HASIL OBSERVASI MASYARAKAT BADUY
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
KAJIAN MASYARAKAT INDONESIA
Disusun oleh :
Bagus
Prasetyo
Gita Sonia
Sariossa Indri
Siti
Pahriyah
PKN Reguler 2010
JURUSAN ILMU
SOSIAL POLITIK
FAKULTAS ILMU
SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI JAKARTA
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur
senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyusun makalah ini. Makalah iniadalah hasil observasi kami secara langsung pada
mayarakat baduy tentang sistem pemerintahannya yang masih tradisional yang
menurut adat nenek moyang mereka, observasi kami lakukan di Kampung Baduy
selama tiga hari dua malam.
Ucapan
terima kasih kami sampaikan kepada IbuYasnita dan pak Tjipto selaku dosen mata kuliah Kajian Masyarakat indonesia ini atas bimbingannya. Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dan bermakna
sebagai pembelajaran bagi kita, khususnya pengetahuan mengenai yang masih memegang teguh tradisi kepercayaaan leluhur mereka. Apabila terdapat kekurangan dalam makalah ini, saran dan kritik
yang membangun sangat diharapkan.
Jakarta, 05 Mei 2011-
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. x
1.1. Latar belakang.................................................................................. x
2.2. Maksud dan tujuan........................................................................... x
3.3. Permasalahan.................................................................................... x
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... x
3.1.
Asal Usul Pemerintahan
Baduy.........................................................
3.2 Struktur Pemerintahan
Baduy..........................................................
BAB III PENUTUP............................................................................................. x
3.4.Kesimpulan........................................................................................ x
3.5.
Saran................................................................................................. x
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... x
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Masyarakat Baduy tinggal diwilayah Desa Kanekes , Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Luas wilayahnya 5103,8 ha yang
terdiri atas 200 ha hutan dan sisanya di gunakan untuk pemukiman masyarakat
baduy. Penduduknya terdiri dari 11.183 jiwa yang tersebar di 10 kampung yang
terdiri dari 3 kampung baduy dalam dan 7 kampung baduy dalam.
Menurut kepercayaan mereka rumah pada masyarakat baduy harus menghadap kearah utara dan selatan.
Rumahnya harus terbuat dari bambu dan anyaman dan tidak boleh menggunakan paku ( menurut adat).
Di rumah adat tediri dari dapur ( yang di gunakan untuk memasak dan makan-makan
keluarga), ada ruangan besar, dan teras. Mereka tidur menggunakan tikar namun
ada juga yang sudah menggunakan kasur.
Untuk pakaian, pada baduy dalam dan baduy luar mempunyai perbedaan.
Untuk baduy luar mereka mengenakan pakaian yang berwarna hitam, putih, dan
biru. Dan bagi pria mereka banyak yang menggunakan ikat kepala berwarna biru
yang bercorak batik, bahan dasarnya pun bebas dan model baju merekapun bebas,
itu bukti bahwa mereka sudah sedikit terpengaruh oleh budaya luar. Sedangkan
bagi para wanita mereka mengenakan kain panjang dari tumit sampai dada yang
berwarna biru kehitam-hitaman.
Untuk baduy dalam mereka menggunakan warna hitam dan putih. Bagi
pria mereka menggunakan baju lengan panjang yang bahan dasarnya harus terbuat
dari kapas asli dan harus di jahit tangan
( tidak seperti baduy luar yang sudah bebas).
Dan memakai ikat kepala berwarna putih untuk menutupi kepala mereka.
Untuk wanitanya tidak berbada jauh dengan baduy luar, yang berbeda hanyalah
bahan dasarnya.
Sejak tahun 1990-an Pemerintah Kabupaten Lebak menetapkan Baduy
sebagai obyek wisata. Sejak saat itu banyak para
wisatawan yang berdatangan ke baduy untuk tujuan yang berbeda-beda salah
satunya adalah penelitian. Penetapan Baduy sebagai obyek wisata terlihat dalam
Peraturan Daerah tentang Retribusi Kawasan Wisata yang dibuat tahun 1992. Baduy
termasuk dalam tujuh tempat wisata di Lebak yang "dikomersilkan".
Dengan kata lain, pemkab membebankan ongkos retribusi kepada para wisatawan.
Tarif masuk ke Baduy tergolong murah. Hanya dengan Rp 3.000 dan Rp 5.000,
wisatawan domestik dan mancanegara dapat memasuki kawasan Baduy.
Sementara untuk pelajar, pemkab menetapkan tarif Rp 500 per orang.
Awalnya, retribusi ditangani langsung oleh Pemkab Lebak, tetapi pada tahun 2006 dilimpahkan kepada pemerintah Desa Kanekes. Pemkab menargetkan pendapatan dari retribusi Baduy mencapai Rp 8 juta selama satu tahun. Awalnya masyarakat baduy merasa keberatan dengan hal itu karena mereka merasa di jadikan tontonan saja tanpa ada orang yang menyapa mereka dan resah dengan sikap wisatawan yang besikap gaduh juga dengan para tour guide yang datang tiba-tiba. Tapi sebenarnya hal itu berdampak positif bagi orang baduy karena warga Baduy. Perempuan Baduy bisa menjual kain tenun khas Baduy kepada wisatawan. Selain itu, terkadang warga juga mendapat uang "sewa" rumah dari para tamu meski besarnya hanya kisaran puluhan ribu rupiah.
Awalnya, retribusi ditangani langsung oleh Pemkab Lebak, tetapi pada tahun 2006 dilimpahkan kepada pemerintah Desa Kanekes. Pemkab menargetkan pendapatan dari retribusi Baduy mencapai Rp 8 juta selama satu tahun. Awalnya masyarakat baduy merasa keberatan dengan hal itu karena mereka merasa di jadikan tontonan saja tanpa ada orang yang menyapa mereka dan resah dengan sikap wisatawan yang besikap gaduh juga dengan para tour guide yang datang tiba-tiba. Tapi sebenarnya hal itu berdampak positif bagi orang baduy karena warga Baduy. Perempuan Baduy bisa menjual kain tenun khas Baduy kepada wisatawan. Selain itu, terkadang warga juga mendapat uang "sewa" rumah dari para tamu meski besarnya hanya kisaran puluhan ribu rupiah.
1.2.
Maksud
dan tujuan
Maksud dan tujuan
observasi kami ke masyarakat yang masih asli kesukuannya dalam hal ini
masyarakat Baduy adalah agar kami mengetahui bagaimana masyarakat yang masih primitif atau masih asli itu
menerapkan sistem pemerintahannya dalam kehidupan sehari-harinya, serta siapa
saja perangkat pemerintahannya, dan segala
hal yang mengenainya .
1.3.
Permasalahan
Ø Bagaimana Asal mula sistem pemerintahan Baduy ?
Ø Sistem pemerintaha yang seperti apa yang digunakan
oleh masyarakat Baduy ?
Ø Bagaimana Struktur pemerintahan Baduy ?
Ø Sankki apaka jika sistem pemerintahan seperti itu
tidak dijalankan ?
Ø Bagaima dukungan pemerintahan pusat / propinsi /
kabupaten terhadap sistem ini ?
Ø Apa manfaatnya jika warga menerapkan sistem ini ?
Ø Apa yang diharapkan terhadap sistem ini ?
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.Asal Mula Pemerintahan Suku
Baduy
Untuk mengetahui asal mula
pemimpin dan pamarentahan Baduy dapat ditelusuri dari folklor yang hidup di
tiga daerah tangtu yang berkaitan dengan manusia pertama yang turun ke dunia.
Tempat mula menurunkan para Batara sebutan lain untuk para leluhur mereka,
adalah di Sasaka Domas yang setelah menurunkan para Batara kemudian turun para
daleum, peristiwa itu mereka menyebutkan sebagaimana dikehendaki oleh nu
ngersakeun. Karena itu, tempat tersebut merupakan pusat dunia (Pancer Bumi) dan
tempat suci dari suatu awal kelahiran manusia serta Mandala Sunda.
Batara Patanjala merupakan
anak laki-laki kedua dari Batara Tunggal yang mempunyai 7 orang anak, 6 orang
laki-laki dan seorang perempuan. Mereka itulah oleh Orang Baduy dikenal sebagai
nenek moyang Orang Tangtu. Ketujuh anak Batara Pantajala, ialah daleum
Janggala, daleum Lagondi, daleum Putih Seda, daleum Cinangka, daleum Sorana,
Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu.
Daleum Janggala menurunkan
puun Cikeusik, daleum Langondi menurunkan Puun Cikertawana. Dan daleum Seda
Hurip penurunkan puun Cibeo. Sedangkan daleum Cinangka menurunkan para girang
seurat, daleum Sorana, menurunkan para kokolot dan Nini Hujung Galuh menurunkan
para jaro dangka.
Dalam perkembangannya
kemudian, setelah semua batara dan daleum menghilang, maka tinggal para puun
yang meneruskan kehadiran manusia di dunia. Itu maknanya, bahwa dari mulai ada
alam dan dunia hanya dihuni oleh dua orang, yaitu sepasang puun, yakni puun
Cikeusik. Tuturan tersebut, mengemukakan bahwa puun Cikeusik lah manusia
pertama yang ada di dunia. Manusia pertama di dunia atau yang tertua adalah
sepasang, yaitu puun Cikeusik. Baru kemudian menyusul puun Cikertawana dan
Cibeo. Tuturan lainnya, menyebutkan, bahwa kejeroan semuanya adalah anak-cucu
puun perempuan. Anak puun Cikeusik menjadi puun Cibeo, anaknya kemudian menjadi
puun Cikertawana.
Dengan
demikian, bagi orang Baduy seorang pemimpin dalam pamarentahan (jaro, girang
seurat, tangkesan kokolotan, kokolot, dan baresan), berasal dari keturunan para
puun yang artinya, satu sama lain terikat oleh garis kerabat. Dalam konteks
itu, ciri penting dalam pamarentahan Baduy, terletak pada diferensiasi peran
dan pembagian jabatan yang terpisahkan melalui struktur sosial, namun semuanya
terikat oleh satu hubungan kerabat yang erat.
Perbedaan peran yang mendasar antara para pemimpin
yang disebut puun dan yang disebut para jaro, adalah pada tanggung jawab yang
berurusan dengan aktivitasnya, karena para puun berurusan dengan dunia gaib
sedangkan para jaro bertugas menyelesaikan persoalan duniawi. Atau, dengan
perkataan lain, para puun berhubungan dengan dunia sakral dan para jaro
berhubungan dengan dunia profan. Oleh karena itu, para puun menerima tanggung
jawab tertinggi pada hal-hal yang berhubungan dengan pengaturan harmonisasi
kehidupan sosial dan religius, sehingga kehidupan warga masyarakatnya dapat
berlangsung dengan tertib.
Dalam situasi seperti itu warga masyarakat dituntut
patuh memenuhi ketentuan pikukuh yang telah digariskan para karukun.
Pelanggaran terhadap pikukuh berarti telah siap menerima hukuman berupa
pengusiran dari daerah tangtu. Atau, bagi masyarakat panamping melanggar
ketentuan itu berarti harus menangung kewajiban bekerja di huma puun, yang
lamanya disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran.
3.2.Sturktur Pemerintahan
Masyarakat Baduy mengenal dua
sistem pemerintahan yaitu sistem nasional dan sistem adat. dalam sistem
nasional, masyarakat baduy termasuk ke dalam wilayah Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. di daerah baduy terdapat
sejumlah kampung yang terbagi menjadi kampung tangtu, kampung panamping
dan kampung dangka. selain kampung tangtu juga terdapat rukun kampung
yang disebut kokolotan lembur.
Desa Kanekes dipimpin oleh
kepala desa yang disebut jaro pamarentah yang berada di bawah camat,
kecuali untuk urusan adat yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional
(adat) yang disebut puun. yang membedakan dengan kepala desa
lainnya adalah kepala desa Kanekes tidak dipilih oleh warga, tetapi ditunjuk
oleh puun, baru kemudian diajukan kepada bupati (melalui camat) untuk dikukuhkan
sebagai kepala desa. untuk saat ini yang menjabat sebagai jaro pamarentah
adalah Jaro Dainah.
Secara tradisional
pemerintahan pada masyarakat baduy bersorak kesukuan dan disebut
kapuunan, karena puun menjadi pimpinan tertinggi. Ada tiga
orang puun di wilayah baduy yaitu puun Cikeusik, puun Cibeo dan puun
Cikertawana. puun-puun tersebut merupakan “tri tunggal”. selain
berkuasa di wilayah masing-masing, mereka secara bersama-sama juga memegang
kekuasaan pemerintahan tradisional masyarakat baduy. walaupun merupakan
satu kesatuan, ketiga puun tersebut mempunyai wewenang tugas yang berlainan.
wewenang puun Cikeusik adalah menyangkut urusan keagamaan dan ketua
pengadilan adat yang menentukan pelaksanaan upacara-upacara adat (seren
taun, kawalu dan seba). dan memutuskan hukuman bagi pelanggar adat.
Baduy atau biasa disebut juga dengan masyarakat kanekes adalah nama
sebuah kelompok masyarakat adat Sunda di Banten. Suku Baduy tinggal di
pedalaman Jawa Barat, tepatnya di Desa
Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Di daerah Baduy
terdapat sejumlah kampung yang terbagi menjadi 3 ,yaitu : kampung tangtu /
kelompok tangtu ( Baduy dalam ), kampung panamping / kelompok
panamping ( Baduy luar ) dan kampung dangka / kelompok dangka.
* Kelompok tangtu (baduy dalam)
Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih
terisolir dan belum masuk kebudayaan luar.selain itu orang baduy dalam
merupakan yang paling patuh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang
telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat). Orang Baduy dalam tinggal di 3
kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Baduy Dalam
adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala
putih dan golok.
* Kelompok masyarakat panamping (baduy Luar)
Mereka tinggal di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu,
yang mengelilingi wilayah baduy dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas
mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Suku Baduy Luar biasanya
sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga
sudah mengenal kebudayaan luar, seperti bersekolah.
* Kelompok Baduy Dangka
Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh
dari luar.
Suku Baduy
memiliki tata pemerintahan sendiri dengan kepala suku sebagai pemimpinnya yang
disebut Puun. Pelaksanaan pemerintahan adat kepuunan dilaksanakan oleh jaro
yang dibagi kedalam 4 jabatan yang setiap jaro memiliki fungsi dan tugasnya
masing-masing. Dalam lembaga kapuunan terdapat beberapa jabatan
yang masing-masing jabatan memegang dan bertanggung jawab pada khas. Berikut
ini akan diuraikan masing-masing jabatan dalam lembaga kapuunan tersebut.
Puun
Puun
merupakan jabatan tertinggi dalam wilayah tangtu. Menurut pikukuh
“peraturan adat” jabatan puun berlangsung turun temurun, kecuali bila ada hal
yang tidak memungkinkan. Sehubungan dengan hal tersebut jabatan puun bisa
diwariskan kepada keturunannya atau kerabat dekatnya. Lama jabatan puun
tidak ditentukan. jangka waktu jabatan pada dasarnya ditentukan oleh
kemampuan seseorang memegang jabatan puun. Ada yang menjabat sampai tutup
usia, namun kebanyakan akan mengundurkan diri karena usia tua.
Ada tiga
orang puun di wilayah baduy yaitu puun Cikeusik, puun Cibeo dan puun
Cikertawana. puun-puun tersebut merupakan “tri tunggal”. Selain
berkuasa di wilayah masing-masing, Mereka secara bersama-sama juga memegang
kekuasaan pemerintahan tradisional masyarakat baduy. Walaupun merupakan
satu kesatuan, ketiga puun tersebut mempunyai wewenang tugas yang berlainan.
Wewenang puun Cikeusik adalah menyangkut urusan keagamaan dan ketua pengadilan
adat yang menentukan pelaksanaan upacara-upacara adat (seren taun, kawalu
dan seba) dan memutuskan hukuman bagi pelanggar adat. Wewenang
kapuunan Cibeo menyangkut pelayanan kepada warga dan tamu di kawasan baduy,
termasuk pada urusan administrator tertib wilayah, pelintas batas dan
berhubungan dengan daerah luar. Sedangkan wewenang kapuunan Cikertawana
menyangkut urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan atau sebagai badan
pelaksana langsung di lapangan yang memonitor permasalahan yang berhubungan
dengan kawasan baduy.
Girang Seurat
Girang seurat
atau kadang disebut seurat merupakan jabatan tertinggi kedua setelah puun yang
melaksanakan tugas sebagai “sekertaris” puun atau pemangku adat, juga bertugas
mengurus huma serang “ladang bersama” dan menjadi penghubung dan pembantu utama
puun. Setiap orang yang ingin menghadap atau bertemu puun harus melalui
girang seurat. Tamu dari luar lebih dihadapi oleh girang seurat yang
mewakili puun. Sebagai pembantu puun, girang seurat hanya ada di tangtu
Cikeusik dan Cibeo, sedangkan di Cikertawana tugas yang sama dipegang oleh
kokolot “tetua kampung”.
Jaro
Jaro
merupakan pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan. Tugas jaro
sangat berat karena meliputi segala macam urusan. Di Baduy dikenal empat
jabatan jaro yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan dan jaro
pamarentah. Jaro tangtu
bertugas sebagai pengawas dalam pelaksanaa hukum adat warga
tangtu. Ia bekerja sama dengan girang Seurat mendampingi
puun dalam upacara adat atau menjadi utusan kepala desa ke luar desa Kanekes.
Jaro Dangka bertugas menjaga,
mengurus dan memelihara tanah titipan leluhur yang berada di dalam
dan di luar Desa Kanekes. Ia juga bertugas menyadarkan kembali
warga tangtu yang dibuang karena melanggar adat. Jaro dangka
berjumlah sembilan orang, tujuh orang berada di luar desa Kanekes dan
dua lainnya berada di dalam desa. Kesembilan jaro
ditambah dengan tiga orang jaro tangtu disebut dengan jaro
duabelas yang dikepalai oleh salah seorang diantara mereka. pemimpin jaro
duabelas ini disebut jaro tanggungan duabelas. Jaro pamarentah bertugas sebagai
penghubung pemerintahan adat dan masyarakat baduy dengan
pemerintah dan bertindak sebagai kepala desa
Kanekes yang berkedudukan di Kaduketug. Dalam tugas jaro
pamarentah dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur.
Baresan
Baresan
adalah semacam petugas keamanan kampung yang bertugas dan bertanggungjawab
dalam bidang keamanan dan ketertiban. Mereka termasuk dalam anggota
sidang kapuunan atau semacam majelis yang beranggotakan sebelas orang di
Cikeusik, sembilan orang di Cibeo dan lima orang di Cikertawana. Mereka
juga dapat menggantikan puun menerima tamu yang akan menginap dan dalam
berbagai upacara adat.
Palawari
Palawari merupakan
kelompok khusus, semacam panitia tetap yang bertugas sebagai pembantu, pesuruh
dan perantara dalam berbagai kegiatan upacara adat. Mereka mendapat tugas
dari tangkesan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan persiapan dan pelaksanaan
suatu upacara adat, yakni menyediakan makanan untuk semua petugas dan warga yang
terlibat dalam upacara tersebut.
Tangkesan
Tangkesan merupakan ”menteri
kesehatan” atau dukun kepala dan sebagai atasan dari semua dukun yang ada di
baduy. Ia juga merupakan juru ramal bagi segala aspek kehidupan orang
baduy. Ia terlibat dalam penentuan orang yang pantas menjadi puun.
Ia juga orang yang memberi restu pada orang yang ingin menjadi dukun.
Oleh karena itu, orang yang menjabat sebagai tangkesan harus cendikia dan
menguasai ilmu obat-obatan dan mantera-mantera. sekalipun tangkesan dapat
memberikan nasihat dan menjadi tempat bertanya bagi puun, jabatan ini dapat
dipegang oleh orang baduy luar. Dalam hal ini, biasanya ia merupakan
keturunan dari tangkesan sebelumnya.
Ada
beberapa sebutan dukun pada masyarakat baduy, yakni paraji
(dukun beranak), panghulu (dukun khusus mengurus orang yang meninggal),
bengkong julu (dukun sunat untuk pria) dan bengkong bikang (dukun sunat untuk
wanita).
Wewenang kapuunan Cibeo menyangkut pelayanan kepada warga dan tamu di kawasan baduy, termasuk pada urusan administrator tertib wilayah, pelintas batas dan berhubungan dengan daerah luar. sedangkan wewenang kapuunan Cikertawana menyangkut urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan atau sebagai badan pelaksana langsung di lapangan yang memonitor permasalahan yang berhubungan dengan kawasan baduy.
Dalam lembaga
kapuunan terdapat beberapa jabatan yang masing-masing
jabatan memegang dan bertanggung jawab pada urusan khas.
berikut ini akan diuraikan masing-masing jabatan dalam lembaga kapuunan
tersebut.
BAB IV
PENUTUP
4.1
kesimpulan
Masyarakat Baduy memiliki dua sistem pemerintahan, yaitu sistem
pemerintahan daerah yang sesuai dengan ketentuan undang-undang dan Suku Baduy memiliki tata pemerintahan sendiri dengan kepala suku
sebagai pemimpinnya yang disebut Puun. Pelaksanaan pemerintahan adat kepuunan
dilaksanakan oleh jaro yang dibagi kedalam 4 jabatan yang setiap jaro memiliki
fungsi dan tugasnya masing-masing. Dalam lembaga
kapuunan terdapat beberapa jabatan yang masing-masing
jabatan memegang dan bertanggung jawab pada khas.
DAFTAR PUSTAKA
koentjaraningrat, masyarakat terasing indonesia,
jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar