TUGAS MATA
KULIAH ACARA PIDANA
ANALISIS
KASUS PIDANA
DISUSUN OLEH
;
Aulia Rahman
Pane
Bagus
Prasetyo
Raden
Hidayatullah
Ririn
Kuntarsih
Siti
Pahriyah
PRODI
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
ANGKATAN
2010/2011
Analisis
Kasus Pidana
tulisan di bawah adalah tugas hukum acara pidana
mengenai analisis dua kasus. kasus yang kami
angkat adalah pencurian dan pemerasan.
Kasus 1 : Pemerasan
Liputan6.com, Solo: Seorang pemuda asal Sumber,
Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Rabu (7/7), dibekuk polisi lantaran diduga kerap
memeras di rumah keluarga artis dan pelawak Nunung “Srimulat”. Pemuda bernama
Andi Rismanto alias Ambon yang dikenal sebagai preman kampung meminta jatah Rp
150 ribu per minggu dengan alasan iuran keamanan.
Saat dimintai keterangan, ia hanya bisa tertunduk
lesu. Pemuda bertato ini ditangkap aparat Kepolisian Sektor Banjarsari,
menyusul laporan salah seorang kerabat Nunung. Dari keterangan saksi, tersangka
sering memeras di rumah keluarga tersebut. Jika tidak dituruti, maka pelaku
tidak segan melakukan kekerasan.
Perilaku tersangka pun dianggap meresahkan. Tidak
hanya keluarga Nunung “Srimulat” yang menjadi korban, tapi juga warga lain di
kawasan tersebut. Dari pengakuan tersangka, uang yang diperoleh digunakan untuk
membeli rokok dan minuman keras.
Selain menangkap tersangka, polisi menyita barang
bukti uang sebesar Rp 20 ribu dan kartu tanda penduduk milik tersangka. Atas
perbuatannya, tersangka dijerat pasal pemerasan dengan ancaman hukuman maksimal
sembilan tahun penjara.(BJK/ANS)
Analisis Kasus 1
Pada kasus di atas, pelaku, Andi Rismanto telah
melakukan tindak pidana pemerasan kepada keluarga Nunung dengan cara meminta
secara paksa uang Rp 150.000,- setiap minggu.
Karena yang melakukan tindak pidana adalah warga Negara
Indonesia dan terjadi di wilayah Indonesia, maka berlaku hukum pidana Indonesia
, yang berarti KUHPidana (asas teritorialitas).
Pelaku dijerat oleh pasal mengenai pemerasan yang
diatur dalam pasal 368 KUHPidana.
Dalam ketentuan Pasal 368 KUHP tindak pidana pemerasan
diramuskan dengan rumusan sebagai berikut :
- Barang
siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian
adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus
piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
- Ketentuan
Pasal 365 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) berlaku dalam tindak pidana ini.
> Unsur-Unsur yang ada di dalam ketentuan Pasal 368
KUHP
>> Unsur-unsur dalam ketentuan ayat (1) Pasal
368 KUHP :
>>> Unsur obyektif yaitu unsur yang terdapat
di luar diri si pelaku tindak pidana, yang meliputi unsur-unsur :
- Memaksa
.
- Orang
lain.
- Dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan.
- Untuk
memberikan atau menyerahkan sesuatu barang (yang seleruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain).
- Supaya
memberi hutang.
- Untuk
menghapus piutang.
>>> Unsur subyektif, yaitu unsur yang
terdapat di dalam diri si pelaku tindak pidana yang meliputi unsur – unsur :
- Dengan
maksud.
- Untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
> Beberapa unsur yang dimaksud adalah sebagai
berikut :
- Unsur
“memaksa”. Dengan
istilah “memaksa” dimaksudkan adalah melakukan tekanan pada orang,
sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendaknya
sendiri.
- Unsur
“untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang”.Berkaitan dengan unsur itu,
persoalan yang muncul adalah, kapan dikatakan ada penyerahan suatu barang?
Penyerahan suau barang dianggap telah ada apabila barang yang diminta oleh
pemeras tersebut telah dilepaskan dari kekuasaan orang yang
diperas, tanpa melihat apakah barang tersebut sudah benar – benar dikuasai
oleh orang yang memeras atau belum. Pemerasan dianggap telah terjadi,
apabila orang yang diperas itu telah menyerahkan barang/benda yang dimaksudkan
si pemeras sebagai akibat pemerasan terhadap dirinya. Penyerahan barang
tersebut tidak harus dilakukan sendiri oleh orang yang diperas kepada
pemeras. Penyerahan barang tersebut dapat saja terjadi dan dilakukan oleh
orang lain selain dari orang yang diperas.
- Unsur
“supaya memberi hutang”. Berkaitan dengan pengertian “memberi hutang”
dalam rumusan pasal ini perlu kiranya mendapatkan pemahaman yanag benar.
Memberi hutang di sini mempunyai pengertian, bahwa si pemeras memaksa
orang yang diperas untuk membuat suatu perikatan atau suatu perjanjianyang
menyebabkan orang yang diperas harus membayar sejumlah uang
tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan memberi hutang dalam hal ini
bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang (pinjaman) dari orang yang
diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang berakibat
timbulnya kewajiban bagi orang yang diperas untuk membayar sejumlah uang
kepada pemeras atau orang lain yang dikehendaki.
- Unsur
“untuk menghapus hutang”. Dengan menghapusnya piutang yang dimaksudkan
adalah menghapus atau meniadakan perikatan yang sudah ada dari
orang yang diperas kepada pemeras atau orang tertentu yang dikehendaki
oleh pemeras.
- Unsur
“untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain”. Yang dimaksud dengan
“menguntungkan diri sendiri atau orang lain” adalah menambah baik bagi
dirinya sendiri maupun bagi orang lain dari kekayaan semula. Menambah
kekayaan disini tidak perlu benar-benar telah terjadi, tetapi cukup
apabila dapat dibuktikan, bahwa maksud pelaku adalah untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain.
Kaitannya pada kasus:
Pelaku memenuhi semua unsur – unsur di atas, baik yang
subjektif maupun yang obyektif. Pelaku memeras korban setiap minggu dengan cara
memaksa untuk memberikan uang Rp 150.000,-, korban pun terpaksa memenuhi
permintaan pelaku. Barang yang diserahkan adalah uang, yang akhirnya digunakan
oleh pelaku untuk membeli rokok dan minuman keras untuk dirinya sendiri.
Artinya, pelaku telah memeras korban untuk menguntungkan dirinya sendiri.
Pengadilan yang berwenang mengadili kasus ini adalah
Pengadilan Negeri Solo, karena Solo merupakan tempat terjadinya tindak pidana
(locus delicti) pemerasan tersebut.
Dari sifat melawan hukumnya perbuatan yang dilakukan
pelaku, terlihat bahwa pelaku pemerasan pada saat melakukan aksi pemerasannya
itu telah mampu bertanggung jawab. Dilihat dari sisi umur, meski tidak
disebutkan berapa umur pelaku, tapi karena ia ditakuti oleh masyarakat sekitar,
berarti dapat disimpulkan bahwa pelaku telah berumur lebih dari 16 tahun yang
artinya KUHP berlaku atas pelaku secara utuh dah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku didalamnya.
Jarak antara perbuatan pemerasan yang dilakukan dengan
pelaku tertangkan di sumber belum mencapai 30 tahun, sehingga perbuatan yang
dilakukan belum dianggap sebagai perbuatan yang daluarsa.
Pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan
pelaku dilihat dari kemampuannya terlebih dahulu. Sesuai dengan fakta diatas
maka pelaku dianggap sudah mampu bertanggungjawab atas perbuatannya. pelaku
jelas mengetahui dan menyadari bahwa perbuatan yang Ia lakukan telah melanggar
hukum. Karena ia menyesali perbuatannya setelah tertangkap dan dimintai
keterangan oleh polisi.
Atas laporan korban, keterangan saksi dan alat bukti
yang disita polisi sebesar uang dua puluh ribu dan kartu tanda penduduk, maka
pelaku dapat dihukum penjara maksimal Sembilan tahun, kecuali bila ada hal –
hal yang dapat meringankan hukuman. Pelaku dapat dipenjara kurang dari Sembilan
tahun bila hakim memutuskan begitu, sesuai dengan keyakinannya ataupun mengacu
kepada jurisprudensi kasus yang sama.
Delik pemerasan tergolong kepada:
1. delik formal (formeel delict), karena merupakan
delik yang terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang dan
diancam pidana oleh undang – undang. Dalam kasus ini, perbuatannya adalah pemerasan.
2. delik komisi (commissie delict), karena merupakan
delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan di dalam undang – undang. Dalam
hal ini, pelaku telah melakukan pemerasan terhadap korban, dan pemerasan
dilarang oleh pasal 368 KUHP.
3. delik rampung (aflopend delict), karena merupakan
satu perbuatan tertentu yang selesai dalam waktu yang singkat.
4. delik tunggal (enkelvoudig delict), karena
merupakan delik yang hanya satu kali perbuatan sudah cukup untuk dikenakan
pidana.
5. delik sederhana (eenvoudig delict) karena merupakan
delik pokok tanpa pemberatan.
6. delik kesengajaan (doleus delict), karena dilakukan
dengan sengaja oleh si pelaku.
7. delik umum (gemeen delict), karena tidak ditujukan
kepada keamanan negara dan kepala negara.
8. delik umum (delicta communia), karena termasuk
delik yang dapat dilakukan oleh siapa saja.
9. delik aduan (klacht delict), dan merupakan delik
aduan absolut (absolute klacht delict) karena menurut sifat kejahatannya delik
pemerasan hanya dapat dituntut apabila diadukan. Pada kasus ini, yang
melaporkan adalah kerabat korban yang merasa dirugikan, maka polisi pun
menangkap pelaku. Bila tidak ada aduan dari keluarga korban maka pelaku pun
tidak akan bisa ditangkap.
Kasus 2 : Pencurian
Perampok Jarah Kantor Dinkes Gresik
Laporan wartawan Kompas Adi Sucipto
Sabtu, 4 Desember 2010 | 13:44 WIB
GRESIK, KOMPAS.com — Kawanan perampok pada Sabtu (4/12/2010) pukul 04.00
beraksi di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik. Dua anggota Satuan Polisi
Pamong Praja yang bertugas diplakban mata dan mulutnya serta diikat tali rafia.
Pelaku berhasil membawa kabur uang tunai Rp 6,7 juta
di laci. Kasus itu terungkap sekitar pukul 08.00 saat sebagian pegawai akan
beraktivitas di kantor, lalu peristiwa itu dilaporkan ke polisi.
Awalnya, petugas jaga Sunaryoto dan Rahmat didatangi
empat orang yang membawa celurit dan parang. Keduanya sempat melawan, tetapi
tidak bisa berkutik. Selain kalah banyak, keduanya juga khawatir karena pelaku
juga mengancam dengan senjata tajam.
Keduanya diringkus pelaku, mulut dan mata diplakban,
serta tangan dan kaki diikat tali rafia. Petugas jaga lainnya, Nawawi, memilih
sembunyi saat perampok beraksi membuka laci dan mengubrak-abrik isinya.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik Sugeng
Widodo, pelaku hanya berhasil menemukan uang tunai Rp 6,7 juta. Kepala
Kepolisian Resor Gresik Ajun Komisaris Besar Jakub Prajogo menyatakan, polisi
masih melakukan pemeriksaan dan penyelidikan. Dari tempat kejadian perkara,
polisi mendapatkan plakban dan tali rafia.
Analisis Kasus 2
Pada kasus di atas, pelaku berjumlah empat orang telah
melakukan tindak pidana pencurian dengan cara mengambil uang tunai Rp 6,7 juta
di dalam Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik.
Karena yang melakukan tindak pidana adalah orang
Indonesia dan terjadi di wilayah Indonesia, maka yang berlaku adalah hukum
pidana Indonesia, yang berarti KUHPidana (asas teritorialitas).
Perbuatan pelaku tergolong kepada delik
berkualifikasi, karena perbuatan tersebut memiliki unsur – unsur yang sama
dengan delik dasar atau delik pokok, tetapi ditambah dengan unsur – unsur lain
sehingga ancaman pidananya lebih berat daripada delik dasar. Dalam kasus ini,
delik dasar adalah pasal 362 KUHP yaitu mengenai pencurian. Tetapi karena
pencurian tersebut disertai dengan ancaman kekerasan pada penjaga malam, maka
pelaku akan diancam dengan pasal 365 KUHP ayat (1) dan (2),
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun, pencurian yang didahului, disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiap atau
mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, atau memungkinkan
melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, dan atau untuk tetap menguasai
barang yang dicurinya.
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun:
1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam
sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau
dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih
dengan bersekutu;
3. jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan
merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu,
atau pakaian jabatan palsu;
4. jika perbuatan mengakibatkan luka – luka berat.
Dalam Pasal 362 KUHP dikatakan “pengambilan suatu
barang, yang seluruh atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian”. Berikut unsur –
unsur pencurian,
> Unsur – Unsur Objektif berupa :
- Unsur
perbuatan mengambil (wegnemen). Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang
mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana
formil. Unsur pokok dari perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan
aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam
kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan
sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda
tersebut ke dalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak (Kartanegara, 1:52
atau Lamintang, 1979:79-80). Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara
mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan
mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya
suatu pencurian secara sempurna. Sebagai ternyata dari Arrest Hoge Raad
(HR) tanggal 12 Nopember 1894 yang menyatakan bahwa “perbuatan mengambil
telah selesai, jika benda berada pada pelaku, sekalipun ia kemudian
melepaskannya karena diketahui”.
- Unsur
benda. Pada
mulanya benda – benda yang menjadi objek pencurian ini sesuai dengan keterangan
dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 362
KUHP adalah terbatas pada benda – benda bergerak (roerend goed).
Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai
dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat
dipindahkan secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak
dan berwujud saja. Benda bergerak adalah setiap benda yang menurut
sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan (pasal 509
KUHPerdata).
- Unsur
sebagian maupun seluruhnya milik orang lain. Benda tersebut tidak perlu
seluruhnya milik orang lain , cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian
milik petindak itu sendiri.
> Unsur – Unsur Subjektif berupa :
- Maksud
untuk memiliki. Maksud
untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur maksud
(kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur
kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki. Dua unsur itu dapat
dibedakan dan tidak terpisahkan. Maksud dari perbuatan mengambil barang
milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya. Apabila dihubung
kan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil
dalam diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap
barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.
- Melawan
hukum. Maksud
memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada
melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan
mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang
lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum.
Unsur maksud adalah merupakan bagian dari kesengajaan. Sedangkan apa yang
dimaksud dengan melawan hukum (wederrechtelijk) undang-undang tidak
memberikan penjelasan lebih lanjut. Pada dasarnya melawan hukum adalah
sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu. dalam
doktrin dikenal ada dua macam melawan hukum, yaitu pertama melawan hukum
formil, dan kedua melawan hukum materiil. Melawan hukum formil adalah
bertentangan dengan hukum tertulis, artinya sifat tercelanya atau
terlarangnya suatu perbuatan itu terletak atau oleh sebab dari hukum
tertulis. Sedangkan melawan hukum materiil, ialah bertentangan dengan
azas-azas hukum masyarakat.
Kaitan dengan kasus:
Sesuai dengan asas legalitas kasus ini jelas melanggar
aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam KUHP, tepatnya tentang pencurian
pasal 362: “Barangsiapa mengambil sesuatu, yang seluruh atau sebagian kepunyaan
orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian,
dengan pidana paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan
ratus rupiah” Dari sisi sifat melawan hukumnya tercantum secara eksplisit dalam
bunyi pasal yang bersangkutan.
Atas kasus diatas pengadilan yang berwenang mengadili
adalah Pengadilan Negeri Gresik karena kasus perampokan tersebut dilakukan di
Gresik.
Dari sifat melawan hukumnya perbuatan yang dilakukan
pelaku, terlihat bahwa para pelaku perampokan pada saat melakukan aksinya telah
mampu bertanggung jawab, karena dengan sadar mengancam penjaga kantor
menggunakan senjata tajam lalu mengikat mereka, kemudian mengambil uang yang
ada di dalam kantor. Ini memenuhi unsur pada pasal 365 ayat 1, yaitu pencurian
yang disertai dengan ancaman kekerasan.
Dilihat dari sisi umur, para pelaku disimpulkan telah
berumur lebih dari 16 tahun, karena telah memiliki kematangan dalam tindakan
mereka. yang artinya KUHP berlaku atas para pelaku secara utuh dan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku didalamnya, karena para pelaku telah dewasa dan cakap
hukum.
Jarak antara perbuatan yang dilakukan dengan para
pelaku tertangkap bila seandainya belum mencapai 30 tahun maka perbuatan yang
dilakukan belum dianggap sebagai perbuatan yang daluarsa, sehingga masih bisa
diadili.
Perbuatan yang dilakukan para pelaku dari kasus diatas
terbukti bahwa perbuatan tersebut tertangkap tangan. Artinya perbuatan tersebut
jelas diketahui oleh orang lain, mengingat aksi yang dilakukan diketahui oleh
kedua petugas jaga yang merupakan anggota Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam
keadaan seperti itu mereka masih saja mengambil dan membawa uang Rp 6,7 juta
yang ada di kantor dengan maksud untuk dimiliki. Perbuatan ini jelas melanggar
ketentuan yang terdapat dalam KUHP.
Kesalahan yang diperbuat merupakan kesalahan yang
disengaja, yaitu kesalahan yang dengan sengaja (doleus delicti), dalam keadaan
sadar, diketahui bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut dilarang hukum. Para
pelaku dengan sadar mencuri disertai ancaman kekerasan pada kedua petugas jaga.
Pertanggungjawaban
atas perbuatan yang telah dilakukan pelaku dilihat dari kemampuannya terlebih
dahulu. Sesuai dengan fakta diatas maka kedua pelaku dianggap sudah mampu
bertanggungjawab atas perbuatannya. Para pelaku jelas mengetahui dan menyadari
bahwa perbuatan yang mereka lakukan telah melanggar hukum. Hal ini terlihat
setelah mereka berhasil mengambil uang dari kantor, mereka lalu melarikan diri.
Hal ini mereka lakukan karena mereka takut dan sadar jika tertangkap akan
diadili massa atau oleh pihak yang berwajib (polisi). Selain itu mereka
mengetahui bahwa perbuatan mereka telah melanggar nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat.
Hukum pidana Indonesia dalam hal pertanggungan jawab
menganut sistem fiktif, artinya menurut hukum Indonesia, setiap pelaku
perbuatan pidana pada dasarnya selalu dianggap sebagai orang yang mampu
bertanggungjawab atas perbuatannya. Pengecualian dari system fiktif tersebut
terdapat pada pasal 44 KUHP, dengan kata lain dianggap tidak mampu bertanggung
jawab, yaitu apabila : 1) Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak
pertumbuhannya, 2) Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan
oleh penyakit, sehingga akalnya kurang berfungsi membedakan yang baik dan yang
buruk, seperti orang gila atau epilepsy.
Jika melihat kasus diatas lagi, para pelaku tidak
termasuk dalam pengecualian yang dimaksud dalam pasal 44 KUHP diatas. Para
pelaku tidak mengalami gangguan psikis, tidak mengalami cacat mental sejak
pertubuhannya dan juga tidak mengalami gangguan jiwa seperti gila, epilepsy dan
lain sebagainya.
Unsur kesalahan yang ada dalam perbuatan pelaku dalam
kasus diatas jelas mencakup tiga unsur yang ada dalam landasan teori, yaitu
pertanggungjawaban, adanya hubungan batin perbuatan dengan pelaku perbuatan dan
tidak adanya alasan penghapusan pidana. Perbuatan yang dilakukan telah dianggap
merugikan orang lain, sehingga patut untuk dipidana karena perbuatan merugikan
orang lain tersebut. Salah satu teori pemidanaan yang dikenal adalah teori
pembalasan yaitu kejahatan itu menimbulkan ketidakadilan, maka harus dibalas
dengan ketidakadilan pula (Immanuel Kant).
Seperti yang telah disebutkan di atas, keempat pelaku
dapat dijerat dengan pasal 365 KUHP. Semua unsur, mulai dari pencurian, ancaman
kekerasan, jumlah pelaku lebih dari seorang, dilakukan di malam hari ke
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, memasukinya menggunakan kejahatan dengan
merusak, maka ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada mereka adalah
dipenjara paling lama dua belas tahun.
Pencurian tergolong kepada delik – delik yang sama
seperti pemerasan, yang membedakan hanyalah pencurian bukan termasuk golongan
delik aduan, melainkan merupakan golongan delik biasa (gewone delict), yaitu
delik yang tidak membutuhkan adanya pengaduan untuk menuntutnya. Dalam kasus
ini ketika terjadi perampokan memang diperlukan adanya laporan dari masyarakat,
tapi bukan pengaduan. Seandainya tanpa ada laporan tapi polisi mengetahui ada
pencurian, maka tetap bisa dilakukan penuntutan.
Kesimpulan
Kesimpulannya, baik kasus pemerasan maupun kasus
pencurian sama – sama tergolong delik formil, karena kedua delik ini terjadi
karena adanya pelanggaran pada larangan yang dimuat dalam undang – undang (KUHP
pasal 368 dan 365). Pada kasus pemerasan, pelaku dapat dituntut maksimal
hukuman penjara sembilan tahun, sementara pada kasus pencurian dengan ancaman
kekerasan, keempat pelaku dapat dijerat pasal 368 KUHP dengan hukuman penjara maksimal
dua belas tahun. Para pelaku di kedua kasus di atas dianggap cakap hukum, sadar
akan perbuatannya yang melawan hukum dan bertanggungjawab penuh terhadap
perbuatannya, sehingga tidak ada alasan penghapusan pidana. Hukuman yang tepat
diberikan pada mereka, selain merujuk kepada pasal – pasal dalam KUHP, akan
disesuaikan juga dengan keyakinan hakim dan jurisprudensi pada kasus – kasus
yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
- Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana
- Sofjan
Sastrawidjaja, S.H., Hukum Pidana : Asas Hukum Pidana Sampai Dengan
Alasan Peniadaan Pidana. 1995. Bandung : Armico.
- Situs
Resmi Liputan 6 SCTV
- Situs
Resmi Kompas
- hukumislam-uii.blogspot.com
- excellentlawyer.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar