Halaman

Sabtu, 05 Januari 2013

kumpulan puisi


Diponegoro
Karya : Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.

Maju
Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

Sajak sebatang Lisong
Karya : W.S. Rendra
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………..
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
…………………..
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

























Rimba Jakartaku

Karya : Wulan Cahya E.

Bagaimana kuingat warnamu daun?
Lantaran rimbamu bertunas besi dan beton
Juga kembang kaca

Bagaimana kuingat kicauan burung?
Nyanyi satwamu menjadi parau
Menggeram dan menderu
Lantaran hewanmu kini menjadi impor

Bagaimana kuingat warnamu bulan?
Cahayamu masih kabur dan buram
Menentang jutaan bulan manusia
Bocah-bocah pun tak lagi bermain
Di bawah purnamamu

Bagaimana kuingat baumu rumput?
Jika tanah tak lagi kuinjak
Sedang  manusia tak ingat asalnya

Akupun kadang lupa
Bertamu ke rumah-Mu
Lantaran aku juga manusia
Yang hidup di dalam rimba





Potret Kotaku
Karya : Wulan Cahya E.
Ketika pagi membangunkanku
Kulihat dibalik jendela
Gemuruh yang mulai menyapa telingaku
Juga udara yang selalu memaksaku

Ketika jauh kulangkahkan kakiku
Terdengar celotehan-celotehan si kecil
Yang menyambutku dengan penuh harapan
Berharap jemari-jemarinya tersentuh

Anak-anak yang berkaleng kecil
Haruskah kau membanting tulang?
Di manakah orang tuamu?
Kaki kecilmu harus berlari
Demi mengisi perutmu itu

Waktu terus berganti
Si kecil pun semakin terlarut
Di tengah kejamnya kota
Sedang mereka hanya tersenyum
Di balik bung-bunga kaca

Inikah kotaku?
Begitu menjulang aroma yang kuhirup
Di tengah-tengah kemewahan yang mengelilingi





Bunga Bangsaku
Karya : Wulan Cahya E.
Embun yang kian bergilir
Akan terus mengingatkan kami
Pada engkau yang bermandikan keringat
Juga berlumur darah

Bunga bangsaku
Kau biarkan dirimu tertiup angin
Terombang-ambing seluruh ragamu
Namun tetap tegak dengan tegarnya
Demi bumi pertiwi ini

Walau tulang-tulangmu telah melebur
Pada tanah yang berembun air mata
Tapi aroma namamu akan tetap terukir
Sebagai penyejuk hati
Sebagai pembangkit jiwa kami

Bunga bangsaku
Teruntai doa-doa untukmu
Yang telah berderai kasih untuk kami
Jasa-jasamu akan selalu terkenang
Dan akan kami teruskan
Langkah kaki-kakimu







Sajak untuk Koruptor
Karya : Wulan Cahya E.
Melihat tanah airku
Melihat mereka-mereka yang tersudut
Dengan berbagai jeritan malang
Sedang mereka yang di atas
Hanya tersenyum lebar-lebar

Untukmu yang berada di sana
Wahai para penjilat harta dan tahta
Begitu kejamnya dirimu
Kau genggam semua pada tanganmu
Dengan merintihkan luka-luka mereka
Hatimu sungguh mati!

Wahai muka-muka tembok
Dimanakah hati nuranimu?
Tidakkah kau lihat mereka-mereka itu?
Yang terus membanting tulang
Demi mengais sesuap nasi
Mereka juga meletakkan harapan kepadamu
Tapi kau makan bangsamu sendiri

Inilah sajak-sajak untukmu
Untuk engkau tikus-tikus lapar
Pemakan rupiah rakyat






Untukmu Para Pemuda

Karya : Wulan Cahya E.

Mengingat kala pejuang membela negeri
Dengan semangat yang menggelora
Berjuang dengan tak kenal letih
Tak peduli jiwa dan raga melayang
Demi sebuah kemerdekaan

Dan generasi pun terus berganti
Namun sisa-sisa perjuangan
Sisa-sisa pengabdian
Semakin buram dan kabur

Bumi pertiwi seakan mulai tenggelam
Korupsi, kolusi, nepotisme mewarnai negeri ini
Generasi muda pun mulai terlena
Terbelenggu oleh nafsu dan euforia
Karakter anak bangsa semakin luntur
Terkontaminasi oleh peradaban
Hitam dan sangat mengerikan

Wahai para pemuda
Bangkitlah dari keterpurukan
Masa depan bangsa ada di tanganmu
Jangan kau hancurkan dirimu sendiri
Jadikanlah dirimu jiwa-jiwa yang kuat
Setegar karang yang yang dihempas ombak

Wahai para pewaris negeri
Tataplah harapan-harapan itu
Ukirlah prestasi-prestasimu
Bangunlah karakter-karakter yang kuat
Demi cita-cita bangsa ini





























Bencana Melandaku
Karya : Fitria Ning U.
Lewat suara gemuruh diiringi debu bangunan yang runtuh
Tempatku nan asri terlindas habis
Rumah dan harta benda serta nyawa manusia lenyap
Kau lalap habis aku kehilangan segalanya

Mata manusia sedunia terpengarah, menatap dan heran
Memang kejadian begitu dahsyat
Bantuan dan pertolongan mengalir
Hati manusia punya nurani

Tuhan , mengapa semua ini terjadi ?
Mungkin kami telah banyak mengingkariMu
Mungkin kamu terlalu bangga dengan salah dan dosa
Ya, Tuhan ampunilah kami dalam segalanya










Bocah yang Belajar dari Kehidupan
Karya : Fitria Ning U.

Jauh tertinggal ,tenggelam dan terhampar disana
Raut wajah mungil, kosong dan hampa
Menanti induk di ujung jalan setiap malam
Tak kunjung tiba hati merana
Terpejam mata terhanyut lara
Tenggelam dalam mimpi sesaat
Terjaga raga tak berujud
Hanya senyum tipis penghantar hidup
Tapi dengan setitik harapan
Menantang buana kemudian

Mentari terbit di ufuk timur
Sembari tersentak jiwa terpanggil
Terayun langkah untuk sejengkal perut
Untuk pelanjut hidup
Tak pernah teriris hati terpaut
Seorang bocah tiada berinduk
Tetap tegar menantang dunia
Kokoh tiada bergeming

Tak pernah terhiraukan onak yang menusuk
Tak tergubriskan kaki yang tersandung
Tak terhapuskan linang airmata rindu
Kesepian melanda jiwa nestapa
Tapi tetap, tersenyum walau dikulum

Telah terlatih jiwa kesabaran
Menanggung nasib badan seorang
Tak terbiasa tangan terbuka memelas
Usaha terus berkelanjutan

Saat senja telah tiba
Kesepian meradang dalam
Hanyut terbawa di sela impi nan hampa
Walau harap tak pernah tergenggam
Walau semu datang menjelma
Itu adalah sebuah penantian
Tetaplah hadir walau hanya impian











Anti Kekerasan

Karya : Fitria Ning U.
Kekerasan…
Merajalela bak sampah di bumi pertiwi
Anak-anak, remaja, hingga orang dewasa
Tak terelakkan hindarinya

Kitalah yang harus hentikannya
Terhentinya kekerasaan
Akan mengubah nasib Bumi pertiwi

Kekerasan fisik
Kekerasan moral
Juga kekerasan omongan
Yang terkadang mewarnainya

Ciptakan Indonesia bermartabat di mata dunia
Bebas dari kekerasan yang menjerat
Terlepas dari belenggu kekerasan

Semua berharap kita bebas dari kekerasan
Indonesia bebas kekerasan
Itulah yang diinginkan

Mari bersama kita hentikan kekerasan
Siapa lagi yang akan hentikannya
Selain kita generasi penerus bangsa
Generasi yang akan hentikan kekerasan




























Bilang
Karya : Siti Pahriyah

Mereka bilang ... kami akan membebaskanmu dari kemiskinan
Aku bilang ... kami tak butuh perkataan
Mereka bilang ... kami akan mensejahterakanmu
Aku bilang ... kami hanya butuh sesuap nasi

Mereka bilang ... pendidikan akan gratis
Aku bilang ... perut yang terus meringis
Mereka bilang ... kesehatan dijamin
Aku bilang ... kami ingin rumah gubuk yang nyaman

Mereka bilang ini dan itu
Perkataannya berbuih racun
Yang seakan-akan menelan mereka sendiri

Kata-kata intelek yang mereka lontarkan kepada kami
Hanya menarik untuk sang smeut dan rakun
Mereka tidak tahu hati kami yang merintih
Ketika kedinginan tiada atap yang menaungi

Meraka tidak tahu saudara kami meninggal
Karena ditolak oleh Rumah Sakit
Maeka tdiak tahu kami mengamen siang malam
Hanya untuk sesuap nasi
Mereka tidak tahu .....





Dulu dan sekarang
Karya : Siti Pahriyah
Dulu ... udara segar dapat saya rasakan setiap hari
Sekarang ... Jakarta menyambutku dengan jalan raya menggurita di setiap pelosok kota
Dulu ... nyayian pohon diterpa angin sering saya lihat
Sekarang ... tak ada lagi nyanyian pohon itu
Yang ada hanyalah pohon yang mengerang terkena polusi

Dulu ... desaku menyajikan panorama sungai mengalir
Sekarang ... Jakarta hanya ada sungai yang tersumbat kehitaman
Dulu ... hamparan sawah menyejukkan mata
Sekarang ... gedung-gedung pencakar langit denagn congkaknya membatasi penglihatan kami

Dulu ... ritual adat daerah dapat menaytukan kami
Sekarang ... yang ada hanyalah kesibukan individu
Dulu ... sapaan kekeluargaan slalu kami dengar dari setiap orang
Sekarang ... setiap orang acuh pada yang lainnya
Duhai dulu dan sekarang begitu jauhnyakah perbedaan kalian ?












Ketidak pastian
Karya : Siti Pahriyah

Di musim hujan ini ...
Ketika rintik air hujan turun membasahi gubuk kecil kami
Sesekali terdenagn guntur yang menggelegar
Tetesan demi tetesan yang tiada henti

Terus terjadi ...
Hingga ke lubuk hati kami
Akankah ini terulang kembali ?
Sama seperti tahun-tahun yang lalu
Ketika terjangan air dan angin meluluhlantahkan istana kami
Istana kami yang sempit, bau dan gersang
Namun aku harus nyaman dengannya
Kemanakah kami harus melangkah ?

Semua orang mengerutkan dahi ketika kami datang
Tuhan ... apakah ini yang namanya keadilan ?
Keadilan yang para penguasa perjuangkan ?
Wahai sang penguasa negeri
Lihatlah apa yang terjadi
Berikan kami bukti bukan sekedar janji



Kursi Raja
Karya : Siti Pahriyah

Satu kursi raja tersedia
Mereka semua ingin memilikinya
Tapi hanya satu yang duduk di singgasana

Kursi raja ...
Siapa yang akan menempatimu
Semua orang memperebutkanmu
Kami tak ingin orang-orang yang hanya mengumbar janji-janji manis palsu

Oh kursi raja
Kami tak ingin kau diduduki sang koruptor
Yang gila dengan kehormatannya sendiri

Oh kursi raja ...
Semua calon-calon berkata di sana bercerita
Janji-janji manisnya ...
Kata-kata indahnya ...
Serta rencana-rencanya ...
Namun kami hanya butuh kau yang jujur
Kami butuh kau yang adil
Kami butuh kau yang bijaksana
Duduk di kursi raja







Pak Tani
Karya : Siti Pahriyah

Terik mentari yang menyengat
Dahaga dan lapar yang menyayat
Tak pernah kau rasakan
Kau pun tak bosan
Karena sabar yang menjadi landasan

Bulir-bulir padi yang kau kumpulkan
Tak seberrapa dengan tenaga yang kau korbankan
Kau makan dari keringatmu
Dan aku pun tersenyum

Harga hasil keringatmu yang tak seberapa
Tapi kau tak pernah mengeluh
Kau bersyukur dengan hasil jerih payahmu

Oh pak tani ...
Hanya sejahtera yang aku harapkan
Namun sampai kapan kau akan dapatkan
Kemana lagi nasibmu akan kau taruhkan ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar