KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan anugerah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Filsafat Ilmu ini dengan baik dan tepat waktu.
Makalah
yang
berjudul “Filsafat Ilmu” ini kami buat dalam rangka menyelesaikan tugas yang diberikan Bapak
Anggai dan Bapak Ahmad Husein selaku
dosen
pengampu mata kuliah Filsafat
Ilmu.
Terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini,
khususnya kepada dosen mata kuliah ini selaku pembimbing kami, teman-teman yang telah memberi kami
inspirasi, dan semua orang yang tidak bisa kami
sebutkan satu persatu.
Kami
sadar makalah filsafat ilmu ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik membangun dari para pembaca semua supaya kedepannya makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir
kata semoga makalah Filsafat Ilmu ini dapat bermanfaat untuk kami khususnya dan bagi para pembaca umumnya.
Jakarta, Oktober
2011
Penulis
Kelompok IV
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
A.
Logika ............................................................................................ 1
B.
Bahasa ............................................................................................ 3
PENUTUP 6
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. iii
BAB
II
LOGIKA
Logika
ialah suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan
penalaran. Bentuk-bentuk pemikiran ialah pengertian atau konsep (coceptus, concept), proposisi atau
pernyataan (propositio, statement), dan penalaran (ratiocinium, reasoning). Tidak ada proposisi tanpa pengertian dan
tidak ada penalaran tanpa proposisi (rancangan
usulan).
Pengertian
atau lazim disebut konsep (conceptus,
concept) ialah hasil observasi indera terhadap obyek yang diolah oleh otak.
Oleh sebab itu pengertian disebut pengalaman atau data empirik yang disimpan
oleh otak. Karena pengalaman disimpan oleh otak maka pengertian disebut data psikologik. Pengertian adalah
bahan baku untuk berpikir lebih lanjut.
Pengertian
tentang obyek merupakan abstraksi atas obyek tersebut yang dituangkan ke dalam
bahasa. Bahasa adalah lambang atau
simbol atas obyek yang menjelaskan ciri-ciri obyek. Obyek yang diabtrasi oleh
otak dan dilambangkan dalam bahasa itu berbentuk kata. Misalnya manusia,
binatang, gunung, laut, dsb.
Otak
merangkai kata menjadi suatu pernyataan atau proposisi (propositio, statement), misalnya gunung itu tinggi, binatang itu
buas, dsb. Pengertian tinggi untuk gunung dan buas untuk anjing itu disebut predikat (yang menerangkan), sedangkan
pengertian gunung dan anjing itu disebut subyek
(yang diterangkan).
Bangunan
Logika
LOGIKA
|
DAYA NALAR
MANUSIA
Conceptus
Propositio
Ratiocinium
|
HAL – HAL YANG
KONKRET
|
Dalam suatu proposisi terjadi dua kemungkinan, yaitu
pengakuan dan pengingkaran. Proposisi pengakuan contohnya adalah binatang itu
buas, sedangkan proposisi pengingkaran adalah binatang itu tidak buas.
Proposisi harus dibuktikan, ia bisa benar dan bisa salah. Dengan demikian, proposisi
hakikatnya adalah apa yang ada dipikiran manusia. Pikiran itu harus dibuktikan
dengan kondisi obyektif. Sedangkan pengertian selalu benar karena ia
merupakan obyek itu sendiri, atau pengertian selalu obyektif. Terdapat berbagai
macam proposisi antara lain adalah :
1).
Proposisi Kategorik ialah penalaran
atau penyimpulan yang premisnya hanya satu, contoh : manusia itu makhluk
berpikir; subyek dan predikat keduanya kata benda yang dihubungkan dengan kata
“itu” atau “adalah”, atau “ialah”, dsb. Jika predikatnya bukan kata benda maka
harus dijadika kata benda, contohnya : mahasiswa itu pandai; saya sedang
belajar, harus diubah menjadi : saya adalah orang yang sedang belajar. Model
proposisi kategorik pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles, filsuf Yunani Kuno, dan proposisi yang demikian
disebut penalaran langsung. Aristoteles
membedakan proposisi ketegorik menjadi tiga jenis yaitu kualitas, kuantitas dan
distribusi. Proposisi Kategorik Kualitas
ialah ada tidaknya hubungan antara subyek dan predikat. Proposisi Kategorik Kuantitas ialah kelas dari daripada konsep
subyek atau predikat; konsep manusia terdiri beberapa kelompok yang mempunyai
ciri-ciri yang sama. Proposisi Kategorik
Distribusi ialah fungsi dari konsep, contohnya: konsep mahasiswa yang menunjuk pada seorang
mahasiswa, misalnya Dono; Dono adalah mahasiswa.
2).
Proposisi Hipotetik ialah pernyataan yang kedua premisnya
menjelaskan kondisi. Contoh: jika Dono lulus ujian saringan masuk perguruan
tinggi, maka ia pasti diterima; Dono lulus ujian saringan masuk perguruan
tinggi; jadi Dono diterima sebagai mahasiswa. Proposisi hipotekik, premis
universalnya terdiri dari dua kondisi yang dinyatakan dengan kata; jika .....,
maka .....
3).
Proposisi Empirik ialah
rangkaian kata yang didasarkan pada observasi terhadap obyek langsung dan harus
diverifikasi; proposisi empirik lazim disebut fakta, karena dapat diuji dengan obyek nyata.
4).
Proposisi Mutlak ialah rangkaian kata yang didasarkan
pada kebenaran yang harus diterima, misalnya “semua manusia pasti mati”
proposisi yang demikian tidak perlu pembuktian lagi.
Proposisi yang dianggap benar atau dinyatakan benar
dikombinasi dengan proposisi yang lainnya yang juga dianggap benar menghasilkan
proposisi baru yang disebut penalaran (ratiocinium,
rasoning). Contohnya adalah: Amat mati, Badu mati, Coni mati, jadi semua
orang akan mati. Proposisi yang menjadi dasar penyimpulan disebut premis dan proposisi yang menjadi
kesimpulan disebut konklusi
(konsekuensi). Pada contoh tersebut, konklusinya lebih luas daripada
premisnya, maka disebut generalisasi. Penalaran yang demikian disebut penalaran
induktif. Lawan dari Penalaran Induktif
adalah Penalaran Deduktif, yaitu
konklusinya lebih sempit dari pada premisnya; contohnya: “semua manusia akan
mati”, jadi “Badu akan mati”.
Penalaran itu berhubungan langsung dengan penyimpulan dan
argumen yang merupakan aktifitas pikiran yang abstrak simbolik. Oleh sebab itu
dapat dikatakan bahwa penalaran (argumen, penyimpulan) itu simbolnya adalah bahasa; pernyataan itu simbolnya adalah
kalimat; dan pengertian itu
simbolnya kata.
Berdasarkan
uraian diatas, yang dimaksud logika itu ada dua jenis yaitu logika formal dan
logika material. Logika formal ialah membuat kesimpulan (penalaran, argumen)
berdasar pada bentuk pernyataan (propositio, statement). Sedangkan logika
material adalah membuat kesimpulan (penalaran, argumen) berdasar pada isi
(obyek). Oleh sebab itu dalam mmepelajari logika harus terlebih dahulu
mempelajari hubungan bentuk dan isi. Isi adalah pengertian akan obyek dan
bentuk adalah tempat (wadah) untuk menampung dan mengemas isi agar isi itu
mempunyai makna dan bermanfaat.
BAHASA
Keunikan manusia
sebenarnya bukanlah terletak
pada kemampuan bfikirnya
melainkan terletak pada kempuan bahasanya.Maka ernst Cssirer menyebut manusia
sebagai animal symbol licum,mahluk yang mempergunakan simbol,
yang secara generik mempunyai cakupan yang luas darai pada homo sapiens yakni mahluk yang berfikir, sebab dalam kegiatan
berfikirnya manusia mempergunakan simbol. Tanpa mempergunakan kemampuan berbahasa
ini maka kegiatan berfikir secara sistematis dan teratur tidak dapat mungkin di
lakukan . Lebih lanjut lagi, tanpa kemampuan berbahasa ini manusia tidak dapat
mungkin mengembangkan kebudayaanya,
sebab tanpa mempunyai bahasa maka hilang pulalah kemampuan untuk meneruskan
nilai-nilai budaya kepada generasi selanjutnya.
Manusia dapat berfikir dengan baik
karena dia mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak dapat berfikir
secara rumit dan abstrak seperti apa yang kita lakukan dalam kegiatan ilmiah.
Demikian juga tanpa bahsa kita tak dapat juga mengkomunikasikan kepada orang
lain. Binatang tidak di bekali oleh bahasa yang sempurna seperti yang kita
miliki,oleh karna itu maka binatang tidak dpat berfikir dengan baik dan
mengkumulasikan pengetahuannya lewat proses komunikasi seperti kita
mengembangkan ilmu.
Bahasa memungkinkan manusia berfikir
secara abstrak dimana obyek-obyek yang faktual di tranformasikan menjadi
simbol-simbol bahasa yang menjadi abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka
manusia dapat berfikir mengenai obyek tertentu meskipun obyek tersebut secara
faktual tidak berada di tempat dimana tempat berfikir itu di lakukan. Binatang
mampu berkomunikasi dengan binatang lainnya namun hal ini terbtas selama obyek
yang di komunikasikan ini berada secara
faktual waktu proses komunikasi itu di lakukan. Tanpa kehadiran obyek secara
faktual maka komunikasi tidak bisa di laksanakan.
Adanya simbol bahasa yang bersifat
abstrak ini memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu selanjutnya. Demikian
juga bahasa memberikan kemampuan untuk berfikir secara tertur dan sistematis.
Transformasi obyek faktual menjadi simbol abstrak yang di wujudkan melalui
pembendaharaan kata-kata ini di rangkaian oleh tata bahasa untuk mengemukakan
suatu jalan pemikiran atau ekspresi perasaan.kedua aspek ini yakni aspek
informatif dan emotif keduanya tercermin dalam bahasa yang kita gunakan.
Artinya, pada saat kita bicara pada hakekatnya informasi yang kita gunakan
mengandung unsur-unsur emotif , demikian juga jika kita menyampaikan perasaan
maka ekspresi itu mengandung unsur-unsur informatif. Kadang hal ini dapat
dipisahkan dengan jelas,misalnya; musik dapat di anggap sebagai bentuk dari
bahasa, dimana emosi terbebas dari informasi, sedangkan buku telepon memberikan
kita informasi sama sekali tanpa emosi.
Jika kita telaah lebih lanjut bahasa
mengkomunikasikan tiga hal yakni; buah fikiran,perasaan, dan sikap. Atau seperti yang di nyatakan oleh
Knaller bahsa dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif, dan
efektif. Funsi simbolik dalam komunikasi ilmiah sedangkan fungsi emotif
menonjol dlam komunikasi estetik. Komunikasi dengan menggunakan bahasa akan
mengandung unsur simbolik dan emotif ini. Dalam komunikasi ilmiah sebenarnya
proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif ini, agar oesan yang di
sampaikan bisa di terima secara reproduktif , artinya identik dengan pesan yang
di kirim. Namun dalam prakteknya hal ini sukar untuk di laksanakan kecuali
informasi yang terdapat dlam buku pedoman telepon. Inilah salah satu kelemahan
bahsa dalam sarana komunikasi ilmiah dimana menurut Kemeny bahasa mempunyai
kecenderungan emosi.
Apakah Sebenarnya Bahasa?
Pertama-tama
bahasa dapat kita cirikan sebagai serangkaian bunyi. Dalam hal ini kita
menggunakan bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi. Sebenarnya kita bisa
berkomunikasi dengan mempergunakan alat-alat lain, umpanya saja dengan
menggunakan berbagai isyarat. Manusia memperguanakan berbagai bunyi sebagia
alat komikasi yang paling utama. Tentu saja, mereka yang tidak dianugrahi
kemampuan bersuara, harus menggunakan alat komunikasi yang lain, seperti kita
lihat pada mereka yang bisu. Komunikasi dengan mempergunakan bunyi ini
dikatakan juga sebagai komunikasi verbal, disebut juga sebagai masyarakat
verbal.
Kedua, bahasa merupakan lambang di
mana rangkaian bunyi ini membentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi yang
kita kenal sebagai kata melambangkan suatu obyek tertentu umpanya saja gunung
atau seekor burung merpati. Perkataan gungiung dan burung merpati sebenarnya
merupakan lambang yang kita berikan kepada dua obyek tersebut. Kiranaya patut
disadari bahwa kita memberikan lambang kepada dua obyek tadi secara begitu
saja, dimana tiap bangsa dengan bahasanya yang berbeda-beda, memberiakn lambang
yang berbeda pula. Bagi kita obyek tersebut kita lambangkan dengan bunyi
“gunung” sedangkan bagi bahasa lain dilambangkan dengan mountain dalam bahasa Inggris atau jaba dalam bahsa Arab. Demikian juga dengan “merpati” yang berubah
menjadi dove dalam bahasa Inggris dan
japati dalam bahasa Sunda.
Manusia mengumpulkan lambang-lambang
ini dan menyusun apa yang kita kenal sebagai perbendaharaan kata-kata.
Pembendaharaan ini pada hakikatnya merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran
mereka. Artinya dengan pembendaharaan kata-kata yang mereka punya maka manusia
dapat mengkomunikasikan segenap pengalaman dan pemikiran mereka. Inila yang
menyebabkan bahasa terus berkembang yakni karena disebakan pengalaman dan
pemikiran manusia yang juga berkembang. Bahasa diperkaya oleh seluruh lapisan
masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut; para ilmuan, pendidik,ahli
ppolitik, remaja dan bahkan tukang copet. Lucu memang, namun itulah
kenyataannya, tiap propesi bahkan copet sekalipun, mengembangkan bahasa yang
khas untuk kelompoknya. Yang paling menonjol biasanya adalah para remaja yang
memperkaya pembendaharaan bahasa dengan semangat mereka yang kreatif dan lugu.
Adanya lambang-lambang ini
memungkingkan manusia dapat berfikir dan belajar dengan lebih baik. Adanya
bahasa ini memungkinkan kita untuk memikirkan sesuatu dalam benak kita,
meskipun obyek yang sedang kita fikirkan tersebut tidak berada di dekat kita.
Di kamar kecil kita dapat memikirkan soal aljabar atau merencakan apa yang akn
kita lakukan setelah nanti makan malam. Manusia dengan kemampuan bahasanya
memungkinkan untuk memikirkan suatu masalah secara terus-menerus. Perbedaan
pendidikan anatar manusia dengan binatang terutama terletak pada tujuannnya:
manusia belajar agar berbudaya sedangkan binatang untuk mempertahankan jenisnya, jadi dengan bahasa
bukan saja manusia dapat berfikir secara teratur namun juga dapat
mengkomunikasikan apa yang sedang dia fikirkan kepada orang lain. Namun bukan
itu saja dengan bahasa kita pun bisa mengekspresikan sikap dan perasaan kita.
Dengan adanya bahasa maka manusia
hidup dalam dunia yakni dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik yang
dinyatakan dengan bahasa. Berbeda dengan binatang maka manusia mencoba mengatur
pengalaman yang nyata ini dengan berorientasi kepada manusia simbolik. Bila binatang
hidup menurut naluri mereka dan hidup dari waktu ke waktu berdasarkan fluktuasi
biologis dan fisiologis mereka, maka manusia mencoba menguasai semua ini.
Pengalama mengajarkan kepada manusia bahwa hidup seperti ini kurang bisa
diandalakan dimana eksistensi hidupnya sangat tergantung pada faktor-faktor
yang sukar dikontrol dan diramalakan. Manusia mempunyai pegangan yang
mengajarkan manusia agar mengekang hawa nafsu dan tidak mengikutinya seperti
kuda tanpa kendali. Menurut Sigmund Freud, kebudayaan membentuk manusia dengan
menekan dorongan-dorongan alamiah
mereka, mensublimasikannya menjadi sesuatu yang berdudaya yang kemudian
mereupakan dasar bagi pembentukan kebudayaan. Kebudayaan mempunyai
landasan-landasan etika yang menyatakan mana tindakan yang baik dan mana yang
tidak. Manusia yang sedang dilanda gejala kemarahan,sebelum terlanjur menurut
hawa nafsunya, mau tidak mau akan menurut suara yang mengandung amanah moral”
jangan! Membunuh itu tidak baik!”demikian juga sekiranya kelelahan fisik juga
penghalang bagi usaha mereka, manusia mempunyai penuntun yang mengatakan ,”kau
harus tetap bersikeras sebab itulah yang lebih baikbagi kita”, maka dalam hal
ini manusia akan tetap berusaha tidak seperti binatang sepenuhnya di kuasai
oleh proses fisiologinya.
Demikian juga hidup dalam dunia
fisik yang kejam dan sukar diramalkan maka manusia bangkit dan melawannya.
Manusia lalu mengembangkan pengetahuan untuk menguasainya: tanah diolahnya,
belantara ditebangnya air dan iklim dikuasai dan dimanfaatkannya. Lewat pengetahuan
ini maka manusia menjadi penguasa dunia. Mereka mencoba mengerti semua gejala
yang dihadapinya dan membuahkan pengethaun yang memberikan penjelasan
kepadanya. Berbekal pengetahuan ini maka manusia tidak takut lagi terhadap
alam. Mereka menguasai alam karena mereka mengetahui rahasianya. Alam tidak
lagi berrahasia dengan wujud fisik yang menakutkan seperti kilat yang
menyambar-nyambar dan geram yang menggelegar. Lewat bahasa manusia menyusun
sendi-sendi yang membuka rahasia alam dalam berbagai teori seperti elektronik,
termodinamik, relativitas, dan quantum. “pengetahuan adalah kekuasaan, “seru
Francis Bacon, dan dengan kekuasaan ini manusia mencoba mengerti hidupnya.
Manusia tidak mau lagi dikuasai alam, dia bangkit dan menguasainya.
Disamping pengetahuan manusia
mencoba memberi arti pada semua gejala fisik yang dialaminya. Kejadian
sehari-hari yang penuh dengan tawa dan air mata, kelahiran dan kematian,
pertemuan dan perpisahan, semua dirangkainya dengan bahasa menjadi sesuatu yang
koheren dan mempunyai arti. Manusia lalu mempertanyakan masalah-masalah yang
sangat hakiki, apakah hidup ini ada tujuannya ? ataukah sekedar permainan
semacam sabut terlempar ke laut ? apakah manusia itu merdeka untuk menentukan
hidupnya ? ataukah dia makhluk yang terbelenggu
dengan nasib merantai kaki mereka ?
Dengan ini manusia memberi arti
kepada hidupnya. Arti yang terpateri dalam dunia simbolik yang diwujudkan lewat
kata-kata. Kata-kata lalu mempunyai arti bahkan kekuatan. Kekuatan dalam
kepercayaan dan keyakinan moral. Kekuatan yang memberinya dorongan dan arah
dalam berkehidupan. Semacam pegangan yang membedakan mana yang suci dan luhur,
mana yang rendah dan menghinakan. Tanpa bahasa maka semua ini tak mungkin ada.
“tak pernah ada binatang yang membikin perang” kata Aldous Huxley, “karena
mereka tak mempunyai sesuatu yang dianggapnya luhur. Apakah yang lebih luhur
lagi bagi seekor harimau selain daging segar dan betinanya ? mereka tak
mempunyai mekanisme verbal untuk mengemukakan dan mempertahankan apa yang dianggapnya
luhur. Demikian juga manusia memberi arti bagi yang indah dalan hidup ini
dengan bahasa. Kita membaca puisi dan karya-karya sastra yang mengungkapkan
nilai-nilai estetik dalam hidup kita. Atau kita memadukannya dengan seni suara,
dimana kita menyanyi, menangis, dan merayakan hidup kita lewat kata-kata. Tanpa
estetika ini maka semua kehidupan akan menjadi steril. Bulan hanyalah tumpukan
gersang yang didarati astronot. Manusia hanyalah tumpukan daging dan tulang.
Kemanusiaan tidak lagi mempunyai perasaan. “pengetahuan dan perasaan adalah
sama pentingnya dalam kehidupan individual dan masyarakat.” Ujar Bertrand
Russell “.... dunia tanpa kesukaan dan kemesraan adala dunia tanpa nilai.”
Seni merupakan kegiatan estetik yang
banyak mempergunakan aspek emotif dari bahasa baik itu seni suara maupun seni
sastra. Dalam hal ini bahasa bukan saja dipergunakan untuk mengemukakan
perasaan itu sendiri melainkan juga merupakan ramuan untuk menjelamakan
pengalaman yang ekspresif tadi. Bahasa dipergunakan secara plastik, seperti
kita membuat patung dari tanah liat, dimana komunikasi yang terjadi mempunyai
kecenderungan emotif.
Komunikasi ilmiah mensyaratkan
bentuk komunikasi yang sangat lain dengan komunikasi estetik. Komunikasi ilmiah
bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi
ilmiah ini berjalan dengan baik maka bahasa yang dipergunakan harus terbebas
dari nusur-unsur emotif. Komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif, artinya
bila si pengirim komnikasi menyampaikan suatu informasi yang katakanlah berupa
x, maka si penerima komunikasi harus menerima informasi yang berupa x pula.
Informasi x yang diterima harus merupakan reproduksi yang benar-benar sama dari
informasi x yang dikiimkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah apa yang dinamakan
sebagai salah suatu informasi, yakni suatu proses komunikasi yang mengakibatkan
penyampaian informasi yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan, dimana
suatu informasi yang berbeda akan menghasilkan proses berpikir yang berbeda
pula. Oleh sebab itu maka proses komunikasi ilmiah harus bersifat jelas dan
obyektif yakni terbebas dari unsur-unsur emotif.
Berbahasa dengan jelas artinya
ialahbahwa makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan diungkapkan
secara tersurat (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Oleh
sebab itu maka dalam komunikasi ilmiah kita sering sekali mendapatkan definisi
dari kata-kata yang dipergunakan. Umpanya jika dalam sebuah komunikasi ilmiah
kita mempergunakan kata seperti “epistemologi” atau “optimal” maka kita harus
menjelaskan lebih lanjut apa yang kita maksudkan dengan kata-kata itu. Hal ini
harus kita lakukan untuk mencegah si penerima komunikasi memberi makna lain
yang berbeda dengan makna yang kita maksudkan. Tentu saja kata-kata yang sudah
jelas dan kecil kemungkinannya untuk disalahartikan dan tidak lagi membutuhkan
penjelasan lebih lanjut.
Berbahasa dengan jelas artinya juga
mengemukakan pendapat atau jalan pemikiran yang jelas. Kalau kita teliti lebih
lanjut maka kalimat-kalimat dalam sebuah karya ilmiah pada dasarnya merupakan
suatu pernyataan. Pernyataan itu melambangkan suatu pengetahuan yang kita ingin
komunikasikan kepada orang lain. Kalimat seperti “logam kalau dipanaskan akan
memanjang” pada hakekatnya merupakan suatu pernyataan yang mengandung
pengetahuan tentang hubungan sebab akibat antara panjang logam dan kenaikan
suhu.
Karya ilmiah pada dasarnya merupakan
kumpulan pernyataan yang mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun
jalan pemikiran dalam mendapatkan pengetahuan tersebut. Untuk mampu
mengkomunikasikan suatu pernyataan denagn jelas maka seseorang harus menguasai
tata bahasa yang baik. Hai ini berlaku baik bagi kegiatan ilmiah maupun non
ilmiah. “Tata bahasa,” menurut Charlton Laird,” merupakan alat dalam mempergunakan
aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan
mempergunakan aturan-aturan tertentu. Penguasaan tata bahasa dengan baik
merupakan syarat mutlak bagi suatu komunikasi ilmiah yang benar. Dalam
masyarakat kita hal ini sering kita kurang sadari, dimana bahkan terdapat bahwa
berbahasa yang benar dan baikhanya patuut dilakukan oleh orang-orang bukan
ilmuan. Hal ini adalah salah sama sekali, dan bahkan sebaliknya, untuk mampu
berkomunikasi secara benar maka seorang ilmuan harus menguasai nahasa dengan
lebih baik.
Karya ilmiah juga mempunyai gaya
penulisan yang pada hakikatnya merupakan usaha untuk mencoba menghindari
kecenderungan yang bersifat emosional bagi kegiatan seni namun merupakan
kerugian bagi kegiatan ilmiah.oleh sebab itu gaya penulisan ilmiah, di mana
tercakup di dalamnya penggunaan tata bahasa dan penggunaan kata-kata, harus
diusahakan sedimikian mungkin untuk menekan unsur-unsur emotif ini seminimal
mungkin. Di samping itu karya ilmiah mempunyai format-format penulisan tertentu
seperti cara meletakkan catatan kaki atau menyertakan daftar bacaan. Kesemuanya
ini harus dikuasai dengan baik oleh seorang ilmuan agar dapat berkomunikasi dengan sesama
ilmmuan secara benar.
Beberapa Kekurangan Bahasa
Sebagai
sarana komunikasi ilmiah maka bahasa mempunyai beberapa kekurangan. Kekurangan
ini pada hakekatnya terletak pada peranan bahsa itu sendiri yang bersifat
multifungsi yakni sebagai sarana komunikasi emotif, afaktef, dan simbolik.
Dalam komunikasi ilmiah kita ingin mempergunakan aspek simbolik saja dari
ketiga fungsi tersebut tadi dimana kita ingin mengkomunikasikan informasi tanpa
kaitan emosi dan afektif. Dalam kenyataan hal ini tidak mungkin; bahasa verbal
mau tidak mau harus mengandung unsur emotif, afektif, dan simbolik. Jadi inilah
kekurangan bahsa dalam sarana komunikasi ilmiah,yang di katakan oleh
Kemeny,sebagai mempunyai kecenderungan emosional. Bahasa ilmiah haruslah
bersifat objektif tanpa mengandung emosi
dan sikap atau dengan perkataan lain, bahasa ilmiah haruslah bersifat
antiseptik dan reproduktif.
Kekurangan
yang kedua terletak dalam arti yang tidak jelas dan eksak yang di kandung oleh
kata-kata yang membangun bahasa. Jika kita ingin mengetahui mengetahui arti
dari ilmu umpamanya, yang menjadi
pokok pembicaraan kita selama ini, maka sukar sekali untuk mendevinisikan arti
dari ilmu tersebut dengan jelas dan seeksak mungkin, bagaimanapun hal itu kita
coba. Di pihak lain usaha untuk menyapaikan arti sejelas dan seeksak mungkin
dalam suatu komunikasi mungkin akan menyebabkan proses penyampaian informasi
itu malah tidak komuniktif itu karna di sebabkan bahasa yang bertele-tele dan
membosankan. Umpamanya saja kita bisa mendefinisikan ilmu sebagai ; pengetahuan
yang di susun secara konsisten dengan menggunakan logika deduktif dan teruji
secara empiris dengan menggunakan logika induktif yang menyangkut kebenaran
faktual dari dunia empiris yang di tunjukan untuk meningkatkan kemampuan
manusia untuk menguasai dunia fisik yang berguna bagi kemaslahatan hidup.
Mengambil contoh dari kehidupan
sehari-hari ambilah contoh sebuah kata yang termasuk dalam kata populer dalam
perbendaharaan bahasa indonesia contohnya “Cinta”. Kata cinta ini sering di
pakai dlam lingkup yang sangat luas umpamanya dalam hubungan Ibu dan Anak,ayah
dan anak,kakek dan nenek,dua orang kekasih, dua orang sodara, perasaan pada
tanah air,dan ikatan pada rasa kemanusiaan yang besar. Dalam hal ini sukar bagi
kita untuk memberi batasan yang tepat dan bersifat menyeluruh.kelemahan lain
berada pada sifat majemuk (pluralistik) dari bahasa. Sebuah kata kadang-kadang
mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda umpamanya kata ilusi dalam kamus
umum bahasa indonesia mempunyai arti sebagai berikut: ilusi
(angan-angan;khayal;1.sesuatu yang memberdaya fikiran dengan memberikan kesan
yang pasu, 2.suatu gagasan yang keliru;suatu kepercayaan;yang tidak
berdasar;keadaan fikiran yang memberdaya seseorang.
Selain itu bahasa mempunyai beberapa
kata yang mempunyai arti yang sama.umpamanya pengertian tentang “ usaha kerja
sama yang terkordinasi dalam pencapai suatu tujuan tertentu “ di sebut sebagai
administrasi,manajemen,pengelolaan,dan tatalaksana. Suku Hanunoo dari Filipina
mempunyai 92 kata untuk beras sedangkan bahasa Eskimo mempunyai perbendaharaan
kata yang sangat banyak sekali untuk salju. Sifat majemuk dari bahsa ini sering
menimbulkan dengan apa yang disebut dengan kekacauan semantik, dimana dua orang
yang berkomunikasi menggunakan sebuah kata yang sama namun untuk pengertian
yang berbeda, atau sebaliknya, mereka menggunakan dua kata yang berbeda untuk
sebuah pengertian yang sama. Kelemahan ketiga bahasa sering bersifa
berputar-putar (sirkular) dalam menggunakan kata-kata terutama dalam member
ikan definisi. Umpanya kata “pengelolaan” didefinisikan sebagai “kegiatan yang dilakukan
dalam sebuah organisasi”. Sedangkan “ organisasi ” didefinisikan sebagai “ suatu bentuk kerja
sama yang merupakan wadah dari kegiatan pengelolaan” . Contoh lain yang kita
temukan adalah perkataan “data” yang diartikan sebagai “ bahan yang diolah menjadi
informasi” sedangkan “ informasi” diartikan sebagai “keterangan yang didapat
dari data” . tak dapat dihindarkan lagi bahwa dalam memberikan definisi maka
sebuah kata tergantung pada kata-kata yang lain. Hal ini sebenarnya tak ada
salahnya selama kata-kata yang dipergunkan itu sudah mempunyai pengertian yang
jelas dan bukan bersifat berputar-putar seperti tampak dalam contoh kita di
atas. Dalam bidang ilmu-ilmu sosisal masalah definisi ini makin rumit, sebab
seperti yang dikatakan Max Weber, ahli-ahli
ilmu sosialsering cenderung untuk selalu membuat definisi baru mengenai obyek
penelaahan ilmu-ilmu sosial, sebab mereka menganggap definisi yang dibuat oleh
orang lain sebagai “sikat gigi bekas”. Kelemahan lain dari bahasa adalah
konotasi yang bersifat emosional seperti yang telah kita bicarakan pada bagian
terdahulu.
Masalah
bahasa ini menjadi bahan pemikiran yang sungguh-sungguh dari pada ahli filsafat
modern. Kekacauna dalam filasafat menurut Wittgeinsten, disebabkan karena
“kebanyakan dari pernyataan dan pertanyaan ahli filsafat timbul dari kegagalan
mereka untuk menguasai logika bahasa”. Pengkajian filsafat, termasuk pengkajian
hakikat ilmu, pada dasarnya merupakan analisis logico- linguistik. Bagi aliaran filsafat tertentu, seper fisafat analitik, maka bahasa bukan saja
merupakan alat bagi bersifat dan berfikir, namun juga merupakan “bahan dasar
dan dalam hal tertentu merupakan hasil akhir dari filsafat”. Ahli filsafat
seperti Henri Bergson (1859-1941) membedakan anatara pengetahuan ayang bersifat
absolut yang didapat tanpa melalui bahsa dan pengetahuan yang bersifat relatif
yang didapat lewat perantaraan bahasa. Pengetahuan yang hakiki bukan didapat
lewat penalaran melainkan lewat intuisi ; tanpa diketahui kita sudah sampai
disana, dengan kebenaran yang membukakan pintu, entah dari mana datangnya. Dan
bahasa, menurut Whitehead, ”berhenti di belakang intuisi”.
Mungkin
ada baiknya kita menutup pembaasan kita mengenai bahasai ini dengan
mendengarkan nyanian Ritta Sugiarto diiringi Orkes Melayu Soneta; dengan
dangdutnya yang sangat instinktif merangsang proses fisiologi kita (debar
jantung dan hentak kaki); melodinya yang menyentuh emosi kita; dan syairnya
yang berfilsafat bahasa.
Daftar Pustaka
-
Prawironegoro,
Darsono. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan.
Jakarta: Nusantara Consulting.
-
Suriasumantri,
Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar