Halaman

Kamis, 16 April 2020

HUKUM ISLAM



Hukum Islam


 
Oleh :
Siti Pahriyah
4115101497
 

Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Jurusan Ilmu Sosial Politik
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
2012



1.     Pandangan hokum berdasarkan paham Ketuhanan Yang Maha Esa dan pandangan paham kemasyarakatan ( filosofi dalam hukum)
Pandangan hokum berdasarkan pada Ketuhanan yang Maha esa adalah tersirat dalam Al-qur’an dalam An-Nisa ayat 105 di ayat tersebut dijelaskan bahwa ,”sesungguhnya kami telah menurunkan kitab ekpadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu dpat menetapkan hokum kepada manusia dengan apa yang telah ditetapkan”
Sedangkan menurut pandangan kemasyarakatan adalah segala bentuk aturan atau seperangkat aturan yang di dalamnya berfungsi untuk mengatur, sebagai pedoman hidup dan terdapat sanksi yang tegas di dalamnya. Dalam sumber hokum kemasyarakatan tidak bias bersumber pada Al-Qur’an,sunnah, ijma, qiyas, hanya berlaku hokum yang dibuat masuia, pemerintah, dsb. Seperti hokum pajak, traktat, hokum pidana dan perdata, dsb.

2.     Makna dan perbedaan hukum islam, syariah, dan fiqih.
Hukum islam adalah hokum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama islam. Jika berbicara tentang hokum, yang terlintas dari peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat. Dalam konsepsi hukum islam dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah.
Dalam system hokum islam terdapat lima akidah yang dipergunakan untuk mengukur perbutan manusia baik di bidang ibadah maupun di bidang muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut, dinamakan al-ahkam al-khamsah atau penggolongan hokum yang lima yakni (1) jaiz atau mubah atau ibadah, (2) sunnah (3) makruh (4) wajib (5) haram.
Untuk memahami hokum islam dengan baik dan benar seseorang harus memahami beberapa istilah yang berkenaan dengan hokum islam. Dalam pembahasan kerangka dasar agama islam disebut bahwa komponen kedau agama islam adalah syariat yang terdiri dari dua bagian yakni ibadah dan muamalah. Adapun ilmu yang membahas tentang syariat disebut dengan ilmu fiqih.
Syari’at adalah hokum-hukum yang disyariatkan Allah kepada hamba-hambaNya yang didatangkan oleh nabi, baik berkaitan dengan cara-cara amal, yang dinamai far’iyah amaliyah yang untuk didewakan ilmu fiqih maupun yang berpautan dnegan I’tikadiyah yang didewakan ilmu kalam dan syara dinamai pula dengan dien dan millah.
Sedangkan ilmu fiqh adalah ilmu tentang hokum islam yang disimpulkan dnegan jalan rasio berdasarkan dnegan alsan-alasan terperinci. Perbedaan antara syrai’at islam dengan fiqih islam adalah :
a.      Syari’at terdapat dalam Al-qur’an dan kitab-kitab hadis. Kalau seseorang berbicara syari’at yag dimaksud firman Allah dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan fiqih ada pada kitab-kitab fiqih. kalau seseorang berbicara tentang fiqih, yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at.
b.     Syariat bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari fiqih. Fiqih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada apa yang biasanya disebut perbuata hokum.
c.      Syari’at adalah ketentuan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku abadi. Fiqih adalah karya manusia yang dapat berubah atau diubah atau berubah dari masa ke masa.
d.     Syari’at hanya satu, sedagkan fiqih lebih dari satu seperti terlihat dalam aliran-aliran hokum yang disebut mazhab-mazhab atau mazahib.
e.      Syari’at menunjukkan kesatuan dalam, sedangkan fiqih menunjukkan keragamannya.

3.     Azas dan prinsip hukum islam
Asas hokum islam ialah dasar atau landasan yang memberikan kepastian bahwa Hukum Islam itu dapat dilaksankan oleh setiap individu yang mukallaf. Adapun asas-asas Hukum Islam adalah sebagai berikut :
a.      Meniadakan kesempitan dan kesukaran
Asas ini sesuai dnegan firman Allah dalam Al-qur’an ,” Dan Dia tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan Allah tidak membebani seseorang melainkan dnegan kesanggupannya” (Al-Baqarah : 286). Berdasarkan asas meniadakan kesukaran atau kesempitan inilah, maka ajaran islam dalam kondisi-kondisi tertentu memberikan kelonggaran atau kemudahan (dispensasi) kepada umat islam ketika menghadapi keadaan darurat (terpaksa) atau mempunyai hajat (keadaan yang memerlukan kelonggaran). Misalnya orang yang sedang bepergian, sakit, hamil, menyusui, boleh tidak berpuasa berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 185 ,” Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah ia berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari yang lain. Allah mneghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.
b.     Sedikit pembebanan
Asas ini dimaksudkan agar kewajiban agama kepada umat manusia itu tidak menyulitkan dan menyusahkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101 ,”Hai orang-orang yang beriman jangalah kamu bertanya pada Nabimu tentang hal-hal yang jika dijelaskan kepadamu, niscaya menyusahkanmu”. Ayat ini mengingatkan kepada manusia agar manusia menahan diri untuk tidak menanyakan masalah yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-qur’an maupun Sunnah. Berarti bila peraturan perundang-undangan belum diketahui tidak perlu dipertanyakan atau dibahas ketentuan mana yang harus dilaksanakan, permasalahannya untuk sementara bias dibiarkan terlebih dahulu, kemudian permasalahan itu dapat dipecahkan melaui kaidah-kaidah umum demi memberikan kelonggaran kepada manusia.
c.      Bertahap dalam menetapkan hokum
Asas ini dapat dilihat dalam hal menetapkan hokum-hukum dalam ibadah. Misalnya kewajiban shalat pemula hanay dua kali sehari, yakni shalat pada pagi hari dua rakaan dan shalat pada sore hari dua rakaat juga. Kemudian setelah yang melakukan shalat itu memasyarakat barulah diperintahkan shalat lima kali sehari semalam. Kewajiban berpuasa itu semula hanya tiga hari di setiap bulan. Kemudian setelah puasa ini mulai memasyarakat barulah ada perintah puasa sebulan dalam bulan Ramadhan. Hokum-hukum muamalah ini juga ditetapkan secara bertahap, teruatama mengeai tingkah laku dan perbuatan manusia yang telah membudaya.
d.     Sejalan dengan kepentingan dan kemaslahatan umat manusiaalan dengan kemaslahatan umat mausia, oleh akrena itu sebagian hokum islam ada yang dinasakhkan (dihapus atau diubah).
Pembentukan dan pembinaan Hukum islam itu se
e.      Mewujudkan keadilan
Manusia menurut pandangan Allah adalah sama, tidak boleh ada perbedaan perlakuan dalam hokum, baik karena keturunan, pangkat, kekayaan maupun kedudukan social.
Ø  Keadilan hokum adalah system hokum yang berlaku harus seragam (unifikasi) untuk seluruh warga Negara, tidak boleh ada diskriminasi
Ø  Keadilan social adalah memberikan kesempatan yang sama untuk mengkatualisasikan dirinya.
Ø  Keadilan dalam pemerintahan adalah semau warganegara mempunyai kesempatan yang sama untuk duduk dalam struktur pemerintahannya.
Prinsip-prinsip Hukum Islam
Yang dimaksud dengan prinsip hokum islam adalah cita-cita, pokok pikiran serta keyakinan yang menjiwai hokum islam itu.
a.      Tauhid
b.     Berkomunikasi langsung
c.      Mengahrgai fungsi akal
d.     Menyempurnakan keislaman
e.      Menjadikan suatu kewajiban untuk membersihkan jiwa
f.      Menghargai fungsi akal
g.     Menyempurnakan keislaman
h.     Menjadikan suatu kewajiban untuk membersihkan jiwa
i.       Memperhatikan kepentingan agama dan dunia
j.       Persamaan dan keadilan
k.     Amal ma’ruf nahi munkar
l.       Musyawarah
m.   Toleransi
n.     Kemerdekaan dan kebebasan

4.     Sumber-sumber hukum islam
Dalam kepustakaan hokum islam di Indonesia, sumber hokum islam, sumber hokum islam kadang-kadang disebut dengan dalil hokum islam atau pokok hokum islamatau dasar hokum islam. Menurut surat Al-Nisa ayat 59, setiap muslim wajib menaati (mengikuti) kemauan atau kehendak Allah, kehendak Rasul dan Ulil Amri yakni orang yang mempunyai kekuasaan atau “penguasa”. Kehendak Rasul kini tertulis dalam kitab-kitab hadis dan kehendak penguasa sekarang termaktub dalam hasil karya orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena telah mempunya “kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan ajaran hokum islam dari sumber utamanya yakni Al-qur’an dan Al-Sunnah.
Dari penjelasan di atas sumber hokum islam ada tiga, yakni (1) Al-Qur’an, (2) al-Sunah, (3) akal fikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal fikiran ini dalam kepustakaan serig disebut dengan istilah al-ra’yu. Ketiga sumber hokum islam itu merupakan satu rangkaian kesatuan, dengan urutan seperti yang sudah disebutkan dan tidak boleh dibalik.
Sedangakn menurut Muhammad Idris Al-Syafi’i dalam bukunya yang bernama Kitab Al-Risalah fi Usul al-Fiqh berpendaapt bahwa sumber hokum islam ada empat yakni (1) Al-Qur’an, (2) al-Sunnah, (3) al-ijma’ (4)al-qiyas. Pendapat menurut Imam Syafi’i ini juga didasarkan pada surat al-Nisa:59 yang berarti “Hai orang-orang yang beriman, taatlah pada Allah, dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu. Jika kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu, maka kembalikanlah perbedaan pendapat itu kepada Allah dan Rasul” . dalam ayat tersebut menunjuk pada Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber hokum islam sedang kata-kata “jika kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul ”. menunjuk kepada al-qiyas sebagai sumber hokum islam.
Di Indonesia, kedua sumber-sumber hokum islam tersebut tertulis dalam kepustakaan hokum islam. Sebenarnya jika dikaji dnegan seksama antara kedua sistematika sumber hokum islam tersebut adalah sama. Baik yang menyebutkan sumber hokum islam tiga maupun empat pada prinsipnya mereka mengambil sumber yang sama yaitu Al-qur’an surat Al-Nisa ayat 59 dan hadits Mu’adz bin Jabal. Mereka sama-sama berpendapat bahwa sumber utama dan pertama adalah Al-Qur’an dan al-Sunnah. Sumber tambahan yang lain pada hakekatnya juga sama, karena apa yang disebut oleh Syafi’I ijma’ dan qiyas sesungguhnya merupakan jalan atau metode yang dipergunakan oleh akal pikiran manusia.

5.     Makna, tujuan, dan hukum perkawinan menurut islam
Hokum perkawinan islam menurut Abdul Wahid Selayan SH adalah perikatan suci disimpulkan antara pria dan wanita sesuai yang telah ditentukan oleh Allah untuk dapat hidup bersama guna mencapai masyarakat yang susila..
Tujuan melaksanakan perkawinan adalah
a.      Penyaluran kebutuhan biologis secara halal
Perkawinan menurut islam adalah jalan yang dibenarkan untuk menyalurkan kebutuhan biologis/seks. Dengan perkawinan mereka dapat menjaga diri dari perbuatan yang dilarang oleh agama.
b.     Melanjutkan keturunan dengan cara yang syah
Keturunan ynag dapat dinyatakan “sah ” adalah yang didapat dari perkawinan yang sah.
c.      Psikologi
Menurut islam, perkawinan dapat memnuhi salah satu kebutuhan psikologi manusia untuk memperoleh ketenangan hidup.
d.     Untuk mengikuti sunnah rasul, yaitu mengikuti apa yang termasuk perbuatan baik.
Adapun hokum melakukan perkawinan menurut sebagian ahli fiqh bagi seseorang muslim adalah mubah, hal ini didasarkan firman Allah, dalam Q.S. an-Nur ayat 32.sebagian lainnya menyatakan hokum melaksanakn perkawinan adalah sunnah. Akan teta[I bila dikaitkan dnegan dalil Al-Ahkamulhamzah, atau dari segi patokan yang lima hokum, maka hokum melakukan kawin akan menjadi :
Ø  Wajib adalah orang yang sudah mempunyai kesanggupan dan ia mudah tergoda untuk berbuat sesautu yang melanggar kesusilaan (birahi). Oleh akrena itu melaksanakan perkawinan baginya adalah solusi untuk menghindari dosa.
Ø  Sunnah. Yang dikategorikan sunnah adalah seseorang yang telah mempunyai kemampuan, tetapi masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan melanggar kesusilaan. Mengenai gertian pekemampuan cakupannya cukup luas, diantaranya adalah biaya hidup, bgaul, fisik, dan lain-lain.
Ø  Haram. Melakukan perkawinan diharamkan bagi orang yang tidak akan mendapatkan kehidupan berumah tangga yang tidak sesuai dengan ketentuan agama. Perkawinan ini berindikasi menimbulkan bahaya (kemudharatan) secara fisik maupun psikologis bagi pasanagn hidupnya.
Ø  Makruh. Adalah seseorang yang belum  memiliki kesanggupan dalam menyelenggarakan dan membina kehidupan berumah tangga.
Ø  Mubah bagi orang-orang yang sudah memiliki kesanggupan untuk melaksanakan perkawinan tidak mempunyai halangan untuk kawin dan belum ada keinginan untuk kawin.
6.     Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum perkawinan ( memilih jodoh, kemampuan, muhrim, dan sekufu atau kesebandingan)
Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum menikah dpat juga disebut dnegan “syarat-syarat nikah”.diantaranya
a.perihal sejodoh
ukuran sejodoh ada sifatnya mutlak yang harus diperhatikan, dan ada juga yang bersifat relative atau sebaiknya diperhatikan.
Ø  Sifatnya mutlak diperhatikan
·       Ukuran kufu.
Ukuran sekufu menjadi syarat mutlak untuk sahnya suatu perkawinan. Menurut pandangan islam. Ketentuan ini terdapat dalam Q.S Al-Baqara ayat 221. Para ahli fiqh berpendapat bahwa wanita islam tidak sekufu dnegan lelaki non islam. Hal ini tercantum dalam Q.S al-Maidah ayat diperhatikan, apabila tidak diindahkan maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, atau otomatis batal (tidak sah).
Ø  Yang bersifat relative (tidak tegas dalam Al-Qur’an )
Sejodoh yang bersifat relative adalah berdasarkan ahdis nabi yang berbunyi ,”wanita itu dinikasi karena empat perkara yaiyu : hartanya, kebangsawanannya, ke”cantikannya, dan agamanya. Maka  pilihlah yang beragama mudah-mudahan engaku berpenghasilan” (H.R jamaah ulama hadist kecuali Tarmidzi)
Mengenai kesanggupan sebenarnya pengertiannya sangat luas, tapi dalam fikih berkenaan dengan masalah kesanggupan materi dan rohani.
a.      Kesanggupan dalam bidang materi sebagai sautu syarat pernikahan yang ditunjukkan pada calon suami. Artinya seorang suami mempunyai kewajiban untuk menafkahi istri, anak, dan anggota keluarga yang lainnya. Yang termasuk dnegan nafkah ialah makanan, pakaian, dan tempat tinggal
b.     Kesanggupan rohani atau bergaul yang baik adalah kesanggupan rohani calon mempelai untuk membina kehidupan rumah tangga.
Sedangkan tentang mahram adalah “yang terlarang”, jadi mahram adalah wanita-wanita atau lelaki yang terlarang untuk dinikahi.
·       Terlarang untuk selamanya.
ü  nasab (keterunan). Ini berdasarkan ketentuan Q.S an-Nisa ayat 23.
c.      Ibu-ibu, maksudnya termasuk ibu-ibu dari ibu, ayah dan seterusnya ke atas
d.     Anak-anak perempuan, maksudnya adalah mencakup pula susu perempuan seterusnya ke bawah dari anak laki-laki atau perempuan
e.      Saudara-saudaramu, maksudnya adalah saudara perempuan sekandung atau se-ayah maupun se-ibu.
f.      Saudara-saudara ayah yang perempuan, maksudnya mencakup saudara kakek yang perempuan
g.     Saudara-saudara ibu perempuan,termasuk saudara-saudara nenek yang perempuan
h.     Anak-anak perempuan dari saudara perempuan danb saudara laki-laki maksudnya saudara sekandung se-ayah dan se-ibu.
ü  Karena hubungan perkawinan
a.      Bekas istri ayah
b.     Anak tiri yang telah dicampuri
c.      Bekas istri anak (menantu)
d.     Ibu dan istri-istri
e.      Karena sepersusuan
·       Larangan yang bersifat sementara maksudnya adalah karena dalam waktu tertentu karena adanya suatu sebab yang mengharamkan. Jika sebab itu hapus maka perkawinan dapat dilaksanakan, diantaranya :
ü  Dua wanita yang bersaudara, baik saudara sekandung, se-ayah, se-ibu dan sepersusuan. Larangan tersebut bias hapus bila dengan yang satu telah bercerai (cerai hidup atau mati)
ü  Wanita yang bersuami
ü  Wanita yang dalam iddah
ü  Perempuan musyrik
ü  Wanita yang telah ditalaq tiga
ü  Mengawini yang lebih dari empat orang
ü  Orang yang ihram
ü  Orang pezina
7.     Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pernikahan ( prisip, syarat, rukun, wajib, dan yang disunnahkan dalam perkawinan )
Rukun iddah  adalah hal yang harus diperhatikan atau yang harus ada atau harus dilaksanakan sewaktu acara pernikahan.
a.      Shiqah aqad nikah. Menyatakan sepakat dari pihak calon suami atau walinya dengan pihak calon istri dari walinya untuk mengikat diri dnegan tali perkawinan. Dengan adanya pernyataan tersebut maka kedau belah pihak telah rela dan sepakat melangsungkan kehidupan rumah tangga, serta bersedia mebgikuti ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan dengan ketetapan suami-istri.
b.     Saksi. Bersabda Rasullah SAW,”tidak sah nikah kecuali ada wali dan dua saksi yang adil” (H.R Ahmad bin Hambal).
Syarat-syarat saksi
Ø  Orang yang mukallaf
Ø  Muslim
Ø  Bersifat adil
c.      Wali. Menurut islam wali adalah orang yang telah diberi hak untuk menguasai, melindungi orang yang dalam keperluan perkawinannya.
Syarat-syarat menjadi wali
Ø  Mukallaf
Ø  Islam bagi orang muslim
d.     Mahar. Sebagian ualam berpendapat mahar (mas kawin) merupakan suatu pemberian wajib dari suami kepada istri sewaktu maupun setelah melaksanakan akad nikah. Adapun tentang jumlah mahar pada umumnya ulama fikih mengatakan bahwa tidak ada batas maksimum ataupun minimum dari mahar. Menurut Imam Syafi’I bahwa segala sesuatu yang dapat dianggap harga bagi pihak ldapat dijadikan mas kawin. Bentuk mahar pun dapat berbentuk benda kecuali benda yang haram dan tidak berupa benda yang tidak dapat dimiliki sperti jasa dan ilmu pengetahuan. Macam-macam mahar menurut ahli fikih ada dua yaitu (1) mahar Musamma yaitu mahar yang ditetapkan dalam shighat aqad (2) mahar Mitsil adalah mahar yang tidak ditetapkan jumlahnya dlam shighat aqad. Jumlah mahar ini biasanay disesauikan dengan wanita yang sederajat dengan dia. Sedangkan waktu pemberian mahar sebagian besar ulama berpendapat bahwa mahar wajib diberikan setelah bercampurnya suami istri (dukkul). Apabila suami meninggal dan belum member mahar maka hutang mahar harus diberikan sebelum harta dibagikan kepada ahli waris. Tapi apabila isri merelakan atau memafkan maka terhapuslah hutang tersebut.
8.     Hak dan kewajiban suami istri serta hal-hal yang dianjurkan dalam hubungan suami istri
Keajiban suami terhadp istrinya ada dua macam yaitu
a.      Kewajiban yang bersifat materi
b.     Kewajiban yang bukan bersifat materi
Kewajiban suami merupakan hak istrinya. Begitupun sebaliknya kewajiban istri merupakan hak suaminya.
Kewajiban suami diantarnya :
a.      Menggauli istrinya dengan cara yang baik
b.     Menjaga rumah tangga dari segala sesautu bentuk maksiat dan marabahaya
c.      Suami wajibb mewujudkan kehidupan perkawinan yang diperintahkan oleh Allah
Kewajiban suami ini menajdi hak bagi istrinya.

Adapun kewajiban istri adalah :
a.      Menggauli suaminya dnegan cara yang baik
b.     Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga
c.      Patuh dan taat pada suami
d.     Menjaga dirinya dan ahrta suaminya ketika suami tidak ada di rumah
e.      Menjauhkan dirinya dari muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak enak didengar
Kewajiban istri ini menajdi hak bagi suaminya.
Sedangkan kewajiban keduanya adalah
a.      Memelihara dan mendidik anak yang telah lahir dari perkawinannya itu
b.     Membentuk kehidupan rumah tangga yang harmonis yang diperintahkan oelh Allah.

9.     Hal-hal yang dapat menyebabkan putusnya perkawinan dalam islam
Dalam UU no. 1 1994
BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut.
Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 9
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

10.  Hal-hal yang terkait dengan iddah dan rujuk

Iddah daalm kitab fiqh artinya adalah sederhana dan pedek atau masa tunggu yang dilalui oleh seorang perempuan. Secara pengertian iddah adalah masa ynag harus ditunggu oleh seorang perempuan yang telah bercerai dengan suaminya supaya dapat kawin lagi untuk mengetahui bersih rahimnya atau untuk melaksanakn perintah Allah.
Perempuan yang bercerai dengan suaminya dalam bnetuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih haid atau tidak, wajib menjalani masa iddah ini. Firman Allah dalam Q.S al—Baqarah ayat 228 yang artinya ,” perempuan yang dithalaq oleh suaminya hendakalh menunggu masa selama tiga kali quru’. Tidak hala perempuan itu menyembunyikan apa yang dijadikan Allah daalm rahimnya.”.
Adapun tujuan dan hikmah iddah adalah untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebut dari bibit yang ditinggalkan mantan suaminya, yang kedau adalah untuk taabud, artinya adalah semata untuk memenuhi kehendak dari Allah meskipun secara rasio kita mengira tidak perlu lagi.
Bentuk-bentuk  iddah adalah
a.      Kematian saumi
b.     Belum dicampuri
c.      Sudah dicampuri tapi dalam ekadaan hamil
d.     Sudah dicampuri tidak dalam keadaan hamildan telah selesai haidnya
e.      Sudah dicampuri tidak daalm keadaan hamil dan belum selesai haidnya
Massa iddah terdiri dari dua bagian yaitu
a.      Wanita yang belum dicampuri. Tidak ada massa iddah bagi wanita yang belum dicampuri
b.     Bagi istri yang sudah dicampuri ada dua macam hokum, diantaranya :
Ø  Bagi istri yang suaminya sudah meningggal dunia. Para ulama sepakat bahwa massa iddah wanita yang suaminya meningggal dunia dan ia tidak hamil adalah selama empat puluh hari.
Ø  Bagi istri yang hamil ketika suaminya meninggal. Pertama menungguh sampaiu melahirkan dan kedau empat puluh hari setelah melahirkan.
Rujuk artinya kembali. Dapat ekmbali sebagais suami adalah hak ayng diberikan agama bagi seoerang suami yang telah bercerai dnegan istrinya.  Ketentuan ini berdasarkan firman Allah Q.S Al-Baqarah yang berbunyi,”dan suami-suami mereka berhak merujuki dalam amssa menanti jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.”
Syarat-syarat rujuk adalah :
a.      Suami yang mukallaf
b.     Cara rujuk harus dengan perkataan dan perbuatan. Maksudnya dengan perbuatan adalah adanay saksi.
c.      Rujuk dapat dilakukan karena pada dasarnya dalam tenggang waktu yang ditentukan pada perceraian itu, perkawinan mereka belum terputus sama sekali.

11.  Undang-Undang No. 1 tahun 1994 tentag perkawinan
Bab i dasar perkawinan
Bab ii syarat-syarat perkawinan
Bab iii pencegahan perkawinan
Bab iv batalnya perkawinan
Bab v perjanjian perkawinan
Bab vi
Hak dan kewajiban suami-isteri
Bab vii harta benda dalam perkawinan
Bab viii putusnya perkawinan serta akibatnya
Bab ix kedudukan anak
Bab x hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
Bab xi Perwakilan
Bab xii ketentuan-ketentuan lain
Bagian pertama pembuktian asal-usul anak
Bagian kedua Perkawinan di luar indonesia
Bagian ketiga perkawinan campuran
Bagian keempat pengadilan
Bab xiii ketentuan peralihan
Bab xiv ketentuan penutup




Daftar Pustaka
Furqan, Arif, Islam Dalam Disiplin Ilmu Hokum, Jakarta: Direktoran Jendral Kelembagaan Agama Islam,2002.
Nasution, Yusriah Hokum Islam , Jakarta:Laboratorium Sosial Politi Press,2011.
Syamsudin Amir ,Hokum perkawinan Indonesai, Jakarta: prenada media, 2006 .
Husnan, Djaelan, Islam Universal, Jakarta : Unit Pelaksana teknis Mata Kuliah Umum, 2012.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar