Diponegoro
Karya : Chairil Anwar
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
Maju
tuan hidup kembali
dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
Maju
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
Maju
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Serang
Terjang
Sajak sebatang Lisong
Karya : W.S. Rendra
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………..
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
…………………..
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………..
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
…………………..
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
Rimba Jakartaku
Karya : Wulan Cahya E.
Bagaimana
kuingat warnamu daun?
Lantaran
rimbamu bertunas besi dan beton
Juga
kembang kaca
Bagaimana
kuingat kicauan burung?
Nyanyi
satwamu menjadi parau
Menggeram
dan menderu
Lantaran
hewanmu kini menjadi impor
Bagaimana
kuingat warnamu bulan?
Cahayamu
masih kabur dan buram
Menentang
jutaan bulan manusia
Bocah-bocah
pun tak lagi bermain
Di
bawah purnamamu
Bagaimana
kuingat baumu rumput?
Jika
tanah tak lagi kuinjak
Sedang manusia tak ingat asalnya
Akupun
kadang lupa
Bertamu
ke rumah-Mu
Lantaran
aku juga manusia
Yang
hidup di dalam rimba
Potret Kotaku
Karya : Wulan Cahya E.
Ketika pagi
membangunkanku
Kulihat dibalik
jendela
Gemuruh yang
mulai menyapa telingaku
Juga udara yang
selalu memaksaku
Ketika jauh
kulangkahkan kakiku
Terdengar
celotehan-celotehan si kecil
Yang
menyambutku dengan penuh harapan
Berharap
jemari-jemarinya tersentuh
Anak-anak yang
berkaleng kecil
Haruskah kau
membanting tulang?
Di manakah
orang tuamu?
Kaki kecilmu
harus berlari
Demi mengisi
perutmu itu
Waktu terus
berganti
Si kecil pun
semakin terlarut
Di tengah
kejamnya kota
Sedang mereka
hanya tersenyum
Di balik
bung-bunga kaca
Inikah kotaku?
Begitu
menjulang aroma yang kuhirup
Di
tengah-tengah kemewahan yang mengelilingi
Bunga Bangsaku
Karya : Wulan Cahya E.
Embun yang kian
bergilir
Akan terus mengingatkan
kami
Pada engkau
yang bermandikan keringat
Juga berlumur
darah
Bunga bangsaku
Kau biarkan
dirimu tertiup angin
Terombang-ambing
seluruh ragamu
Namun tetap
tegak dengan tegarnya
Demi bumi
pertiwi ini
Walau
tulang-tulangmu telah melebur
Pada tanah yang
berembun air mata
Tapi aroma
namamu akan tetap terukir
Sebagai
penyejuk hati
Sebagai
pembangkit jiwa kami
Bunga bangsaku
Teruntai
doa-doa untukmu
Yang telah
berderai kasih untuk kami
Jasa-jasamu
akan selalu terkenang
Dan akan kami
teruskan
Langkah
kaki-kakimu
Sajak untuk Koruptor
Karya : Wulan Cahya E.
Melihat tanah
airku
Melihat
mereka-mereka yang tersudut
Dengan berbagai
jeritan malang
Sedang mereka
yang di atas
Hanya tersenyum
lebar-lebar
Untukmu yang
berada di sana
Wahai para penjilat
harta dan tahta
Begitu kejamnya
dirimu
Kau genggam
semua pada tanganmu
Dengan
merintihkan luka-luka mereka
Hatimu sungguh
mati!
Wahai muka-muka
tembok
Dimanakah hati
nuranimu?
Tidakkah kau
lihat mereka-mereka itu?
Yang terus
membanting tulang
Demi mengais
sesuap nasi
Mereka juga meletakkan
harapan kepadamu
Tapi kau makan
bangsamu sendiri
Inilah sajak-sajak
untukmu
Untuk engkau tikus-tikus
lapar
Pemakan rupiah
rakyat
Untukmu Para Pemuda
Karya : Wulan Cahya E.
Mengingat
kala pejuang membela negeri
Dengan
semangat yang menggelora
Berjuang
dengan tak kenal letih
Tak
peduli jiwa dan raga melayang
Demi
sebuah kemerdekaan
Dan
generasi pun terus berganti
Namun
sisa-sisa perjuangan
Sisa-sisa
pengabdian
Semakin
buram dan kabur
Bumi
pertiwi seakan mulai tenggelam
Korupsi,
kolusi, nepotisme mewarnai negeri ini
Generasi
muda pun mulai terlena
Terbelenggu
oleh nafsu dan euforia
Karakter
anak bangsa semakin luntur
Terkontaminasi
oleh peradaban
Hitam
dan sangat mengerikan
Wahai
para pemuda
Bangkitlah
dari keterpurukan
Masa
depan bangsa ada di tanganmu
Jangan
kau hancurkan dirimu sendiri
Jadikanlah
dirimu jiwa-jiwa yang kuat
Setegar
karang yang yang dihempas ombak
Wahai
para pewaris negeri
Tataplah
harapan-harapan itu
Ukirlah
prestasi-prestasimu
Bangunlah
karakter-karakter yang kuat
Demi
cita-cita bangsa ini
Bencana Melandaku
Karya : Fitria Ning U.
Lewat suara gemuruh diiringi debu bangunan yang runtuh
Tempatku nan asri terlindas habis
Rumah dan harta benda serta nyawa manusia lenyap
Kau lalap habis aku kehilangan segalanya
Mata manusia sedunia terpengarah, menatap dan heran
Memang kejadian begitu dahsyat
Bantuan dan pertolongan mengalir
Hati manusia punya nurani
Tuhan , mengapa semua ini terjadi ?
Mungkin kami telah banyak mengingkariMu
Mungkin kamu terlalu bangga dengan salah dan dosa
Ya, Tuhan ampunilah kami dalam segalanya
Bocah yang Belajar dari Kehidupan
Karya : Fitria Ning U.
Jauh tertinggal ,tenggelam dan terhampar disana
Raut wajah mungil, kosong dan hampa
Menanti induk di ujung jalan setiap malam
Tak kunjung tiba hati merana
Terpejam mata terhanyut lara
Tenggelam dalam mimpi sesaat
Terjaga raga tak berujud
Hanya senyum tipis penghantar hidup
Tapi dengan setitik harapan
Menantang buana kemudian
Mentari terbit di ufuk timur
Sembari tersentak jiwa terpanggil
Terayun langkah untuk sejengkal perut
Untuk pelanjut hidup
Tak pernah teriris hati terpaut
Seorang bocah tiada berinduk
Tetap tegar menantang dunia
Kokoh tiada bergeming
Tak pernah terhiraukan onak yang menusuk
Tak tergubriskan kaki yang tersandung
Tak terhapuskan linang airmata rindu
Kesepian melanda jiwa nestapa
Tapi tetap, tersenyum walau dikulum
Telah terlatih jiwa kesabaran
Menanggung nasib badan seorang
Tak terbiasa tangan terbuka memelas
Usaha terus berkelanjutan
Saat senja telah tiba
Kesepian meradang dalam
Hanyut terbawa di sela impi nan hampa
Walau harap tak pernah tergenggam
Walau semu datang menjelma
Itu adalah sebuah penantian
Tetaplah hadir walau hanya impian
Karya : Fitria Ning U.
Kekerasan…
Merajalela bak sampah di bumi pertiwi
Anak-anak, remaja, hingga orang dewasa
Tak terelakkan hindarinya
Kitalah yang harus hentikannya
Terhentinya kekerasaan
Akan mengubah nasib Bumi pertiwi
Kekerasan fisik
Kekerasan moral
Juga kekerasan omongan
Yang terkadang mewarnainya
Ciptakan Indonesia bermartabat di mata dunia
Bebas dari kekerasan yang menjerat
Terlepas dari belenggu kekerasan
Semua berharap kita bebas dari kekerasan
Indonesia bebas kekerasan
Itulah yang diinginkan
Mari bersama kita hentikan kekerasan
Siapa lagi yang akan hentikannya
Selain kita generasi penerus bangsa
Generasi yang akan hentikan kekerasan
Bilang
Karya : Siti Pahriyah
Mereka bilang ... kami akan membebaskanmu dari kemiskinan
Aku bilang ... kami tak butuh perkataan
Mereka bilang ... kami akan mensejahterakanmu
Aku bilang ... kami hanya butuh sesuap nasi
Mereka bilang ... pendidikan akan gratis
Aku bilang ... perut yang terus meringis
Mereka bilang ... kesehatan dijamin
Aku bilang ... kami ingin rumah gubuk yang nyaman
Mereka bilang ini dan itu
Perkataannya berbuih racun
Yang seakan-akan menelan mereka sendiri
Kata-kata intelek yang mereka lontarkan kepada kami
Hanya menarik untuk sang smeut dan rakun
Mereka tidak tahu hati kami yang merintih
Ketika kedinginan tiada atap yang menaungi
Meraka tidak tahu saudara kami meninggal
Karena ditolak oleh Rumah Sakit
Maeka tdiak tahu kami mengamen siang malam
Hanya untuk sesuap nasi
Mereka tidak tahu .....
Dulu dan sekarang
Karya : Siti Pahriyah
Dulu ... udara segar dapat saya rasakan setiap hari
Sekarang ... Jakarta menyambutku dengan jalan raya menggurita di setiap
pelosok kota
Dulu ... nyayian pohon diterpa angin sering saya lihat
Sekarang ... tak ada lagi nyanyian pohon itu
Yang ada hanyalah pohon yang mengerang terkena polusi
Dulu ... desaku menyajikan panorama sungai mengalir
Sekarang ... Jakarta hanya ada sungai yang tersumbat kehitaman
Dulu ... hamparan sawah menyejukkan mata
Sekarang ... gedung-gedung pencakar langit denagn congkaknya membatasi
penglihatan kami
Dulu ... ritual adat daerah dapat menaytukan kami
Sekarang ... yang ada hanyalah kesibukan individu
Dulu ... sapaan kekeluargaan slalu kami dengar dari setiap orang
Sekarang ... setiap orang acuh pada yang lainnya
Duhai dulu dan sekarang begitu jauhnyakah perbedaan kalian ?
Ketidak pastian
Karya : Siti Pahriyah
Di musim hujan ini ...
Ketika rintik air hujan turun membasahi gubuk kecil kami
Sesekali terdenagn guntur yang menggelegar
Tetesan demi tetesan yang tiada henti
Terus terjadi ...
Hingga ke lubuk hati kami
Akankah ini terulang kembali ?
Sama seperti tahun-tahun yang lalu
Ketika terjangan air dan angin meluluhlantahkan istana kami
Istana kami yang sempit, bau dan gersang
Namun aku harus nyaman dengannya
Kemanakah kami harus melangkah ?
Semua orang mengerutkan dahi ketika kami datang
Tuhan ... apakah ini yang namanya keadilan ?
Keadilan yang para penguasa perjuangkan ?
Wahai sang penguasa negeri
Lihatlah apa yang terjadi
Berikan kami bukti bukan sekedar janji
Kursi Raja
Karya : Siti Pahriyah
Satu kursi raja tersedia
Mereka semua ingin memilikinya
Tapi hanya satu yang duduk di singgasana
Kursi raja ...
Siapa yang akan menempatimu
Semua orang memperebutkanmu
Kami tak ingin orang-orang yang hanya mengumbar janji-janji manis palsu
Oh kursi raja
Kami tak ingin kau diduduki sang koruptor
Yang gila dengan kehormatannya sendiri
Oh kursi raja ...
Semua calon-calon berkata di sana bercerita
Janji-janji manisnya ...
Kata-kata indahnya ...
Serta rencana-rencanya ...
Namun kami hanya butuh kau yang jujur
Kami butuh kau yang adil
Kami butuh kau yang bijaksana
Duduk di kursi raja
Pak Tani
Karya : Siti Pahriyah
Terik mentari yang menyengat
Dahaga dan lapar yang menyayat
Tak pernah kau rasakan
Kau pun tak bosan
Karena sabar yang menjadi landasan
Bulir-bulir padi yang kau kumpulkan
Tak seberrapa dengan tenaga yang kau korbankan
Kau makan dari keringatmu
Dan aku pun tersenyum
Harga hasil keringatmu yang tak seberapa
Tapi kau tak pernah mengeluh
Kau bersyukur dengan hasil jerih payahmu
Oh pak tani ...
Hanya sejahtera yang aku harapkan
Namun sampai kapan kau akan dapatkan
Kemana lagi nasibmu akan kau taruhkan ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar