TUGAS HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK/LAYAK
Disusunoleh:
Siti Pahriyah
(4115101497)
JURUSAN ILMU SOSIAL
POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sedang menuju era baru
pengelolaan aset Negara, Ruang lingkup kekayaan negara di Indonesia
secara umum meliputi dua hal yaitu: barang yang “dimiliki” negara (domein
privat) dan barang yang “dikuasai” negara (domein publik). Kedua domein
tersebut bersumber dari UUDNRI 1945. Untuk domein privat bersumber dari pasal
23 UUDNRI 1945 sedangkan domein publik dari pasal 33 ayat (3) UUDNRI 1945. Yang
dimaksud dengan barang “milik” negara adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban APBN atau perolehan lain yang sah (pasal 1 PP nomor 6
tahun 2006) sedangkan barang “dikuasai” negara adalah bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai oleh negara untuk dipergunakan
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 33 ayat (3) UUDNRI 1945).[1] Dalam Pengelolaan Kekayaan
Negara yang efisien, efektif dan optimal adalah kunci keberhasilan pemerintah
dalam melayani masyarakat. Untuk mencapainya maka harus dipenuhi asas-asas
pemerintahan yang baik agar pengelolaan asset tersebut bisa berjalan dengan
efisien dan efektif serta transparan.
Badan Negara yang berkecimpung dalam masalah pengelolaan asset Negara, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), PTPPA yang dipercaya untuk mengelola asset-aset eks
BPPN, Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) ke dalam Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara (DJKN) Departemen Keuangan Republik Indonesia.
Saat ini di Indonesia sedang terjadi berbagi masalah mengenai pengelolaan
asset-aset Negara misalnya, kasus dugaan penjualan aset negara berupa besi
jembatan kerangka baja (bailey) di Aceh, Penghunian flat tiga Wing oleh mantan
Hakim Agung, penghunian rumah dinas di Kompleks Kemanggisan oleh Pensiunan DJP,
dan penghunian rumah jabatan BKKBN oleh mantan Wakil Kepala BKKBN, dan
sebagainya. Oleh karena itu, penerapan asas-asas pemerintahan yang baik yang
terdapat dalam UU No. 28/1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, harus segera di implementasikan
dengan baik, konsekuen, dan benar.
pergeseran konsepsi nachwachresstaat
(negara peronda) ke konsepsi walfare state membawa pergeseran pada
peranan dan aktivitas pemerintah. pada konsepsi nachwachrestaat berlaku
prinsip staatsounthouding yaitu pembatasan negara dan pemerintah dari
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. pemerintah bersifat pasif hanya
sebagai penjaga kemanan dan ketertiban masyarakat. sementara itu, pada konsepsi
walfare state, pemerintah diberi kewajiban untuk mewajiban bestuurzorg
(kesejahteraan umum), yang untuk itu kepada pemerintah diberi kewenangan
untuk campur tangan (staatbemoeienis) dalam segala lapangan kehidupan
masyarakat. artinya pemerintah dituntut untuk bertindak aktif di tengah
dinamika kehidupan masyarakat.
pada dasarnya setiap
bentuk campur tangan pemerintah ini harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagai perwujudan dari asas legalitas, yang
menjadi sendi utama negara hukum. akan tetai, karena ada keterbatasan dari asas
ini atau karena adanya kelemahan dan kekurangan yang terdapat pada peraturan
perundang-undangan sebagaimana telah dijelaskan di atas, kepada pemerintah
diberi kebebasan freies Ermessen, yaitu kemerdekaan pemerintah untuk
dapat bertindak atas inisiatif sendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
sosial. freies Ermessen (diskresionare) merupakan salah satu sarana yang
memberikan ruang bergerak bagi peajabat atau badan-badan administrasi negara
untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.
dalam praktik freies Ermessen ini membuka peluang terjadinya benturan
kepentingan antara pemerintah dengan warga negara. menurut Sjachran Basah,
pemerintah dalam menjalankan aktifitasnya terutama dlam mewujudkan
tujuan-tujuan negara (atau mengupayakan berstuurszorg) melalui
pembangunan, tidak berrati pemerintah dpat bertindak semena-mena, melainkan
sikap tindak itulah yang harus dipertanggungjawabkan. artinya meskipun
intervensi pemerintah dalam kehidupan bwarga negara merupakan kemestian dalam
konsep walfare state, tetapi pertanggungjawaban setiap tindakan
pemerintah juga merupakan kemestian dalam negara hukum yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. konsepsi negara hukum mengidindikasikan
equilibrium adalah melalui peradilan administrasi, sebagai peradialn
khusus yang berwenang dan menyelasikan sengketa antara pemerintah dengan warga
negara. salah satu tolak ukur dalam menilai apakah tindakan pemerintah itu
sudah sejalan dengan negara hukum atau tidak adalah dnegan menggunakan
asas-asas umum pemerintahan yang layak.
B. Rumusan Masalah
Ø
Bagaimana sejarah AAUPL ?
Ø
Bagaimana peristilahan. Pengertian, dan
kedudukan AAUPL ?
Ø
Apa fungsi dan arti penting AAUPL ?
Ø
Apa saja asas-asas umum pemerintahan
yang layak di Indonesia ?
Ø
Bagaimana pembagian dan macam-macam
AAUPL ?
C.
Tujuan
penulisan
Ø
Mengetahui pengertian AAUPL
Ø
Mengetahui asas-asas AAUPL apa saja yang
ada di indonesia
Ø
Menegtahui seluk beluk AAUPL
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Kelahiran AAUPL
sejak diaturnya konsepsi walfare
state, yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab
terhadap kesejahteraan umum masyarakat dan untuk mewujudkan kesejahteraan ini
pemerintah diberikan wewenang untuk campur tangan dlam segala lapangan
kehidupan masyarakat, yang dalam campur tangan ini tidak saja beradasarkan pada
peraturan perundang-undangan, tetapi dalam keadaan tertentu dapat bertindak
tanpa bersandar pada peraturan perundang-undangan dan berdasarkan pada inisiatif
sendiri mealui freies Ermessen, ternyata menimbulkan kekhawatiran di dalam
kehidupan warga negara karena dengan freies Ermessen muncul peluang
terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah dengan rakyat, tidak dalam
bentuk onrechmatig overheidsdaad, detournement de pouvoir, maupun dalam
bentuk willekeur,yang merupakan bentuk-bentuk penuimpangan tindakan pemerintahan yang mengakibatkan
terampasnyahak-hak asasi warga negara. guna menghindari atau meminimalisasi
terjadinya benturan tersebut, pada tahun 1946 pemerintah Belanda membentuk
komisi yang dipimpin oleh de Monchy yang bertugas memikirkan dan meneliti
beberapa alternatif tentang Verhoogde rechtsbescherming atau peningkatan
perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan administrasi negara yang menyimpang.
pada tahun 1950 komisi de Monchy kemudian mmelaporkan hasil penelitiannya
tentang Verhoogde rechtsbescherming dalam bentuk “algemene beginselen
van behoorlijk bestuur” atau asas-asas umum pemerintahan yang layak. hasil
penelitian komisi ini tidak seluruhnya disetujui oleh pemerintah atau ada
beberapa hal yang menyebabkan perbedaan pendapat antara komisi de Monchy dengan
pemerintah yang menyebabkan komisi ini dibubarkan oleh pemerintah, kemudian
muncul komisi van greenten, yang juga bentukan pemerintah dengan tugas yang
sama dengan de Monchy. namun, komisi kedua ini mengalami nsib yang sama, yaitu
karena ada beberapa pendapat yang diperoleh dari hasil penelitiiannya yang
tidak disetujui oleh pemerintah, dan komisi ini pun dibubarkan oleh pemerintah
tanpa membuahkan hasil.
agaknya pemerintah belanda pada waktu
itu tidak sepenuh hati dalam upaya mewujudkan peningkatan perlindungan hukum
bagi rakyat dari tindakan administrasi negara. terbukti dengan dibubarkannya
dua panitia tersebut, ditambah pula dengan munculnya keberatan dan kekhawatiran
di kalangan pejabat dan para pegawai pemerintah Belanda terhadap AAUPL karena
dikhawatirkan asas-asas ini akan digunakan sebagai ukuran atau dasar pengujian
dalam menilai kebijakan-kebijakan pemerintah. meskipun demikian, termyata hasil
penelitian de Monchy ini digunakan dalam pertimbangan putusan-putusan Raad van
State dalam perkara administrasi. dengan kata lain, meskipun AAUPL ini tidak
dengan mudah memasuki wilayah demokrasi untuk diijadikan sebgai norma bagi
tindakan pemerintah, tetapi tidak demikian hanya dalam wilaayah peradilan.
seiring dengan perjalanan waktu, keberatan dan kekhawatiran para pejabat dan
pegawai pemerintahan tersebut akan hilang, bahkan sekarang telah diterima dan
dimuat dalam peraturan perundangan-undangandi Belanda.
B.
Peristilahan,
Pengertian, dan Kedudukan AAUPL
1. Peristilahan
di kalangan penulis HAN di Indonesia
terdapat perbedaan penerjamahan algemene beginselen van behoorlijk bestuur terutama
menyangkut kata beginselen behoorlijk dengan prinsip-prinsip,
dasar-dasar dan asas-asas. sementara
itu, kata-kata behoorlijk diterjemahkan dengan yang sebaiknya, yang
baik, yang layak, dan yang patut. dengan penerjemahan ini algemene
beginselen van behoorlijk bestuurmenjadi prinsip-prinsip atau dasar-dasar
atau asas-asas atau dasar-dasar umum pemerintahan yang baik atau yang
sebaiknya. Soehardjo menerjemahkan beginselen dengan dasar-dasar lalu ia
menggunakan istilah dasar-dasar pemerintahan yang baik. menurutnya, senagaja
dipilih kata “dasar” karena mempunyai arti lebih dekat atau terkait dengan
peraturan atau ketentuan sehingga secara langsung dapat dihubungkan baik dalam
penafsiran, pelaksaan dan pengujian (toetsing) peraturan hukumnya.
istilah dasar-dasar atau prinsip-prinsip juga digunakan oleh Djenal Hoesen
Koesoemahatmadja. istilah yang paling banyak digunakan sebagai pnerjjemahan
dari beginselen adalah asas-asas. adapun untuk kaata behoorlijk, yang
menerjemahkan dengan baik oleh Indroharto, Amrahmuslimin, Paulus E. Lotulung,
Muchsan, dan lain-lain. sedangkan yang menerjemahkan dnegan layak adalah ateng
Syafrudin, Sjachran Basah, Philipus M. hadjon, dan lain-lain. SF. marbun dalam
buku sebelumnya menggunakan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik, lalu
kemudian menggunakan istilah “yang patut” dengan alasan bahwa pada kaat putut d
dalamya terkandung dalam pengertian baik dan layak.
dalam bahasa Belanda istilah “behoorlijk”
berarti betamelijk dan passend, yaitu pantas, patut, cocok,
sesaui dan layak. di samping itu, juga berarti fatsoenlijk, betamejk wijze, yakni
sopan dan terhormat, tata cara yang sopan dan pantas. dengan mengacu kepada
kata siifat dan berarti ada yang disifati yaitu besttuur, maka
terjemahan algemene beginselen van behoorlijk bestuur menjadi asas-asas
umum pemerintahan yang layak kiranya lebih sesuai dari segi kebahasaan.
·
Di Belanda dikenal dengan “Algemene Beginselen van
Behoorllijke Bestuur” (ABBB)
·
Di Inggris dikenal “The
Principal of Natural Justice”
·
Di Perancis “Les Principaux Generaux du Droit
Coutumier Publique”
·
Di Belgia “Aglemene Rechtsbeginselen”
·
Di Jerman “Verfassung
Sprinzipien”
·
Di Indonesia “Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik”.
2. Pengertian
pemahaman terhadap AAUPL tidak dapat
dilepaskan dari konteks kesejarahan, di samping dari segi kebahasaan. ha ini
karen asas ini muncul karena proses sejarah, sebagaimana disebut di atas.
terlepas dari kenyataan bahwa kemudian AAUPL ini menjadi wacana yang dikaji dan
berkembang di kalangan sarjana sehingga melahirkan rumusan dan interpretasi
yang beragam, guna pemahaman awal kiranya diperlukan pengertian dari konteks
kebahasaand an kesejarahan. dengan bersandar pada kedau konteks ini, AAUPL
dapat dipahami dengan asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan atta cara
dalam penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, sopan, dan
terhormat, bebas adri kezaliman, pelanggaranperaturan, tindakan penyalahgunaan
wewenang, dan tindakan sewenang-wenang.
telah disebutkan bahwa AAUPL ini
berkembang menjadi wacana yang dijadikan kajian paar sarjana dan ini
menunjukkan bahwa AAUPL merupakan konsep terbuka (open begrip). sebagai
konsep terbuka, ia akan berkembang dan disesuaikan denagn ruang dan waktu diman
konsep ini berada. atas adasr ini tidak lah mengherankan jika secara
kontemplatif maupun aplikatif, AAUPL ini berbeda-beda antara satu negara dnegan
negara yang lainnya atau antara sarjana yang satu dengan sarjana yang lainnya.
berdasrkan penelitiannya, Jazim Hamidi menemukan pengertian AAUPL berikut ini :
a.
AAUPL merupakan nilai-nilai etik yang
hidup dan berkembang dalam lingkungan hukum Administrasi Negara .
b.
AAUPL berfungsi sebagai pegangan pejabat
administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim
administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud
penetapam/beschikking) dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak
pengguggat.
c.
sebagian besar AAUPL masih merupakan
asas-asas yang tidak etrtulis, amasih abstrak, dan daapt digali dalam praktik
kehidupan di masyarakat.
d.
sebagian asas yang lain sudah menjadi
kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif.
meskipun sebagian dari asas itu berubah menjadi akidah hukum tertulis, sifatnya
tetap sebagai asas hukum.
Menurut Para Ahli:
a.
VAN DER BURG dan GJM. CARTIGNY memberikan definisi mengenai algemene
beginselen van behoorlijk bestuur (abbb), adalah asas-asas hukum yang tidak
tertulis yang harus diperhatikan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara
dalam melakukan tindakan hukum yang akan dinilai kemudian oleh Hakim Tata Usaha
Negara.
b.
HD. Van WIJK /WILLEM KONIJNENBELT menulis sebagai berikut: organ-organ
pemerintahan – yang menerima wewenang untuk melakukan tindakan tertenu
menjalankan tindakannya tidak hanya terkait pada peraturan perundang-undangan;
hukum tertulis, disamping itu organ-oragan pemerintahan harus memperhatikan
hukum tidak tertulis, yaitu asas-asas umum pemerintahan yang baik.
c.
JBJM. Ten BERGE menyatakan bahwa, istilah asas-asas
pemeritnhan yang patut sebenarnya dimaksudkan sebagai peraturan hukum tidak
tertulis pada pemerintahan yang berdasarkan hukum. Dan menyebutkan bahwa, kita
menemukan abbb dalam dua varian, yaitu sebagai dasar penelian bagi hakim dan
sebagai norma pengarah bagi organ pemerintahan.
3. Kedudukan AAUPL dalam Sisitem Hukum
ketika
mengawali pembahasan tentang AAUPL, H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt menulis
sebagai berikut
“organ-organ
pemerintahan-yang menerima wewenang untuk melakukan tindakan
tertentu-menjalankan tindakannya tidak hanay terikat pada peraturan
perundang-undangan, hukum tertulis, di samping itu organ-orga pemerintahan
harus memperhatikan hukum tidak tertulis, yaitu asas-asas umum pemerintahan
yang layak”.
J.B.JM. Ten Berge sesudah menyebutkan
bahwa asas-asas umum pemerintahan yang patut ini berkembang setelah perang
dunia kedua, mengatakan sebagai berikut :
“istilah asas-asas pemerintahan yang
patut dapat menimbulkan salah pengertian. kata asas sebenarnya dapat memiliki
beberapa arti.kata ini mengandung arti titik pangkal, dasar-dasar atau aturan
hukum fundamental. Pada kombinasi kalimat “asas pemerintahan yang patut”
berarti kata asas mengandung arti asas hukum, tidak lain. Asas-asas
pemerintahan yang patut sebenarnya dikembangkan oleh peradilan sebagai
peraturan hukum mengikat yang diterapkan pada tindakan pemerintah.
Suatu keputusan pemerintah yang
bertentangan dengan asas pemerintahan yang layak berarti bertentangan dengan
peraturan hukum. Meskipun asas itu beraupa pernyataan samar, kekuatan
mengikatnya sama sekali tidaklah samar. Asas ini memiliki daya kerja mengikat
umum.
Istilah pemerintahan “yang
patut” juga dapat menimbulkan salah pengertian, yang berkenaan dengan hakim,
bukanlah pemerintahan yang patut, tetapi pemerintahan yang sesuai dengan hukum.
Secara ringkas dapat diaktakan bahwa asas-asas pemerintahan yang aptut sebenarnya
dimaksudkan sebagai peraturan hukum tidak tertulis pada pemerintahan yang
berdasarkan hukum.
Berdasarkan pendapat van
Wijk/Willem Konijnenbelt dan ten Berge tersebut tampak bahwa kedudukan AAUPL
dalam sistem hukum adalah sebagai hukum tidak tertulis. Menurut Philipus M.
Hadjon, AAUPL harus dipandang sebagai norma hukum yang tidak tertulis yang
senantiasa ditaati oleh pemerintah, meskipun arti yang tepat dari AAUPL bagi
tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Dapat pula
dikatakan bahwa AAUPL adalah asas-asas hukum tidak tertulis, dari mana untuk
keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat
diterapkan.
Sebenarnya
menyamakan AAUPL dengan norma hukum tidak tertulis dapat menimbulkan salah
paham sebab dalam konteks ilmu hukum dikenal bahwa antara “asas” dengan “norma”
itu terdapat perbedaan. Asas atau prinsip merupakan dasar pemikiran yang umum
dan abstrak, ide atau konsep, dan tidak mempunyai sanksi, sedangkan norma
adalah aturan yang konkrit, penjabaran dari ide, dan mempunyai sanksi.
Pada kenyataannya
AAUPL ini meskipun merupaka asas tidak semuanya merupakan pemikiran yang umum
dan abstrak, dan dalam beberapa hal muncul sebagai aturan hukum yang konkret
atau tertuang secara tersurat dalam pasal undang-undnag, serta mempunyai sanksi
tertentu,. Berkenaan dnegan hal ini SF. Marbun mengatakan bahwa norma norma
yang beralku dalam masyarakat umunya dapat diartikan dnegan peraturan, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur bagaimana manusia
seyogyanya berbuat. Oleh karena itu, penegrtian norma (kaidah hukum) dalam arti
sempit mencakup asas-asas hukum dan peraturan hukum konkret, sedangkan dalam
arti luas pengertian norma ialah suatu sistem hukum yang berhubungan satu sama
lainnya. Lebih alnjut disebutkan bahwa asas hukum merupakan sebagian dari kejiwaan
manusia yang merupakan cita-cita yang hendak diraihnya. Dengan demikian,
apabila asas-asas umum pemerintahan yang layak dapat diamknakan sebagai asas
hukum yang bahannya digali dan ditemukan dari unsur susila, didasarkan pada moral
sebagai hukum riil, bertalian erat dengan etika,kesopanan, dan kepatutan
berdasarkan norma yang berlaku.berdasarkan keterangan ini tampak, sebagaimana
juga disebutkan Jazim Hamidi, bahwa sebagian AAUPL masih merupakan asas hukum,
dan sebagian lainnya telah menjadi norma hukum atau kaidah hukum.
C.
Fungsi
dan Arti Penting AAUPL
Pada awal kemunculannya
AAUPL hanay dimaksudkan sebagai sarana perlindungan hukum (rechtbescherming) dan bahkan dijadikan instrumen untuk meningkatkan
perlindungan hukum (verhoodge
rechtbescherming) bagi warga negara dari tindakan pemerintah. AAUPL
selanjutnya dijadikan dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi,
dismping sbegai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerinttah. J.B.J.M
ten Berge menyebutkan bawa,”kita menemukan APBB dlaam dua varian, yaitu sebagi
dasar bagi penilaian bagi hakim dan sebagai norma pengarah bagi organ
pemerintahan”. Dalam perkembangannya, AAUPL memiliki arti penting dan fungsi
berikut ini.
1. Bagi
administrasi negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dan
penerapan terhadap ketentuan-ketentuan perundnag-undnagan yang bersifat sumir,
samar dan tidak jelas. Selain itu, sekaligus membatasi dan menghindari
kemungkinan administrasi negara menggunakan freies
Ermessen/ melakukan kebijaksanaan yang jauh menyimpang dari ketentuan
perundnag-undangan. Dengan demikian, administrasi negara diharapakn terhindar
dari perbuatan menyimpang
2. Bagi
warga masyarakat, sebagai pencari keadilan, AAUPL dapat dipergunakan sebagai
dasar gugatan sbaagaimana disebutkan
daalm pasal 35 UU No.5 tahun 1986.
3. Bagi
hakim TUN, dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan keptusuan
yang dikeluarkan badan atau pejabat TUN.
4. Selain
itu AAUPL tersebut juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang suatu
undang-undang.
D.
Asas-asas
Umum Pemerintahan yang Layak di Indonesia
Pada mulanya keberadaan AAUPL ini di
Indonesia belum diakui secara yuridis formal sehingga belum memiliki kekuatan
hukum formal. Ketika pembahasan RUU No.5 tahun 1986 di DPR, fraksi ABRI
mengusulkan agar asas-asas tersebut dimasukkan sebagai saalh satu alasan
gugatan terhadap keputusan pejabat/badan tat usaha negara. Akan tetapi, usulan
ini tidak diterima oleh pemerintah dengan alasa dikemukakan oleh Ismail Saleh,
selaku Menteri Kehakiman waktu itu yang mewakili pemerintah. Alasan pemerintah
adalah sebagai berikut
“menurut hemat kami, dalam praktik ketatanegaraan
kita maupun dalam Hukum Tata Usaha Negara yang berlaku di Indonesia, kita belum
mempunyai kriteria tentang “algemene
beginselen van behoorlijk bestuur” tersebut yang berasal dari Belanda. Pada
waktu itu kami belum mempunyai tradisi administrasi yang kuat mengakar seperti
halnya di negara-negara Kontinental Yurisprudensi yang kemudian akan
menimbulkan norma-norma. Secara umum prinsip dari Hukum Tata Usaa negara kita
selalu diakitkan dnegan aparatur pemerintahan yang bersih dna berwibawa yang
konkretisasi normanya maupun pengertiannya masih sangat luas sekali dan perlu
dijabarkan melalui kasus-kasus yang konkret”.
Tidak dicantumkannya AAUPL dalam UU PTUN
bukan berarti eksisitensinya tidak diakui sama sekali, karena ternyata seperti
yang terjadi di Belanda AAUPL itu diterapkan dalam praktik peradilan terutama
dalam PTU, sebagaimana akan terlihat nanti pada sebagian contoh-contoh putusan
PTUN, tetapi sebenarnya asas-asas ini dapat digunakan dalam praktik peradialn
di Indonesia karena memiliki kesadaran dalam pasal 14 ayat (1) UU No. 14 Tahun
1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman, “pengadilan
tidak boleh menolak untuk memriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan
denagn dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memriksa dan mengadilinya” dalam pasal 27
ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 ditegaskan ,”Hakim sebagai penegak hukum dan keadialn wajib mengadili, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat ”. dengan
ketentuan pasal ini, asas-asas ini memiliki peluang untuk digunakan dalam
proses peradialn administrasi di Indonesia, asas-asas ini kemudian muncul dan
dimuat dalam suatu undnag-undang, yaitu Undang-Undnag No.28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraaan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN). Dnegan format yang berbeda dengan AAUPL dari negeri Belanda,
dalam pasal 3 UU No.28 Tahun 1999 disebutkan asas-asas umum penyelenggaraaan
negara, yaitu sebagai berikut :
1.
Asas kepastian hukum, yaitu asas daalm
negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelanggara negara
2.
Asas tertib penyelenggaraan negara,
yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan
dalam pengendalian penyelnggaraan negara.
3.
Asas kepentingan umum, yaitu asas yang
mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan
selektif.
4.
Asas keterbukaan, yaitu asas yang
membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelnggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5.
Asas proporsionalitas, yaitu asas yang
mengutamakan keahlian yang berlandaskan keseimbangan antara hak dan kewajiban
penyelenggara negara.
6.
Asas profesionalitas, yaitu asas yang
mengutamakan keahlian yang mengutamakan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undnagan
yang berlaku.
7.
Asas akuntabilitas, yaitu asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara
negara harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negar sesuai dengan ketentuan peraturan perundnag-undnagan
yang berlaku.
Asas-asas yang tercantum dalam
Undnag-Undnag No.28 tahun 1999 tersebut pada awalnya dijunjukkan pada paar
penyelenggara negara secara keseluruhan, berbeda dengan asas-asas dalam AAUPL
yang sejak semula hanya ditunjukkan pada pemerintah dalam arti sempit, sesaui
dengan istilah “bestuur” pada algemen
beginselen van behoorlijk bestuur, bukan regerring atau overheid, yang
mengandung arti pemerintah dalam arti luas. Seiring dengan perjalanan waktu,
asas-asas dalam UU No.28 tahun 1999 diakuai dan diterpkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dalam proses peradilan di PTUN, yakni setelah adanya UU No. 9
tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No.5 tahun 1986 tentang PTUN.
Berdasrkan pasal 53 ayat (2) poin (a )disebutkan : “Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik”,
dan dalam penjelasannya disebutkan “yang dimaksud dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik adalah meliputi asas kepastian hukum, tertib
penyelnggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profersionalitas, dan
akuntabilitas, sebagaimana dimaksudkan dalam UU No.28 tahun 1999 tentang
Penyenggaraan Negara yang bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”. Di
smaping itu Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
asas-asas umum Pemerintahan yang Baik tersebut dijadikan asas dalam
penyelnggaraan pemerintah pemerintah daerah., sebagaimana tercantum dalam pasal
20 ayat (1) yang berbunyi ,”Penyeneggaraan
pemerintahaanberpedoman pada Asas Umum penyelenggaraan Negara yang terdiri atas
: asas kepatian hukum, asas tertib penyelnggara negar, asas kepentingan umum,
asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas
akuntabilitas, asas efesiensi, asas efektivitas”. Berdasarkan rumusan pasal
ini tampak bahwa di dalamnya terdapat dau pasal tambahan ini tidak terdapat
penjelasannya dalam undang-undnag tersebut, sehingga tidak atau belum diketahui
apa yang dimaksudkannya.
.
Perubahan peraturan perundang-undangan
di bidang kekuasaan kehakiman yang telah dilakukan adalah dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.
Sehubungan dengan hal tersebut telah diubah pula Undang-Undang No 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung dengan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan
terakhir direvisi lagi dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu undang-undang yang
mengatur lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung perlu pula
dilakukan perubahan. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala
urusan peradilan, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu
urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada dibawah kekuasaan
Mahkamah Agung. Ketentuan hukum tersebut bersumber dari kebijakan yang
ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Seiring dengan perubahan sistem
ketatanegaraan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat maka Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah mengalami revisi. Revisi
UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 dimuat dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Perubahan signifikan menyangkut 2 hal yaitu perubahan di bidang pembinaan
kelembagaan dan perubahan di bidang teknis Yustisial Revisi UU No.5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara banyak membawa perubahan penting terhadap
hukum acara peradilan tata usaha negara. Paling tidak ada tiga perubahan
substansial dalam hukum acara PTUN yang diatur dalam perubahan undang-undang
ini. Pertama, pengaturan mengenai juru sita. Kedua, pasal tentang sanksi bagi
pejabat yang tidak bersedia melaksanakan putusan PTUN yang telah berkekuatan
hukum tetap. Dan ketiga, salah satu implilaksi dari Undang-Udang Nomor 9 Tahun
2004 terhadap hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah berkaitan dengan
alasan gugatan ( beroepsgrunden) yaitu dimasukannya asas-asas umum pemerintahan
yang Layak (AAUPL) sebagai salah satu alasan yang dapat digunakan untuk
menggugat Keputusan Tata Usaha Negara ( vide pasal 53 ayat
2
huruf b Undang-Undang Nomor : 9 Tahun 2004)
Dengan masuknya AAUPL dalam
Suatu ketentuan peraturan perundangundangan maka AAUPB telah dijadikan sebagai
norma hukum positif yang 3
dapat
dijadikan sebagai alasan gugatan, dan disisi lain juga akan dijadikan sebagai
alat yuridis untuk menguji KTUN oleh Hakim PTUN. Sebelum sampai pada pembahasan
lebih lanjut, perlu kita pahami apa yang dimaksud dengan “Asas”. Menurut Prof
Dr. Ateng Syafrudin Asas adalah norma dasar yang paling umum yang tidak dapat
diabstraksikan lagi. Dalam pemahaman hukum secara elementer, perbedaan antara
asas dan norma disederhanakan sebagai berikut :
Asas
:
-
dasar pemikiran yang umum dan abstrak
-
idée atau konsep
-
tidak mempunyai sanksi
Norma
:
-
aturan yang konkrit
-
penjabaran dari idée
-
mempunyai sanksi
Berkaitan dengan AAUPB, dalam undang-undang
Peradilan Tata Usaha
Negara
yang baru yaitu UU No. 9 tahun 2004, AAUPB dijabarkan dalam
Penjelasan
pasal 53 Ayat (2) yang selengkapnya berbunyi:
Pasal
53:
(1)
Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi
(2)
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1) adalah:
a.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik. 4
Selanjutnya
Penjelasannya berbunyi:
Ayat
1:
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 1 angka 4, maka hanya orang atau badan hukum perdata
yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara. Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara. Selanjutnya
hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat
hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dan karenanya yang
bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Gugatan yang diajukan disyaratkan dalam bentuk tertulis karena gugatan itu akan
menjadi pegangan pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan. Mereka yang
tidak pandai baca tulis dapat mengutarakan keinginannya untuk menggugat kepada
Panitera Pengadilan yang akan membantu merumuskan gugatannya dalam bentuk
tertulis.
Berbeda dengan gugatan di muka
pengadilan perdata, maka apa yang
dapat
dituntut di muka Pengadilan Tata Usaha Negara terbatas pada 1 (satu) macam
tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang telah
merugikan kepentingan penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah. Tuntutan
tambahan yang dibolehkan hanya berupa tuntutan ganti rugi dan hanya dalam
sengketa kepegawaian saja dibolehkan adanya tuntutan tambahan lainnya yang
berupa tuntutan rehabilitasi.
Ayat
2:
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “asas-asas umum pemerintahan yang
baik”
adalah meliputi asas: 5
-
kepastian hukum;
-
tertib penyelenggaraan negara;
-
keterbukaan;
-
proporsionalitas;
-
profesionalitas;
-
akuntabilitas,
sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Sebelum berlakunya Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004 penggunaan asas-asas umum pemerintahan yang baik ,
penerapannya didasarkan atas ketentuan pasal 14 jo. Pasal 27 Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dan Petunjuk
Mahkamah Agung (Juklak) tanggal 24 Maret 1992 Nomor : 052/Td.TUN/II/1992 ,hal
ini disebabkan pasal 53 ayat 2 undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak secara
tegas mencantumkan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai salah satu
alasan untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara, dengan dimasukannya asas-asas
umum pemerintahan yang baik dalam ketentuan undang-undang, dengan demikian
asas-asas umum pemerintahan yang baik telah mempunyai landasan yang kuat secara
yuridis formal.
E.
Pembagain
dan Macam-macam AAUPL
1. Pembagian AAUPL
Berkenaan dnegan ketetapan (beschikking), AAUPL terbagi dalam dua
bagian, yaitu asas yang bersifat formal atau prosedural dan asas yang bersifat
material dan substansial. Menurut P. Nicolai mengatakan bahwa ,”perbedaan
antara asas-asas prosedural dan material, AAUPL ini penting untuk perlindungan
hukum”. Asas yang bersifat formal berkenaan dengan prosedur yang harus dipenuhi
dalam setiap pembuatan ketetapan, dan asas-asas yang berkaitan dengan cara-cara
pengambilan keputusan seperti asas kecermatan, yang menuntut pemerintah untuk
mengambil keputusan dengan persiapan yang cermat,dan asas permainan yang layak.
Menurut Indroharto, asas-asas yang bersifat formal yaitu asas-asas yang penting
artinya dalam rangka mempersiapkan susunan dan motivasi dalam suatu beschikking itu, yang meliputi asas-asas
yang brekaitan dnegan proses persiapan dan proses pembentukan keputusan, dan
asas-asas yang berkaitan dengan pertimbangan (motivering) serta susunan keputusan. Asas-asas yang bersifat
material tampak pada isi peraturan pemerintah. Termasuk kelompok asas yang
bersifat material atau substansial ini adalah asas kepastian hukum, asas
persamaan, asas larangan sewenang-wenang, larangan penyalahgunaan kewenangan.
2. Macam-macam AAUPL
Telah disebutkan AAUPL merupakan konsep
terbuka dan lahir dari proses sejarah sehingga terdapat rumusan yang beragam
mengenai asas-asas tersebut.
a. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum memiliki dua aspek,
yang satu lebih bersifat hukum material, yang lain bersifat formal. Aspek hukum
material terkait erat dengan asas kepercayaan. Dalam banyak keadaan asas
kepastian hukum menghalangi badan pemerintahan untuk mengambil kembali sebuah
keputusan atau mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan. Dengan kata
lain, asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang
berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Jadi demi
kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak
untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses peradilan.
Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepatian hukum membawa serta bahwa
ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-ketetapan
yang menguntungkan, harus disusun dnegan kata-kata yang jelas. Asas kepastian
hukum memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa
yang dikehendaki daripadanya. Unsur ini memegang peran misalnya pada pemberian
kuasa surat-surat perintah secara tepat dan dengan tidak mungkin adanya
berbagai tafsiran yang dituju harus dapat terlihat, kewajiban-kewajiban apa
yang dibebani kepadanya. Asas ini berkaitan dengan prinsip dlam hukum administrasi
negara, yaitu asas seyiap keputusan badan atau pejabat tata usaha negara yang
dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama belum dibuktikan sebaliknya
atau dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dnegan hukum oleh hakim
administrasi.
b. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara
hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan seorang pegawai. Asas ini
menghendaki pula adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau
kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan seseorang sehingga
memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada dan seiring dengan
persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian hukum. Artinya tErhadap
pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan orang yang berbeda akan
dikenakan sanksi yang sama, sesuai dengan kriteria yang ada dalam peraturan
perundnag-undnagan yang berlaku.
Di Indonesia asas keseimbangan ini
terdapat contoh dalam hukum positif yang berisi kriteria pelanggaran dan
penerapan sanksinya, yaitu sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 6 PP No.30
Tahun 1980 dalam Peraturan Disiplin pegawai . di pasal tersebut ditentukan
sebagai berikut :
1)
Hukuman disiplin ringan berupa :
a)
Teguran lisan,
b)
Teguran tertulis
c)
Pernyataan tidak puas secara tertulis
2)
Hukuman disiplin sedang berupa :
a)
Penundaan kenaikan gaji berkala untuk
paling lama satu tahun
b)
Penurunan gaji yang besarnya satu kali
kenalikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun
c)
Penundaan kenaikan pangkat untuk paling
lama satu tahun
3)
Hukuman disiplin berat berupa :
a)
Penurunan pangkat setingkat lebih rendah
paling lama satu tahun
b)
Pembebasan dari jabatan
c)
Pemberhentian dnegan hormat sebagai
pegawai negeri sipil
c. Asas Kesamaan dalam mengambil
Keputusan
Asas
ini menghendaki badan pemerintahan mengambil tindakan yang sama (dalam arti
tidak bertentangan) atau kasus-kasus yang faktanya sama. Meskipun demikian,
agaknya dalam kenyataan sehari-hari sukar ditemukan adanya kesamaan mutlak
dalam dua atau lebih kasus. Oelh akrena itu, menurut Philipus M. Hadjon saat
ini memaksa pemerintah untuk menjalankan kebijaksanaan. Bila pemerintah
dihadapkan pada tugas baru yang dalam rangka itu harus mengambil banyak sekali
keputusan tata usaah negara, pemerintah memerlukan aturan-aturan atau
pedoman-pedoman. Bila pemerintah sendiri menyusun aturan-aturan (pedoman-pedoman)
iu untuk memberi arah kepada pelaksaan wewenang bebasnya, hal itu disebut
aturan-aturan pelaksanaan. Jaid tujuan aturan-aturan kebijkasanaan ialah
menunjukkan perwujudan asas perlakuan yang sama atau asas persamaan yang
berlaku bagi setiap orang.
Karena
tidak ada kasus yang mutlak sama dnegan kasus lain kedatipun tampak serupa,
ketika pemerintah mengahadapi berbagai kasus yang tampaknya sama itu, ia harus
bertindak cermat untuk mempertimbangkan titik-titik persamaan. Pemerintah juga
dapat menerapkan KTUN yang pernah dikeluarkan dalam kasus yang faktanya sama,
akan tetapi bukan berararti dapat menerapkan KTUN yang salah atau keliru, yang
pernah dikeluarkan untuk kasus-kasus sebelumnya. Asas ini terkesan kabur
apabila diakitkan dengan pendapat Van Vollenhoven, yang menyatakan bahwa sifat
tindakan pemerintah itu kasusistis, artinya suatu peristiwa tertentu tidka
berlaku tindakan yang sama terhadap peristiwa lainnya.
d. Asas Bertindak Cermat atau
Asas Kecermatan
Asas ini menghendaki agar pemerintah atau
administrasi bertindak cermat dalam melakukan berbagai aktivitas
penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan sehingga tidak menimbulkan kerugian
bagi warga negara. Apabila berkaitan dengan pemerintah untuk mengeluarkan
keputusan, pemerintah hatus mempertimbangkan secara cermat dan teliti semua
faktor dan keadaan yang berkaitan dnegan materi keputusan, mendengan dan
mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, juga harus mempertimbangkan akibat-akibat hukum yang muncul
dari keputusan tata usaha negara tersebut.
Asas kecermatan masyarakat agar badan
pemerintahan sebelum mengambil ketetapn, meneliti smeua fakta yang relevan dan
memasukkan pual semua kepentingan yang relevan dalam pertimbangannya. Bila
fakta-fakta penting kurang teliti, itu berarti tidak cermat. Asas kecermatan
membawa serta bahwa badan pemerintah tidak boleh dengan mudah menyimpangi
nasihat yang telah diberikan apalagi apabila dalam panitia penasihat itu duduk
ahli-ahli dalam bidang tertentu. Penyimpangan memang diperbolehkan, tetapi
mengaharuskan pemberian alasan yang tepat dan kecermatan yang tinggi. Di bawah
ini ada beberapa keputusan PTUN yang berkaitan dnegan asas kecermatan.
Ø
Keputusan PTUN Medan No.
70/G/1992/PTUN-Medan mengenai gugatan para penggugat terhadap surat pembebasan
tugas oleh Kepala Kantor Urusan Agama. Dalam fundamentum petendinya disebutkan
:”bahwa tergugat tidak meneliti dengan seksama tentang rekayasa pengaduan
jemaah Masjid B dan tidka meneliti tentang ahsil pengaduan tersebut”. PTUN menyimpulkan
bahwa dihubungkan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya asas
kecermatan, maka jelas surat keputusan tergugat telah menyimpang dari asas
tersebut.
Ø
Putusan PTUN Medan
No.65/G/1992/PTUN-Medan mengenai gugatan seseorang purnawirawan ABRI berhadapan
dengan Kepala Kantor Badan Pertanahan kabupaten. Penggugat mendalilkan bahwa
tanpa sepengetahuan penggugat, tergugat telah mengeluarkan sertifikat atas nama
AWN, padahal tanah itu milik penggugat. Dalam aksusu ini hakimPTUN mempertimbangkan
bahwa tergugat telah melakukan perbuatan yang bertentanagn dengan asas
kecermatan dan kurang ahti-hati.
Ø
Keputusan PTUN Palembang No.
16/PTUN/G/PLG/1991 mengenai gugatan seorang pegawai Universitas Bengkulu
terhadap rektor yang telah memutasinya dari jabatan tanpa dibuktikan
kesalahnnya dulu. Tindakan rektor dipersalahkan karena dalam keputusannya
melanggar asas kecermatan formal.
e. Asas Motivasi untuk setiap
Keputusan
Asas ini menghendaki setiap
keputusan badan-badan pemerintah harus mempunyai motivasi atau alasan yang
cukup sebagai dasar dalam emnerbitkan keputusan dan sedapat muingkin alasan
atau motivasi itu tercantum dalam keputusan. Motivasi atau alasan ini harus benar
dan jelas sehingga pihak administrabele memperoleh
pengertian yang cukup jelas atas keputusan yang ditunjukkan kepadanya. Menurut
SF. Mabun setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha negara yang
dikeluarkan harus berdasarkan alasan dan alasannya harus jelas, terang, benar,
objektif,dan adil. Motivasi perlu dimasukkan agar setiap orang dengan mudah
mengetahui alasan atau pertimbangan dikeluarkannya keputusan tersebut sehingga
mereka yang tidak puas dapat mengajukan keberatan atau banding dnegan menggunakan
alasan/pertimbangan atau motivasi dikeluarkannya keputusan tersebut sebagai
titik pangkal pembahasannya. Motivasi atau alasan ini juga penting bagi hakim
administrasi utamanya untuk menilai keputusan yang disengketakan itu dengan
membaca motivasinya. Asas pemberian alasan ini dapat dibedakan dalam tiga sub
varian berikut ini.
Ø
Syarat bahwa suatu ketetapan harus
diberi alasan
Pemerintah
harus dapat memberikan alasan mengapa ia mengambil suatu ketetapn tertentu.
Pihak yang berkepentngan berhak mengetahui alasan-alasannya. Bila suatu
ketetapan merugikan satu orang atau lebih yang berkepentingan, pemerintah yang
baik mensyaratkan bahwa pemberian alasan sedapat mungkin segera diberitahukan
bersama-sama dengan ketetapan. Agar perlindungan hukum administrasi dapat
berfungsi dnegan baik, hak memperoleh alasan-alasan dari suatu ketetapan ini
penting sekali sebab yang berkepentingan tidak dapat menyusun argumentasi yang
baik dalam permohonan banding atau surat keberatannya bila tidak mengetahui
dasar-dasar apa yang dipakai untuk ketetapan yang merugikan dirinya. Juga bagi
hakim tersedianya dasar-dasar ini merupakan keharusan karena sukar untuk
menilai isi dari ketetapan yang diambil,tanpa memiliki argumentasi penguasa.
Ø
Ketetapan harus memiliki dasar fakta
yang teguh
Fakta
yang menjadi titik tolak dari ketetapan harus benar. Bila ternyata bahwa
fakta-fakta pokok berbeda dari apa yang dikemukakan atau diterima oleh badan
pemerintah, dasar fakta yang teguh dari alasan-alasan tidak ada. Dalam hal ini
biasanya terdapat cacat dalam kecermatan.
Ø
Pemberian alasan harus cukup dapat
mendukung
Pemberian
alasan harus masuk akal juga secara keseluruhan harus sesuai dan memiliki
kekuatan yang menyakinkan karena pada umumnya hampir semua cacat dalam
ketetapan dapat dikembalikan pada cacat dalam pemberian alasan. Begitu pula
keadaan-keadaan interpretasi undnag-undang yang keliru kadangkala dikembalikan
pada cacat dalam pemberian alasan dari pada bertentangan dengan peraturan yang
keliru atau suatu aturan kebijaksanaan, mengarah pada kesimpulan adanya
pemberian alasan yang cacat.
f. Asas tidak Mencampuradukkan
Kewenangan
setiap
pejabat pemerintah memiliki wewenang yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau atau berdasarkan pada asas legalitas.
Dengan wewenang yang diberikan itulah pemerintah melakukan tindakan-tindakan
hukum dalam rangka mengatur warga negara. Kewenangan pemerintah umum mencakup
tiga hal, yaitu kewenangan dari segi material, kewenangan dari segi wilayah,
dan kewenangan waktu. Seseorang pejabat pemerintahan memiliki kewenangan yang
sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan bagik dari segi materi,
wilayah, maupun waktu. Aspek-aspek wewenang ini tidak dapat dijalankan melebihi
dari apa yang sudah ditentukan dalam peraturan yang berlaku. Artinya asas tidak
mencampuradukkan kewenangan ini menghendaki agar pejabat tata usaha negara
tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan
dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenangan yang melampaui batas.
Di
dalam Undang-undang No. 5 tahun 1986 terdapat dua jenis penyimpangan penggunaan
wewenang, yaitu penyalahgunaan wewennag (detournement
de pouvoir) dan sewenang-wenang (wiilekeur),
yang disebutkan dalam pasal 53 ayat (2) huruf b dan c yang berbunyi sebagai
berikut :
(b) badan atau pejabat Tata usaah
Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya
wewenang tersebut.
(c) badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangakn semua kepentingan yang
tersangkut dengan keputusan ini seharusnya tidak sampai pada tidak sampai pada
penngambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut.
Untuk memperjelas bentuk penyalahgunaan
wewenang dan tindakan sewenang-wenang dari administrasi negara dapat dilihat
dari dua kasus berikut ini :
1. Biro
ketertiban DKI Jakarta pernah mengeluarkan instruksi pada tahun 1987 mengenai
pembongkaran bangunan milik AW, tetapi instruksi tersebut ditangguhkan
pelaksanaanya oleh Wakil gubernur DKI tahun 1988 dan 1989. Kemudian pada tahun
1990 Wakil Gubernur DKI menerbitkan instruksi pada wali kota sehingga tanggal
23 April 1990 terbit surat perintah bongkar (1) dari wali kota dan tanggal 30
April 1990 terbit surat perintah bongkar (II). Setahun kemudian 9 April 1991
terbit surat perintah bongkar (III). Suart bongkar perintah dari wali kota itu
merupakan rekayasa dari Kepala Biro ketertiban DKI Jakarta yang mungkin tidak
diketahuinya sebab ditangguhkannya spelaksanaan pembongkaran sejak tahun 1990
karena sattus pemilikannya masih dalam proses sengketa antara AW dan AS di
pengadilan Umum. Anehnya selama masa penerimaan sura perintah pembongkaran itu
semata-mata untuk kepentingan AS yang memfitnah bahwa bangunan AS yang berada
di Pinangsia Raya No.32 Jakarta Barat tanpa IMB, padahal bangunan itu memiliki
IMB yang sah dan tidak menyimpang dari Peraturan Tata Ruang pemda DKI.
Penggunaan dan peruntukan bangunan itu telah memperoleh izin sesuai dengan SIUP
tanggal 6 Mei 1983 dan terakhir tanggal 7 januari 1989. Oleh karena itu, dalam
perkara ini terlihat adanay penyalahgunaan
wewenang, yakni pembongkaran dimaksudkan untuk mengakhiri sengketa AW dan
AS, bukannya untuk kepetingan umum sesuai dasar, maksud dan tujuan diberikannya
wewenang tersebut.
2. Putusan
PTUN Medan dalam perkaara gugatan terhadap Kepala perusahaan Umum Listrik
Negara karena telah memutuskan listrik di pablik penggugat, namun setelah
diperiksa polisi ternyata meteran penggugat itu baik. PLN mau memasangnay
kembali apabila penggugat membayar sewa listrik yang tertinggal sebanyak Rp. 73
juta. Ketika penggugat menanyakan hal itu kepada PLN, pihak PLN menganjurkan aga penggugat menemui
Tim Opal. Setelah penggugat menghubungi Tim Opal tersebut, dimintanya penggugat supaya
menghubungi saja tergugat sendiri. PTUN mempertimbangkan bahwa dalam kasus ini
tergugut telah melakukan perbuatan
sewenang-wenang (willekeur). Oleh karena itu, PTUN membatalkan surat
perintah membayar Rp. 73 juta tersebut sambil memerintahkan tergugat untuk
mengeluarkan surat perintah baru untuk menyambung kembali listrik kepada pabrik
penggugat.
g.
Asas
Permainan yang Layak
asas
ini menghendaki agar warga negara diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mencari kebenaran dan keadilan serta diberi kesempatan untuk membela diri sendiri
dengan memberikan argumentasi-argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan
administrasi. Asas ini juga menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan
dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara. Adanya instansi banding
memungkinkan terealisasinya asas ini, karena warga negara yang tidak puas
terhadap putusan pengadilan tingkat pertama masih diberi kemungkinan untuk
mencari kebenaran dan keadilan, baik melalui instansi pemerintah yang lebih
tinggi atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan administrasi
(melalui sistem administratief beroep)
maupun melalui badan peradilan tata usaha negara yang lebih tinggi. Asas ini
penting dalam peradilan administrasi negara karena terdapat pebedaan kedudukan
antara pihak penggugat dan tergugat. Pejabat yang selaku pihak tergugat secara
politis memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan
penggugat. Selaku pihak yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi, tergugat
akan lebih sukar mengakui kekeliruan atau kesalahan yang dilakukannya karena
hal ini berkaitan dengan kredibilitas dan harga diri para pejabat negara yang
bersangkutan.
Instansi
yang mengeluarkan keputusan tidak boleh menghang-halangi seseorang yang
berkepentingan untuk memperoleh keputusan yang akan menguntungkan baginya. Bila
seorang yang terkena putusan ini mengajukan banding administratif, lalu
instansi yang menerbitkan keputusan ini berusaha menekan atau mempengaruhi
instansi abnding, putusannya dapat dibatalkan karena pertentangan dnegan asas fair play.
Menurut
Philipus M. Hadjon sejak 1 Mei 1980 asas ini tidak lagi digunakan di Belanda
karena Belanda sudah memiliki Undang-undang keterbukaan pemerintah (wet van openbaarheid van bestuur). Asas
keterbukaan diangkat dari asas demokrasi dalam pelaksanaan pemerintahan yang
menunjukkan bahwa asas demokrasi tidak saja dilaksanakan mellaui badan
perwakilan rakyat, tetapi juga oleh setiap warga masyarakat sehubungan dengan
tindak pemerintahan berupa keputusan. Dalam perkembangan penyelnggaran
pemerintahan asas keterbukaan semakin penting terutama setelah bergemanya isu
demokratisasi.
Seiring dengan perkembangan dan
tuntutan negara hukum demokratis, keberadaan asas keterbukaan tidak dapat
diabaikan. asas keterbukaan ini
mempunyai fungsi-fungsi penting, yaitu sebagai berikut,
(1) Fungsi
partisipasi, yaitu keterbukaan sebagai alat bagi warga untuk ikut serta dalam
proses pemerintahan secara mandiri
(2) Fungsi
pertanggungjawaban umum dan pengawasan keterbukaan, yaitu pada satu sisi
sebagai alat bagi penguasa untuk memberi pertanggungjawaban di muka umum, pada
sisi lain sebagai alat bagi warga untuk mengawasi penguasa.
(3) Fungsi
kepastian hukum, yaitu keputusan-keputusan penguasa tertentu yang menyangkut
keduudkan hukum para warga demi kepentingan kepastian hukum harus dapat
diketahui, jadi harus terbuka.
(4) Fungsi
hak dasar, yaitu keterbukaan dapat mengajukan penggunakan hak-hak dasar seperti
hak pilih, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan hak untuk berkumpul dan
berbicara. Meskipun asas ini demikian penting, namun belum mendapat kajian
serius dalam berbagai literatur hukum administrasi negara, yang banyak
tercantum adalah asas permainan yang layak.
Ada contoh mengenai penerapan asas fair play ini yaitu Putusan PTUN Bandung
dan PT UN Jakarta dalam sengketa kantor Lelang negara Bandung. Kepala kantor Lelang bandung telah mengeluarkan
Surat Keputusan No.5.1653 A/WPN.04/KL.01/1993 dan Risalah Lelang
No.1052/1993-1994 tanggal 13 Desember 1993 perihal pemberitahuan lelang atas
rumah/bangunan SHGB No.427 jalan rena Jaya No.3 Villa Duta Kodya Bogor. Akibatnya
penggugat merasa dirugikan kepentingannya sebbab dengan dikeluarkannya risalah
lelang terkandung suatu keputusan mengenai pengalihan hak kepemilikan atas
tanah dna bangunannya. Oleh karena itu, PTUN Bandung dalam pertimbangan
hukumnya menilai benar bahwa tergugat berwenang melakukan lelang atas tanah dan
bangunan dalam SHGB No. 427/Tagalega dan SHM No.635/Tagalega. Kewenangan yang
dimiliki oleh tergugat tersebut harus dikaitkan dengan suatu tindakan yang
berhubungan dengan proses pelelangan itu sendiri,sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut ternyata bertentangan
dengan pasal 20 alinea 5 ordonansi 28 Februari 1908 Ln 08-189 tentang Peraturan
lelang dan bertentangan dengan pasal 21 PP No.10 tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah. Selain itu juga, telah melanggar asas fair play (kejujuran) dan asas kecermatan materiil dalam asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
Melalui keternagan dan contoh kasus tampak
bahwa asas ini menuntut pada pejabat administrasi agar di samping harus
mematuhi aturan-aturan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku, juga dituntut unuk berlaku jujur dan terbuka terhadap segala
aspek yang berkaitan dengan hak-hak warga negara.
h. Asas Keadilan dan Kewajaran
Asas ini menghendaki agar setiap tindakan
badan atau pejabat administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan
kewajaran. Asas keadilan menuntut tindakan secara proporsional, sesuai,
seimbang dan selaras engan hak setiap orang . oleh karena itu, setiap pejabat
pemerintah yang melakukan tindakannya harus sesuai memperhatikan aspek keadilan
ini. Sementara itu, asas kewajaran menenkankan agar setiap aktivitas pemerintah
atau administrasi negara memperhatikan nilai-nila yang berlaku di masyarakat,
baik itu berkaitan dengan agama, moral,adat istiadat, maupun nilai-nilai
lainnya.
Di Belanda ada satu contoh mengenai asas
ini. Berdasarkan UU Asuransi kesehatan Nasional, jika seorang pekerja untuk
sementara waktu tidak bisa melakukan pekerjaanya karena sakit, ia mendapatkan
uang sakit selama asa sakit. Ada seorang pekerja yang menuntuk uang sakit
karena menderita rematik punggung. Akan tetapi pada suatu hari minggu, si sakit
tersebut bermain bola, artinya ia telah melanggar petunjuk-petunjuk dokter.
Atas dasar ini instansi yang mengurus asuransi kesehatan menarik kembali uang
sakit secara total merupakan suatu tindakan peringatan yang layak/tidak
semestinya.
Berdasarkan kasus tersebut dapat dijadikan
suatu pelajaran abhwa pemerintah harus selalu memperhatikan berbagai aspek
dalam mengambil tindakan, kendatipun terhadapa masalah yang tidak begitu
penting atau membawa dampak yang serius. Apalahi menghadapi persoalan-persoalan
besar yang menyangkut persoalan hidup banyak orang yang berkaitan dengan
nilai-nilai yang telah lama dianut secara tetap oleh suatu masyarakat.
i.
Asas
kepercayaan dan Menanggapi pengharapan yang Wajar
Asas
ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus
menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. Oleh karena itu, aparat
pemerintahan harus memperhatikan asas ini sehingga jika suatu harapan sudah
terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun
tidak menguntungkan bagi pemerintah. Menurut Indroharto, asas ini muncul karena
dua sebab. Pertama, harapan-harapan
dapat terjadi dengan perundang-undangan, perundangan-undangan semu, dengan
garis tetap keputusan-keputusan yang sampai detik itu tetap secara konsisiten
dilakukan penguasa, penerangan dan penjelasan-penjelasan yang sudah diberikan
oleh penguasa yang bersangkutan, kesanggupan-kesanggupan yang telah
dikeluarkan, beschikking yang
sebelumnya dikeluarkan, suatu perjanjian yang telah dibuat, atau dnegan
peraturan-peraturan faktual penguasa, dengan membiarkan keadaan ilegal berjalan
beberapa waktu. Kedua, syarat
disposisi, atas dasar kepercayaan yang ditimbulkan pada dirinya, ia tidak akan
berbuat demikian. Contohnya ia mengira gajinya harus naik sekian bulan depan karena sudah diberitahu
oleh atasannya. Oleh akrena itu, ia mengadakan pengeluaran-pengeluaran yang
tidak akan ia lakukan kalau ia tidak ditimbulakn kepercayaan itu pada dirinya.
Setelah ia mengadakan pengeluaran ekstra, tentunya ia menderita kerugian yang
disebabkan oleh kepercayaan yang ditimbulkan tersebut.
Di
Belanda terdapat kasus tentang seorang pegawai negeri yang melakukan tugas
dengan menggunakan kendaraan pribadi pada waktu dinas, dan ia memperoleh izin.
Akan tetapi, pegawai tersebut tidak mendapat kompensasi biaya yang telah
dikeluarkan selama bertugas, bahkan pejabat pemerintah menarik ekmbali izin
yang telah diberikan. Central Board for Appeal membatalkan penarikan izin
tersebut karena dianggap bertentangan dengan asas harapan-harapan yang
ditimbulkan.
j.
Asas Meniadakan suatu Keputusan yang Batal
Asas
ini berkaitan dengan pegawai, yang dipecat dari pekerjaanya dengan suatu surat
ketetapan (beschikking). Seorang yang
dipecat karena diduga melakukan kejahatan, tetapi telah dilakukan proses
pemeriksaan di pengadilan, ternyata pegawai bersangkutan tidak bersalah. Hal
ini sua=rat ketetapan pemberhentian yang ditunjukkan kepada pegawai yang
bersangkutan itu harus dianggap batal. Dalam hal demikian, maka pegawai yang
ternyata tidak bersalah tersebut harus dikembalikan lagi pada tempat pekerjaan
semula, tetapi juga harus diberi ganti rugi dan/kompensasi serta harus
direhabilitasi nama baiknya. Proses menempatkan ekmbali pada keperjaan semula,
pemberian ganti rugi atau kompensasi serta harus direhabilitasi nama baiknya
merupakan cara-cara untuk emniadakan akibat keputusan yang batal atau tidak
sah.
Di
Indonesia ketentuan pasal ini terdapat daam Pasal 9 ayat (1) Undang-undnag
No.14 Tahun 1970 yang berbunyi,”Seseorang yang ditangkap, ditahan, ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau berdasarkan kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, berhak emnuntut ganti kerugian
dan rehabilitasi”. Pengertian rehabilitasi terdapat dalam Pasal 1 butir 23
KUHAP yaitu, hak seseorang untuk emndapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan,
penuntutan ataupun peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang ini. Dalam kaitannya dnegan
pegawai megeri, penjelasan Pasal 21 ayat (2) undang-undang No.5 tahun 1986
disebutkan bahwa rehabilitasi merupakan pemulihan hak penggugat dalam kemampuan
kedudukan, harkat, dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula,
sebelum ada keputusan yang disengketakan. Dalam pemulihan tersebut termasuk
juga hak-haknya yang ditimbulkan oleh kemampuan kedudukan dan harkatnya sebagai
pegawai negeri.
k.
Asas Perlindungan atas Pandnagan atau Cara Hidup Pribadi
Asas ini
menghendaki pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap pegawai
negeri dan juga tentunya hak kehidupan pribadi setiap warga negara, sebagai
konsekuensinya negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan melindungi
hak asasi setiap warga negara. Dengan kata lain, asas ini merupakan
pengembangan dari salah satu prinsip negara hukum, yakni perlindungan hak
asasi. Contoh mengenai penerapan asas ini terjadi di Belanda. Seorang pegawai
yang telah berkeluarga mengadakan hubungan seksual dengan seorang sekretaris
wanita. Atas kejadian ini abdan pemerintah mengambil tindakan disiplin, tetapi
kemudian dibatalkan oleh central Board for Appeal dengan alasan bahwa pegawai
mempunyai hak untuk hidup sesuai dengan pandangan hidupnya.
Bagi Bangsa
Indonesia tentunya penerapan asas ini tentunya harus dikaitkan dengan sistem
keyakinan, kesusilaan, norma-norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, atau
sebagaimana disebutkan oleh Kuntjoro Purbopranoto, assa tersebut harus
disebutkan dengan pokok-pokok Pancasila dan UUD 1945. Benar bahwa pandangan
hidup seseorang merupakan hak asasi yang harus dihormati dan dilindungi, tetapi
penggunakan hak itu sendiri akan berhadapan denagn norma dan sistem keyakinan
orang lain yang diakui dan dijunjung tinggi dalam suatu masyarakat. Artinya
pandangan hidup seseorang itu tidak dapat digunakan ketika bertentangan denagn
norma-norma suatu bangsa.
l.
Asas Kebijaksanaan
Asas ini menghendaki
pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan
keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan
perundang-undangan formal karena peraturan perundang-undangan formal atau hukum
tertulis itu selalu membawa cacat bawaan yang merupakn titik fleksibel dan
tidak dapat menampung semua persoalan serta cepat ketingalan zaman, sementara
pekembangan masyarakat itu bergerak dnegan cepat untuk bertindak cepat, tetapi
juag dituntut untuk berpandnagan luas dan jauh serta mampu memperhitungkan
akibat-akibat yang muncul dari tindakannya tersebut. Di Indonesia asas
kebijaksanaa ini sejalan dengan hikmah kebijaksanaan, yang menuntut
Notohamodjoio seperti dikutip Kuntjoro Purbopranoto, berimplikasikan tiga unsur
yaitu : 1) pengetahuan yang tandas dan analisis situasi yang dihadapi 2)
rancanagn penyelesaian atas dasar “staatsidee” atau “rechtsidee” yang disetujui
bersama yaitu Pancasila 3) mewujudkan rancangan penyelesaian untuk mengatasi
situasi dengan tidakan perbuatan dan penjelasan yang tepat, yang dituntut oleh
situasi yang dihadapi.
m.
Penyelenggaraan Kepentingan Umum
Asas ini menghendaki agar pemerintah
dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum, yakni
kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak. Asas ini
merupakan konsekuansi dianutnya konsepsi negara hukum modern (welfare state), yang emnempatkan
pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab untuk mewujudkan bestuurzorg (kesejahteraan umum) warga
negaranya. Pada dasarnya pemerintah dlam menjalankan berbagai kegiatan harus
berdasarkan peraturan perundnag-undangan yang berlaku (asas legalitas), tetapi
akrena ada kelemahan dan kekurangan asas legalitas seperti tersebut di atas,
pemerintah dapat bertindak atas dasar kebijaksanaan untuk menyelenggarakan
kepentingan umum.
Penyelenggaraan
kepeningan umum dapat berwujud hal-hal diantaranya :
1)
Memelihara kepentingan umum yang khusus
mengenai kepentingan negara, dimana contohnya tugas pertahanan dan keamanan
2)
Memelihara kepentingan umum dalam arti
kepentingan bersama dari warga negara yang tidak dapat dipelihara oleh warga
negara sendiri yang contohnya adalah persediaan sandnag pangan, perumahan,
kesejahteraan, dan lain-lain.
3)
Memelihara kepentingan bersama yang
tidak seluruhnya dapat dialkukan oleh watga negara sendiri, dalam bentuk
bantuan negara. Contohnya pendidikan dan pengajaran, kesehatan dan lain-lain.
4)
Memelihara kepentingan dari warga negara
perorangan yang tdiak seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warga negara
sendiri, dalam bentiuk bantuan negara karena adakalanya negara memlihara
seluruh kepentingan perseorangan tersebut yang contohnya adalah pemeliharaan
fakir miskin, anak yatim, anak cacat,
dan lain-lain.
5)
Memelihara ketertiban, ekamanan, dan
kemakmuransetempat, yang contohnya adalah peraturan lalu lintas, pembangunan,
perumahan, dan lain-lain.
Perbandingan ABBB dan AUPB/L
1.
Asas persamaan
2.
Asas kepercayaan
3.
Asas kepastian hukum
4.
Asas kecermatan
5.
Asas pemberian alasan
6.
Larangan ‘detournement de pouvoir’
7.
Dan larangan bertindak sewenang2
|
1.
Asas kesamaan
2.
Asas menanggapi pengharapan
yg wajar
3.
Asas kepastian hukum
4.
Asas bertindak cermat
5.
Asas motivasi
6.
Asas jangan
mencampuradukkan wewenang
7.
Asas keadilan dan
kewajaran
8.
Asas keseimbangan
9.
Asas fair play
10.
Asas meniadakan
akibat putusan batal
11.
Asas pelindungan
pandangan hidup
12.
Asas kebijaksanaan
13.
Asas kepentingn umum
|
Menurut World Bank dan UNDP
Suatu pemerintahan yang baik meliputi :
1. Participation
2. Rule of Law
3. Transparancy
4. Responsiveness
5. Concensus Orientation
6. Equity
7. Effectiveness and Efeciency
8. Acountability
9. Strategy Vision
Dari uraian-uraian di atas maka cirri-ciri Tata
Pemerintahan yang baik antara lain adalah :
1. Mengikutsertakan seluruh masyarakat
2. Transparansi dan bertanggung jawab
3. Adil dan Efektive
4. Menjamin Kepastian Hukum
5. Adanya Konsensus masyarakat dengan Pemerintah dalam
segala bidang
6. Memperhatikan kepentingan orang miskin.
Di atas dapat
disebutkan abhwa AAUPL merupakan konsep terbuka dan lahir dari proses sejarah
sehingga dalam perkembangannya akan muncul perbedaan-perbedaan dengan asas yang
lahir dan ada di negara asalnya, Belanda. Asas kebijaksanaan dan asas
penyelenggaraan kepnetingan umum merupakan contoh dari perbedaan tersebut. Asas
ini hanya dikenal di Indonesia, yang diintroduksi oleh Kuntjoro Purbopranoto.
Oleh akrena itu, jika membaca literatur asing tentang AAUPL/ABBB, tidak akan
menemukan asas kebijaksaan dan asas penyelenggaraan kepentingan umum.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
AAUPL dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan
sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang
dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan,
adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaraan peraturan, tindakan
penyalahgunaan wewenang, dan tindakan sewenang-wenang.
2. Sebagian AAUPL masih merupakan asas
hukum, dan sebagian lainnya telah menjadi norma hukum atau kaidah hukum.
3. AAUPL pertama kali dekembangkan di
Belanda. Pd tahun 1950, De Monchy mengadakan penelitian Yurisprudensi
Belanda. Hal ini dilakukan atas permintaan rakyat terhadap perlindungan hukum
bagi rakyat Belanda.
4. Macam-macam AAUPL tersebut adalah
sebagai berikut :
a) Asas Kepastian
Hukum
b) Asas
Keseimbangan
c) Asas Kesamaan
dalam Mengambil Keputusan
d) Asas Bertindak
Cermat atau Asas Kecermatan
e) Asas Motivasi
untuk Setiap Keputusan
f)
Asas tidak Mencampuradukkan Kewenangan
g) Asas keadilan
dan Kewajaran
h) Asas
Kepercayaan dan Menanggapi Pengharapan yang Wajar
i)
Asas Meniadakan Akibat suatu Keputusan yang Batal
j)
Asas Perlindungan Atas Pandangan atau Cara Hidup Pribadi
k) Asas
Kebijaksanaan
l)
Penyelenggaraan Kepentingan Umum
5. Dalam pasal 3 UU No.28 Tahun 1999
disebutkan beberapa asas umum penyelenggaraan negara, yaitu sebagai berikut.
a) Asas kepastian
hukum.
b) Asas tertib
penyelenggaraan negara.
c) Asas
kepentingan umum.
d) Asas
keterbukaan.
e) Asas
proporsionalitas.
f)
Asas profesionalitas.
g) Asas
akuntabilitas.
B. SARAN
Asas-asas umum pemerintahan yang layak adalah sebuah norma
yang bertujuan menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dalam
mengambil sebuah keputusan atau kebijakan hendaknya tidak menyimpang dan sesuai
dengan ketentuan yang ada. Selain itu, kita harus peduli dengan asas. Bukan
hanya kalangan akademisi saja, melainkan seluruh lapisan masyarakat. Karena
asas hukum adalah sebuah jantungnya aturan hukum, menjadi titik tolak berpikir,
pembentukkan, dan interpretasi hukum.
Asas-asas umum pemerintahan yang layak ini harus dapat
dipatuhi dan dijalankan dengan sebaik-baiknya agar terciptanya negara yang
bersih dan bebas dari KKN.
DAFTAR PUSTAKA
HR,
Ridwan.Hukum Administrasi Negara.Jakarta
: PT Raja Grafindo Persad, 2006
http://bem-umk13.blogspot.com/2012/06/makalah-asas-asas-umum-pemerintahan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar