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional
diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara
damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu,
bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula
disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para
pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian
dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan
oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi
di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan
keputusan tersebut antara lain :
1.
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2.
Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3.
Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan.
4.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun
1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum
yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung
kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh
yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan
melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
2.4. Kekuatan Pembuktian dalam
Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan
membuktikan adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil
yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Kekuatan
Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta
otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
1.
Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2.
Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar
peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
3.
Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada
tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai
umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa
kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar.
Sertifikat
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan
dengan
peraturan pemerintah.
Kekuatan
Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :
1.
Sistem Positif
Menurut
sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku
sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu – satunya
tanda bukti hak atas tanah.
2.
Sistem Negatif
Menurut
sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang tercantum didalam sertifikat
tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya
(tidak benar) dimuka sidang pengadilan.
3.2.Rekomendasi
Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat
dengan masyarakat, masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan
pemerintah yang kerap berujung pada dirugikannya salah satu pihak dirasakan
perlu dilakukan penyelesaian sengketa alternatif (PSA). Saat ini di Indonesia
belum ada langkah PSA, selama ini permasalahan sengketa pertanahan selalu di
selesaikan di pengadilan dimana biasanya dalam proses pengadilan tersebut
membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya cukup mahal dan tidak bisa langsung di
eksekusi. Sehingga sebelum berkas perkara masuk ke pengadilan perlu dibuat
mekanisme PSA. Diantaranya membuat lembaga mediasi dan membuat arbitrase
pertanahan, dimana lembaga mediasi bertugas mempertemukan pihak-pihak
bersengketa, sedangkan arbitrase mempunyai tugas untuk melakukan penyelesaian
di luar pengadilan tetapi berkas berada di pengadilan
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika
pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan
bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan
mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa
kita sebut dengan UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan
sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak
atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan
harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok
Agraria (UUPA) sebenarnya termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi
setiap warga negara untuk memiliki tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya
(pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada ketentuan itu dan juga merujuk pada PP No.
24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan Pertanahan Nasional
(BPN) semestinya dapat menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang dibutuhkan
oleh setiap warga negara dengan mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika warga
negara yang bersangkutan sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak tanah
mereka. Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi
pun ternyata bukan solusi jitu dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang
tanah bersertifikat lebih dari satu, pada kasus Meruya yang belakangan sedang
mencuat, misalnya. Bahkan, pada beberapa kasus, sertifikat yang telah
diterbitkan pun kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi salah prosedur).