Halaman

Rabu, 25 April 2012

logika dan bahasa dalam filsafat ilmu


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan anugerah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Filsafat Ilmu ini dengan baik dan tepat waktu.

            Makalah yang berjudul “Filsafat Ilmu” ini kami buat dalam rangka menyelesaikan tugas yang diberikan Bapak Anggai dan Bapak Ahmad Husein selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu.

            Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada dosen mata kuliah ini selaku pembimbing kami, teman-teman yang telah memberi kami inspirasi, dan semua orang yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

            Kami sadar makalah filsafat ilmu ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik membangun dari para pembaca semua supaya kedepannya makalah ini dapat lebih baik lagi.

            Akhir kata semoga makalah Filsafat Ilmu ini dapat bermanfaat untuk kami khususnya dan bagi para pembaca umumnya.



Jakarta, Oktober 2011

        Penulis





Kelompok IV
DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR .............................................................................        i

DAFTAR ISI .............................................................................................               ii

A.    Logika ............................................................................................       1

B.     Bahasa ............................................................................................       3

PENUTUP                                                                                                         6

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................      iii



BAB II

LOGIKA

Logika ialah suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Bentuk-bentuk pemikiran ialah pengertian atau konsep (coceptus, concept), proposisi atau pernyataan (propositio, statement), dan penalaran (ratiocinium, reasoning). Tidak ada proposisi tanpa pengertian dan tidak ada penalaran tanpa proposisi (rancangan usulan).

Pengertian atau lazim disebut konsep (conceptus, concept) ialah hasil observasi indera terhadap obyek yang diolah oleh otak. Oleh sebab itu pengertian disebut pengalaman atau data empirik yang disimpan oleh otak. Karena pengalaman disimpan oleh otak maka pengertian disebut data psikologik. Pengertian adalah bahan baku untuk berpikir lebih lanjut.

Pengertian tentang obyek merupakan abstraksi atas obyek tersebut yang dituangkan ke dalam bahasa. Bahasa adalah lambang atau simbol atas obyek yang menjelaskan ciri-ciri obyek. Obyek yang diabtrasi oleh otak dan dilambangkan dalam bahasa itu berbentuk kata. Misalnya manusia, binatang, gunung, laut, dsb.

Otak merangkai kata menjadi suatu pernyataan atau proposisi (propositio, statement), misalnya gunung itu tinggi, binatang itu buas, dsb. Pengertian tinggi untuk gunung dan buas untuk anjing itu disebut predikat (yang menerangkan), sedangkan pengertian gunung dan anjing itu disebut subyek (yang diterangkan).

Bangunan Logika

LOGIKA

DAYA NALAR MANUSIA                       Conceptus                        Propositio                     Ratiocinium

HAL – HAL YANG KONKRET
 













            Dalam suatu proposisi terjadi dua kemungkinan, yaitu pengakuan dan pengingkaran. Proposisi pengakuan contohnya adalah binatang itu buas, sedangkan proposisi pengingkaran adalah binatang itu tidak buas. Proposisi harus dibuktikan, ia bisa benar dan bisa salah. Dengan demikian, proposisi hakikatnya adalah apa yang ada dipikiran manusia. Pikiran itu harus dibuktikan dengan kondisi obyektif. Sedangkan pengertian selalu benar karena ia merupakan obyek itu sendiri, atau pengertian selalu obyektif. Terdapat berbagai macam proposisi antara lain adalah :

1). Proposisi Kategorik ialah penalaran atau penyimpulan yang premisnya hanya satu, contoh : manusia itu makhluk berpikir; subyek dan predikat keduanya kata benda yang dihubungkan dengan kata “itu” atau “adalah”, atau “ialah”, dsb. Jika predikatnya bukan kata benda maka harus dijadika kata benda, contohnya : mahasiswa itu pandai; saya sedang belajar, harus diubah menjadi : saya adalah orang yang sedang belajar. Model proposisi kategorik pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles, filsuf Yunani Kuno, dan proposisi yang demikian disebut penalaran langsung. Aristoteles membedakan proposisi ketegorik menjadi tiga jenis yaitu kualitas, kuantitas dan distribusi. Proposisi Kategorik Kualitas ialah ada tidaknya hubungan antara subyek dan predikat. Proposisi Kategorik Kuantitas ialah kelas dari daripada konsep subyek atau predikat; konsep manusia terdiri beberapa kelompok yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Proposisi Kategorik Distribusi ialah fungsi dari konsep, contohnya:  konsep mahasiswa yang menunjuk pada seorang mahasiswa, misalnya Dono; Dono adalah mahasiswa.

2). Proposisi Hipotetik ialah pernyataan yang kedua premisnya menjelaskan kondisi. Contoh: jika Dono lulus ujian saringan masuk perguruan tinggi, maka ia pasti diterima; Dono lulus ujian saringan masuk perguruan tinggi; jadi Dono diterima sebagai mahasiswa. Proposisi hipotekik, premis universalnya terdiri dari dua kondisi yang dinyatakan dengan kata; jika ....., maka .....

3). Proposisi Empirik  ialah rangkaian kata yang didasarkan pada observasi terhadap obyek langsung dan harus diverifikasi; proposisi empirik lazim disebut fakta, karena dapat diuji dengan obyek nyata.

4). Proposisi Mutlak ialah rangkaian kata yang didasarkan pada kebenaran yang harus diterima, misalnya “semua manusia pasti mati” proposisi yang demikian tidak perlu pembuktian lagi.

            Proposisi yang dianggap benar atau dinyatakan benar dikombinasi dengan proposisi yang lainnya yang juga dianggap benar menghasilkan proposisi baru yang disebut penalaran (ratiocinium, rasoning). Contohnya adalah: Amat mati, Badu mati, Coni mati, jadi semua orang akan mati. Proposisi yang menjadi dasar penyimpulan disebut premis dan proposisi yang menjadi kesimpulan disebut konklusi (konsekuensi). Pada contoh tersebut, konklusinya lebih luas daripada premisnya, maka disebut generalisasi. Penalaran yang demikian disebut penalaran induktif. Lawan dari Penalaran Induktif adalah Penalaran Deduktif, yaitu konklusinya lebih sempit dari pada premisnya; contohnya: “semua manusia akan mati”, jadi “Badu akan mati”.

            Penalaran itu berhubungan langsung dengan penyimpulan dan argumen yang merupakan aktifitas pikiran yang abstrak simbolik. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa penalaran (argumen, penyimpulan) itu simbolnya adalah bahasa; pernyataan itu simbolnya adalah kalimat; dan pengertian itu simbolnya kata.

            Berdasarkan uraian diatas, yang dimaksud logika itu ada dua jenis yaitu logika formal dan logika material. Logika formal ialah membuat kesimpulan (penalaran, argumen) berdasar pada bentuk pernyataan (propositio, statement). Sedangkan logika material adalah membuat kesimpulan (penalaran, argumen) berdasar pada isi (obyek). Oleh sebab itu dalam mmepelajari logika harus terlebih dahulu mempelajari hubungan bentuk dan isi. Isi adalah pengertian akan obyek dan bentuk adalah tempat (wadah) untuk menampung dan mengemas isi agar isi itu mempunyai makna dan bermanfaat.

BAHASA

            Keunikan  manusia  sebenarnya  bukanlah  terletak  pada  kemampuan bfikirnya melainkan terletak pada kempuan bahasanya.Maka ernst Cssirer menyebut manusia sebagai animal symbol licum,mahluk yang mempergunakan simbol, yang secara generik mempunyai cakupan yang luas darai pada homo sapiens yakni mahluk yang berfikir, sebab dalam kegiatan berfikirnya manusia mempergunakan simbol. Tanpa mempergunakan kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berfikir secara sistematis dan teratur tidak dapat mungkin di lakukan . Lebih lanjut lagi, tanpa kemampuan berbahasa ini manusia tidak dapat mungkin  mengembangkan kebudayaanya, sebab tanpa mempunyai bahasa maka hilang pulalah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya kepada generasi selanjutnya.

            Manusia dapat berfikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak dapat berfikir secara rumit dan abstrak seperti apa yang kita lakukan dalam kegiatan ilmiah. Demikian juga tanpa bahsa kita tak dapat juga mengkomunikasikan kepada orang lain. Binatang tidak di bekali oleh bahasa yang sempurna seperti yang kita miliki,oleh karna itu maka binatang tidak dpat berfikir dengan baik dan mengkumulasikan pengetahuannya lewat proses komunikasi seperti kita mengembangkan ilmu.

            Bahasa memungkinkan manusia berfikir secara abstrak dimana obyek-obyek yang faktual di tranformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang menjadi abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berfikir mengenai obyek tertentu meskipun obyek tersebut secara faktual tidak berada di tempat dimana tempat berfikir itu di lakukan. Binatang mampu berkomunikasi dengan binatang lainnya namun hal ini terbtas selama obyek yang di komunikasikan  ini berada secara faktual waktu proses komunikasi itu di lakukan. Tanpa kehadiran obyek secara faktual maka komunikasi tidak bisa di laksanakan.

            Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu selanjutnya. Demikian juga bahasa memberikan kemampuan untuk berfikir secara tertur dan sistematis. Transformasi obyek faktual menjadi simbol abstrak yang di wujudkan melalui pembendaharaan kata-kata ini di rangkaian oleh tata bahasa untuk mengemukakan suatu jalan pemikiran atau ekspresi perasaan.kedua aspek ini yakni aspek informatif dan emotif keduanya tercermin dalam bahasa yang kita gunakan. Artinya, pada saat kita bicara pada hakekatnya informasi yang kita gunakan mengandung unsur-unsur emotif , demikian juga jika kita menyampaikan perasaan maka ekspresi itu mengandung unsur-unsur informatif. Kadang hal ini dapat dipisahkan dengan jelas,misalnya; musik dapat di anggap sebagai bentuk dari bahasa, dimana emosi terbebas dari informasi, sedangkan buku telepon memberikan kita informasi sama sekali tanpa emosi.

            Jika kita telaah lebih lanjut bahasa mengkomunikasikan tiga hal yakni; buah fikiran,perasaan, dan  sikap. Atau seperti yang di nyatakan oleh Knaller bahsa dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif, dan efektif. Funsi simbolik dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emotif menonjol dlam komunikasi estetik. Komunikasi dengan menggunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik dan emotif ini. Dalam komunikasi ilmiah sebenarnya proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif ini, agar oesan yang di sampaikan bisa di terima secara reproduktif , artinya identik dengan pesan yang di kirim. Namun dalam prakteknya hal ini sukar untuk di laksanakan kecuali informasi yang terdapat dlam buku pedoman telepon. Inilah salah satu kelemahan bahsa dalam sarana komunikasi ilmiah dimana menurut Kemeny bahasa mempunyai kecenderungan emosi.

Apakah Sebenarnya Bahasa?

            Pertama-tama bahasa dapat kita cirikan sebagai serangkaian bunyi. Dalam hal ini kita menggunakan bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi. Sebenarnya kita bisa berkomunikasi dengan mempergunakan alat-alat lain, umpanya saja dengan menggunakan berbagai isyarat. Manusia memperguanakan berbagai bunyi sebagia alat komikasi yang paling utama. Tentu saja, mereka yang tidak dianugrahi kemampuan bersuara, harus menggunakan alat komunikasi yang lain, seperti kita lihat pada mereka yang bisu. Komunikasi dengan mempergunakan bunyi ini dikatakan juga sebagai komunikasi verbal, disebut juga sebagai masyarakat verbal.

            Kedua, bahasa merupakan lambang di mana rangkaian bunyi ini membentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi yang kita kenal sebagai kata melambangkan suatu obyek tertentu umpanya saja gunung atau seekor burung merpati. Perkataan gungiung dan burung merpati sebenarnya merupakan lambang yang kita berikan kepada dua obyek tersebut. Kiranaya patut disadari bahwa kita memberikan lambang kepada dua obyek tadi secara begitu saja, dimana tiap bangsa dengan bahasanya yang berbeda-beda, memberiakn lambang yang berbeda pula. Bagi kita obyek tersebut kita lambangkan dengan bunyi “gunung” sedangkan bagi bahasa lain dilambangkan dengan mountain dalam bahasa Inggris atau jaba dalam bahsa Arab. Demikian juga dengan “merpati” yang berubah menjadi dove dalam bahasa Inggris dan japati dalam bahasa Sunda.

            Manusia mengumpulkan lambang-lambang ini dan menyusun apa yang kita kenal sebagai perbendaharaan kata-kata. Pembendaharaan ini pada hakikatnya merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran mereka. Artinya dengan pembendaharaan kata-kata yang mereka punya maka manusia dapat mengkomunikasikan segenap pengalaman dan pemikiran mereka. Inila yang menyebabkan bahasa terus berkembang yakni karena disebakan pengalaman dan pemikiran manusia yang juga berkembang. Bahasa diperkaya oleh seluruh lapisan masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut; para ilmuan, pendidik,ahli ppolitik, remaja dan bahkan tukang copet. Lucu memang, namun itulah kenyataannya, tiap propesi bahkan copet sekalipun, mengembangkan bahasa yang khas untuk kelompoknya. Yang paling menonjol biasanya adalah para remaja yang memperkaya pembendaharaan bahasa dengan semangat mereka yang kreatif dan lugu.

            Adanya lambang-lambang ini memungkingkan manusia dapat berfikir dan belajar dengan lebih baik. Adanya bahasa ini memungkinkan kita untuk memikirkan sesuatu dalam benak kita, meskipun obyek yang sedang kita fikirkan tersebut tidak berada di dekat kita. Di kamar kecil kita dapat memikirkan soal aljabar atau merencakan apa yang akn kita lakukan setelah nanti makan malam. Manusia dengan kemampuan bahasanya memungkinkan untuk memikirkan suatu masalah secara terus-menerus. Perbedaan pendidikan anatar manusia dengan binatang terutama terletak pada tujuannnya: manusia belajar agar berbudaya sedangkan binatang untuk  mempertahankan jenisnya, jadi dengan bahasa bukan saja manusia dapat berfikir secara teratur namun juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang dia fikirkan kepada orang lain. Namun bukan itu saja dengan bahasa kita pun bisa mengekspresikan sikap dan perasaan kita.

            Dengan adanya bahasa maka manusia hidup dalam dunia yakni dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik yang dinyatakan dengan bahasa. Berbeda dengan binatang maka manusia mencoba mengatur pengalaman yang nyata ini dengan berorientasi kepada manusia simbolik. Bila binatang hidup menurut naluri mereka dan hidup dari waktu ke waktu berdasarkan fluktuasi biologis dan fisiologis mereka, maka manusia mencoba menguasai semua ini. Pengalama mengajarkan kepada manusia bahwa hidup seperti ini kurang bisa diandalakan dimana eksistensi hidupnya sangat tergantung pada faktor-faktor yang sukar dikontrol dan diramalakan. Manusia mempunyai pegangan yang mengajarkan manusia agar mengekang hawa nafsu dan tidak mengikutinya seperti kuda tanpa kendali. Menurut Sigmund Freud, kebudayaan membentuk manusia dengan menekan dorongan-dorongan alamiah  mereka, mensublimasikannya menjadi sesuatu yang berdudaya yang kemudian mereupakan dasar bagi pembentukan kebudayaan. Kebudayaan mempunyai landasan-landasan etika yang menyatakan mana tindakan yang baik dan mana yang tidak. Manusia yang sedang dilanda gejala kemarahan,sebelum terlanjur menurut hawa nafsunya, mau tidak mau akan menurut suara yang mengandung amanah moral” jangan! Membunuh itu tidak baik!”demikian juga sekiranya kelelahan fisik juga penghalang bagi usaha mereka, manusia mempunyai penuntun yang mengatakan ,”kau harus tetap bersikeras sebab itulah yang lebih baikbagi kita”, maka dalam hal ini manusia akan tetap berusaha tidak seperti binatang sepenuhnya di kuasai oleh proses fisiologinya.

            Demikian juga hidup dalam dunia fisik yang kejam dan sukar diramalkan maka manusia bangkit dan melawannya. Manusia lalu mengembangkan pengetahuan untuk menguasainya: tanah diolahnya, belantara ditebangnya air dan iklim dikuasai dan dimanfaatkannya. Lewat pengetahuan ini maka manusia menjadi penguasa dunia. Mereka mencoba mengerti semua gejala yang dihadapinya dan membuahkan pengethaun yang memberikan penjelasan kepadanya. Berbekal pengetahuan ini maka manusia tidak takut lagi terhadap alam. Mereka menguasai alam karena mereka mengetahui rahasianya. Alam tidak lagi berrahasia dengan wujud fisik yang menakutkan seperti kilat yang menyambar-nyambar dan geram yang menggelegar. Lewat bahasa manusia menyusun sendi-sendi yang membuka rahasia alam dalam berbagai teori seperti elektronik, termodinamik, relativitas, dan quantum. “pengetahuan adalah kekuasaan, “seru Francis Bacon, dan dengan kekuasaan ini manusia mencoba mengerti hidupnya. Manusia tidak mau lagi dikuasai alam, dia bangkit dan menguasainya.

            Disamping pengetahuan manusia mencoba memberi arti pada semua gejala fisik yang dialaminya. Kejadian sehari-hari yang penuh dengan tawa dan air mata, kelahiran dan kematian, pertemuan dan perpisahan, semua dirangkainya dengan bahasa menjadi sesuatu yang koheren dan mempunyai arti. Manusia lalu mempertanyakan masalah-masalah yang sangat hakiki, apakah hidup ini ada tujuannya ? ataukah sekedar permainan semacam sabut terlempar ke laut ? apakah manusia itu merdeka untuk menentukan hidupnya ?  ataukah dia makhluk yang terbelenggu dengan nasib merantai kaki mereka ?

            Dengan ini manusia memberi arti kepada hidupnya. Arti yang terpateri dalam dunia simbolik yang diwujudkan lewat kata-kata. Kata-kata lalu mempunyai arti bahkan kekuatan. Kekuatan dalam kepercayaan dan keyakinan moral. Kekuatan yang memberinya dorongan dan arah dalam berkehidupan. Semacam pegangan yang membedakan mana yang suci dan luhur, mana yang rendah dan menghinakan. Tanpa bahasa maka semua ini tak mungkin ada. “tak pernah ada binatang yang membikin perang” kata Aldous Huxley, “karena mereka tak mempunyai sesuatu yang dianggapnya luhur. Apakah yang lebih luhur lagi bagi seekor harimau selain daging segar dan betinanya ? mereka tak mempunyai mekanisme verbal untuk mengemukakan dan mempertahankan apa yang dianggapnya luhur. Demikian juga manusia memberi arti bagi yang indah dalan hidup ini dengan bahasa. Kita membaca puisi dan karya-karya sastra yang mengungkapkan nilai-nilai estetik dalam hidup kita. Atau kita memadukannya dengan seni suara, dimana kita menyanyi, menangis, dan merayakan hidup kita lewat kata-kata. Tanpa estetika ini maka semua kehidupan akan menjadi steril. Bulan hanyalah tumpukan gersang yang didarati astronot. Manusia hanyalah tumpukan daging dan tulang. Kemanusiaan tidak lagi mempunyai perasaan. “pengetahuan dan perasaan adalah sama pentingnya dalam kehidupan individual dan masyarakat.” Ujar Bertrand Russell “.... dunia tanpa kesukaan dan kemesraan adala dunia tanpa nilai.”

            Seni merupakan kegiatan estetik yang banyak mempergunakan aspek emotif dari bahasa baik itu seni suara maupun seni sastra. Dalam hal ini bahasa bukan saja dipergunakan untuk mengemukakan perasaan itu sendiri melainkan juga merupakan ramuan untuk menjelamakan pengalaman yang ekspresif tadi. Bahasa dipergunakan secara plastik, seperti kita membuat patung dari tanah liat, dimana komunikasi yang terjadi mempunyai kecenderungan emotif.

            Komunikasi ilmiah mensyaratkan bentuk komunikasi yang sangat lain dengan komunikasi estetik. Komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi ilmiah ini berjalan dengan baik maka bahasa yang dipergunakan harus terbebas dari nusur-unsur emotif. Komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif, artinya bila si pengirim komnikasi menyampaikan suatu informasi yang katakanlah berupa x, maka si penerima komunikasi harus menerima informasi yang berupa x pula. Informasi x yang diterima harus merupakan reproduksi yang benar-benar sama dari informasi x yang dikiimkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah apa yang dinamakan sebagai salah suatu informasi, yakni suatu proses komunikasi yang mengakibatkan penyampaian informasi yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan, dimana suatu informasi yang berbeda akan menghasilkan proses berpikir yang berbeda pula. Oleh sebab itu maka proses komunikasi ilmiah harus bersifat jelas dan obyektif yakni terbebas dari unsur-unsur emotif.

            Berbahasa dengan jelas artinya ialahbahwa makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan diungkapkan secara tersurat (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Oleh sebab itu maka dalam komunikasi ilmiah kita sering sekali mendapatkan definisi dari kata-kata yang dipergunakan. Umpanya jika dalam sebuah komunikasi ilmiah kita mempergunakan kata seperti “epistemologi” atau “optimal” maka kita harus menjelaskan lebih lanjut apa yang kita maksudkan dengan kata-kata itu. Hal ini harus kita lakukan untuk mencegah si penerima komunikasi memberi makna lain yang berbeda dengan makna yang kita maksudkan. Tentu saja kata-kata yang sudah jelas dan kecil kemungkinannya untuk disalahartikan dan tidak lagi membutuhkan penjelasan lebih lanjut.

            Berbahasa dengan jelas artinya juga mengemukakan pendapat atau jalan pemikiran yang jelas. Kalau kita teliti lebih lanjut maka kalimat-kalimat dalam sebuah karya ilmiah pada dasarnya merupakan suatu pernyataan. Pernyataan itu melambangkan suatu pengetahuan yang kita ingin komunikasikan kepada orang lain. Kalimat seperti “logam kalau dipanaskan akan memanjang” pada hakekatnya merupakan suatu pernyataan yang mengandung pengetahuan tentang hubungan sebab akibat antara panjang logam dan kenaikan suhu.

            Karya ilmiah pada dasarnya merupakan kumpulan pernyataan yang mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun jalan pemikiran dalam mendapatkan pengetahuan tersebut. Untuk mampu mengkomunikasikan suatu pernyataan denagn jelas maka seseorang harus menguasai tata bahasa yang baik. Hai ini berlaku baik bagi kegiatan ilmiah maupun non ilmiah. “Tata bahasa,” menurut Charlton Laird,” merupakan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu. Penguasaan tata bahasa dengan baik merupakan syarat mutlak bagi suatu komunikasi ilmiah yang benar. Dalam masyarakat kita hal ini sering kita kurang sadari, dimana bahkan terdapat bahwa berbahasa yang benar dan baikhanya patuut dilakukan oleh orang-orang bukan ilmuan. Hal ini adalah salah sama sekali, dan bahkan sebaliknya, untuk mampu berkomunikasi secara benar maka seorang ilmuan harus menguasai nahasa dengan lebih baik.

            Karya ilmiah juga mempunyai gaya penulisan yang pada hakikatnya merupakan usaha untuk mencoba menghindari kecenderungan yang bersifat emosional bagi kegiatan seni namun merupakan kerugian bagi kegiatan ilmiah.oleh sebab itu gaya penulisan ilmiah, di mana tercakup di dalamnya penggunaan tata bahasa dan penggunaan kata-kata, harus diusahakan sedimikian mungkin untuk menekan unsur-unsur emotif ini seminimal mungkin. Di samping itu karya ilmiah mempunyai format-format penulisan tertentu seperti cara meletakkan catatan kaki atau menyertakan daftar bacaan. Kesemuanya ini harus dikuasai dengan baik oleh seorang ilmuan  agar dapat berkomunikasi dengan sesama ilmmuan secara benar.

Beberapa Kekurangan Bahasa

            Sebagai sarana komunikasi ilmiah maka bahasa mempunyai beberapa kekurangan. Kekurangan ini pada hakekatnya terletak pada peranan bahsa itu sendiri yang bersifat multifungsi yakni sebagai sarana komunikasi emotif, afaktef, dan simbolik. Dalam komunikasi ilmiah kita ingin mempergunakan aspek simbolik saja dari ketiga fungsi tersebut tadi dimana kita ingin mengkomunikasikan informasi tanpa kaitan emosi dan afektif. Dalam kenyataan hal ini tidak mungkin; bahasa verbal mau tidak mau harus mengandung unsur emotif, afektif, dan simbolik. Jadi inilah kekurangan bahsa dalam sarana komunikasi ilmiah,yang di katakan oleh Kemeny,sebagai mempunyai kecenderungan emosional. Bahasa ilmiah haruslah bersifat objektif  tanpa mengandung emosi dan sikap atau dengan perkataan lain, bahasa ilmiah haruslah bersifat antiseptik dan reproduktif.

Kekurangan yang kedua terletak dalam arti yang tidak jelas dan eksak yang di kandung oleh kata-kata yang membangun bahasa. Jika kita ingin mengetahui mengetahui arti dari ilmu umpamanya, yang menjadi pokok pembicaraan kita selama ini, maka sukar sekali untuk mendevinisikan arti dari ilmu tersebut dengan jelas dan seeksak mungkin, bagaimanapun hal itu kita coba. Di pihak lain usaha untuk menyapaikan arti sejelas dan seeksak mungkin dalam suatu komunikasi mungkin akan menyebabkan proses penyampaian informasi itu malah tidak komuniktif itu karna di sebabkan bahasa yang bertele-tele dan membosankan. Umpamanya saja kita bisa mendefinisikan ilmu sebagai ; pengetahuan yang di susun secara konsisten dengan menggunakan logika deduktif dan teruji secara empiris dengan menggunakan logika induktif yang menyangkut kebenaran faktual dari dunia empiris yang di tunjukan untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk menguasai dunia fisik yang berguna bagi kemaslahatan hidup.

            Mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari ambilah contoh sebuah kata yang termasuk dalam kata populer dalam perbendaharaan bahasa indonesia contohnya “Cinta”. Kata cinta ini sering di pakai dlam lingkup yang sangat luas umpamanya dalam hubungan Ibu dan Anak,ayah dan anak,kakek dan nenek,dua orang kekasih, dua orang sodara, perasaan pada tanah air,dan ikatan pada rasa kemanusiaan yang besar. Dalam hal ini sukar bagi kita untuk memberi batasan yang tepat dan bersifat menyeluruh.kelemahan lain berada pada sifat majemuk (pluralistik) dari bahasa. Sebuah kata kadang-kadang mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda umpamanya kata ilusi dalam kamus umum bahasa indonesia mempunyai arti sebagai berikut: ilusi (angan-angan;khayal;1.sesuatu yang memberdaya fikiran dengan memberikan kesan yang pasu, 2.suatu gagasan yang keliru;suatu kepercayaan;yang tidak berdasar;keadaan fikiran yang memberdaya seseorang.

            Selain itu bahasa mempunyai beberapa kata yang mempunyai arti yang sama.umpamanya pengertian tentang “ usaha kerja sama yang terkordinasi dalam pencapai suatu tujuan tertentu “ di sebut sebagai administrasi,manajemen,pengelolaan,dan tatalaksana. Suku Hanunoo dari Filipina mempunyai 92 kata untuk beras sedangkan bahasa Eskimo mempunyai perbendaharaan kata yang sangat banyak sekali untuk salju. Sifat majemuk dari bahsa ini sering menimbulkan dengan apa yang disebut dengan kekacauan semantik, dimana dua orang yang berkomunikasi menggunakan sebuah kata yang sama namun untuk pengertian yang berbeda, atau sebaliknya, mereka menggunakan dua kata yang berbeda untuk sebuah pengertian yang sama. Kelemahan ketiga bahasa sering bersifa berputar-putar (sirkular) dalam menggunakan kata-kata terutama dalam member ikan definisi. Umpanya kata “pengelolaan” didefinisikan sebagai “kegiatan yang dilakukan dalam sebuah organisasi”. Sedangkan “ organisasi ”  didefinisikan sebagai “ suatu bentuk kerja sama yang merupakan wadah dari kegiatan pengelolaan” . Contoh lain yang kita temukan adalah perkataan “data” yang diartikan sebagai “ bahan yang diolah menjadi informasi” sedangkan  “ informasi”  diartikan sebagai “keterangan yang didapat dari data” . tak dapat dihindarkan lagi bahwa dalam memberikan definisi maka sebuah kata tergantung pada kata-kata yang lain. Hal ini sebenarnya tak ada salahnya selama kata-kata yang dipergunkan itu sudah mempunyai pengertian yang jelas dan bukan bersifat berputar-putar seperti tampak dalam contoh kita di atas. Dalam bidang ilmu-ilmu sosisal masalah definisi ini makin rumit, sebab seperti yang  dikatakan Max Weber, ahli-ahli ilmu sosialsering cenderung untuk selalu membuat definisi baru mengenai obyek penelaahan ilmu-ilmu sosial, sebab mereka menganggap definisi yang dibuat oleh orang lain sebagai “sikat gigi bekas”. Kelemahan lain dari bahasa adalah konotasi yang bersifat emosional seperti yang telah kita bicarakan pada bagian terdahulu.

Masalah bahasa ini menjadi bahan pemikiran yang sungguh-sungguh dari pada ahli filsafat modern. Kekacauna dalam filasafat menurut Wittgeinsten, disebabkan karena “kebanyakan dari pernyataan dan pertanyaan ahli filsafat timbul dari kegagalan mereka untuk menguasai logika bahasa”. Pengkajian filsafat, termasuk pengkajian hakikat ilmu, pada dasarnya merupakan analisis logico- linguistik. Bagi aliaran filsafat tertentu, seper fisafat analitik, maka bahasa bukan saja merupakan alat bagi bersifat dan berfikir, namun juga merupakan “bahan dasar dan dalam hal tertentu merupakan hasil akhir dari filsafat”. Ahli filsafat seperti Henri Bergson (1859-1941) membedakan anatara pengetahuan ayang bersifat absolut yang didapat tanpa melalui bahsa dan pengetahuan yang bersifat relatif yang didapat lewat perantaraan bahasa. Pengetahuan yang hakiki bukan didapat lewat penalaran melainkan lewat intuisi ; tanpa diketahui kita sudah sampai disana, dengan kebenaran yang membukakan pintu, entah dari mana datangnya. Dan bahasa, menurut Whitehead, ”berhenti di belakang intuisi”.

Mungkin ada baiknya kita menutup pembaasan kita mengenai bahasai ini dengan mendengarkan nyanian Ritta Sugiarto diiringi Orkes Melayu Soneta; dengan dangdutnya yang sangat instinktif merangsang proses fisiologi kita (debar jantung dan hentak kaki); melodinya yang menyentuh emosi kita; dan syairnya yang berfilsafat bahasa.

Daftar Pustaka

-          Prawironegoro, Darsono. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan. Jakarta: Nusantara Consulting.

-          Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar