A. Pengertian Filsafat
Secara
etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani dari kata “philo” berarti cinta
dan” sophia” yang berarti kebenaran, sementara itu menurut I.R. Pudjawijatna
(1963 : 1) “Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan
karena ingin lalu berusaha mencapai yang diinginkannya itu . Sofia artinya
kebijaksanaan , bijaksana artinya pandai, mengerti dengan mendalam, jadi
menurut namanya saja Filsafat boleh dimaknakan ingin mengerti dengan mendalam
atau cinta dengan kebijaksanaan. Kecintaan pada kebijaksanaan haruslah
dipandang sebagai suatu bentuk proses, artinya segala upaya pemikiran untuk
selalu mencari hal-hal yang bijaksana, bijaksana di dalamnya mengandung dua
makna yaitu baik dan benar, baik adalah sesuatu yang berdimensi etika,
sedangkan benar adalah sesuatu yang berdimensi rasional, jadi sesuatu yang
bijaksana adalah sesuatu yang etis dan logis. Dengan demikian berfilsafat
berarti selalu berusaha untuk berfikir guna mencapai kebaikan dan kebenaran,
berfikir dalam filsafat bukan sembarang berfikir namun berpikir secara radikal
sampai ke akar-akarnya, oleh karena itu meskipun berfilsafat mengandung
kegiatan berfikir, tapi tidak setiap kegiatan berfikir berarti filsafat atau
berfilsafat
Karena luasnya lingkungan pembahasan
ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsafat
memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi
ilmu filsafat dari filsuf Barat dan Timur di bawah ini:
- Plato
(427SM – 347SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur murid Socrates dan
guru Aristoteles, mengatakan: Filsafat adalah pengetahuan tentang segala
yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
- Aristoteles
(384 SM – 322SM) mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika,
logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat
menyelidiki sebab dan asas segala benda).
- Marcus
Tullius Cicero (106 SM – 43SM) politikus dan ahli pidato Romawi,
merumuskan: Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan
usaha-usaha untuk mencapainya.
- Al-Farabi
(meninggal 950M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan :
Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan
menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
- Immanuel
Kant (1724 -1804), yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan :
Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di
dalamnya empat persoalan, yaitu:
- Apakah
yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)
- Apakah
yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika)
- Sampai
di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)
- Prof. Dr. Fuad Hasan, guru
besar psikologi UI, menyimpulkan: Filsafat adalah suatu ikhtiar untuk
berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya
suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang
radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan
yang universal.
- Drs H. Hasbullah Bakry
merumuskan: ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu
dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga
dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang
dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu
seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
B.
Obyek
Filsafat
Objek Material dan Objek Formal
Ilmu
filsafat memiliki obyek material dan obyek formal.
1.
Obyek Material
Obyek material adalah apa yang dipelajari dan
dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia
yang mengembara menuju akhirat". Dalam gejala ini jelas ada tiga hal
menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia
(antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat
(teologi - filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup
beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi
dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab
pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain.
Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal
manusia dalam dunianya.
2.
Obyek Formal
Obyek Formal adalah sudut pandangan yang
ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau
sudut dari mana objek material itu di sorot.
Contoh : Objek materialnya adalah manusia
dan manusia ini di tinjau dari sudut pandangan yang berbeda-beda sehingga ada
beberapa ilmu yang mempelajari manusia di antaranya psikologi, antropologi,
sosiologi dan lain sebagainya.
Pada dasarnya filsafat atau berfilsafat bukanlah sesuatu yang asing dan terlepas dari kehidupan sehari-hari, karena segala sesuatu yang ada dan yang mungkin serta dapat difikirkan bisa menjadi objek filsafat apabila selalu dipertanyakan, difikirkan secara radikal guna mencapai kebenaran. Louis Kattsoff menyebutkan bahwa lapangan kerja filsafat itu bukan main luasnya yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia, Langeveld (1955) menyatakan bahwa filsafat itu berpangkal pada pemikiran keseluruhan serwa sekalian secara radikal dan menurut sistem, sementara itu Mulder (1966) menjelaskan bahwa tiap-tiap manusia yang mulai berfikir tentang diri sendiri dan tentang tempat-tempatnya dalam dunia akan menghadapi beberapa persoalan yang begitu penting, sehingga persoalan-persoalan itu boleh diberi nama persoalan-persoalan pokok yaitu : 1) Adakah Allah dan siapakan Allah itu ?, 2) apa dan siapakah manusia ?, dan 3) Apakah hakekat dari segala realitas, apakah maknanya, dan apakah intisarinya ?. Lebih jauh E.C. Ewing dalam bukunya Fundamental Questions of Philosophy (1962) menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat (secara tersirat menunjukan objek filsafat) ialah : Truth (kebenaran), Matter (materi), Mind (pikiran), The Relation of matter and mind (hubungan antara materi dan pikiran), Space and Time (ruang dan waktu), Cause (sebab-sebab), Freedom (kebebasan), Monism versus Pluralism (serba tunggal lawan serba jamak), dan God (Tuhan).
Pada dasarnya filsafat atau berfilsafat bukanlah sesuatu yang asing dan terlepas dari kehidupan sehari-hari, karena segala sesuatu yang ada dan yang mungkin serta dapat difikirkan bisa menjadi objek filsafat apabila selalu dipertanyakan, difikirkan secara radikal guna mencapai kebenaran. Louis Kattsoff menyebutkan bahwa lapangan kerja filsafat itu bukan main luasnya yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia, Langeveld (1955) menyatakan bahwa filsafat itu berpangkal pada pemikiran keseluruhan serwa sekalian secara radikal dan menurut sistem, sementara itu Mulder (1966) menjelaskan bahwa tiap-tiap manusia yang mulai berfikir tentang diri sendiri dan tentang tempat-tempatnya dalam dunia akan menghadapi beberapa persoalan yang begitu penting, sehingga persoalan-persoalan itu boleh diberi nama persoalan-persoalan pokok yaitu : 1) Adakah Allah dan siapakan Allah itu ?, 2) apa dan siapakah manusia ?, dan 3) Apakah hakekat dari segala realitas, apakah maknanya, dan apakah intisarinya ?. Lebih jauh E.C. Ewing dalam bukunya Fundamental Questions of Philosophy (1962) menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat (secara tersirat menunjukan objek filsafat) ialah : Truth (kebenaran), Matter (materi), Mind (pikiran), The Relation of matter and mind (hubungan antara materi dan pikiran), Space and Time (ruang dan waktu), Cause (sebab-sebab), Freedom (kebebasan), Monism versus Pluralism (serba tunggal lawan serba jamak), dan God (Tuhan).
Pendapat-pendapat tersebut di atas
menggambarkan betapa luas dan mencakupnya objek filsafat baik dilihat dari
substansi masalah maupun sudut pandang nya terhadap masalah.
sehingga dapat disimpulkan bahwa objek
filsafat adalah segala sesuatu yang maujud dalam sudut pandang dan kajian yang
mendalam (radikal). Secara lebih sistematis para akhli membagi objek filsafat
ke dalam objek material dan obyek formal. Obyek material adalah objek yang
secara wujudnya dapat dijadikan bahan telaahan dalam berfikir, sedangkan obyek
formal adalah objek yang menyangkut sudut pandang dalam melihat obyek material
tertentu.
Menurut Endang Saefudin Anshori (1981) objek material filsafat adalah
sarwa yang ada (segala sesuatu yang berwujud), yang pada garis besarnya dapat
dibagi atas tiga persoalan pokok yaitu : 1). Hakekat Tuhan; 2). Hakekat Alam;
dan 3). Hakekat manusia, sedangkan objek formal filsafat ialah usaha mencari
keterangan secara radikal terhadap objek material filsafat. Dengan demikian
objek material filsafat mengacu pada substansi yang ada dan mungkin ada yang
dapat difikirkan oleh manusia, sedangkan objek formal filsafat menggambarkan
tentang cara dan sifat berfikir terhadap objek material tersebut, dengan kata
lain objek formal filsafat mengacu pada sudut pandang yang digunakan dalam
memikirkan objek material filsafat.
C.
Sudut
pandangan filsafat
Terdapat tiga sudut pandang dalam
melihat Filsafat, sudut pandang ini menggambarkan variasi pemahaman dalam
menggunakan kata Filsafat, sehingga dalam penggunaannya mempunyai konotasi yang
berbeda. Adapun sudut pandang tersebut adalah :
1. Filsafat
sebagai metode berfikir (Philosophy as a method of thought)
Semua karakteristik manusia yang menggambargakan ketinggian dan keagungan pada dasarnya merupakan akibat dari anugrah akal yang dimilikinya, serta pemanfaatannya untuk kegiatan berfikir, bahkan Tuhan pun memberikan tugas kekhalifahan (yang terbingkai dalam perintah dan larangan) di muka bumi pada manusia tidak terlepas dari kapasitas akal untuk berfikir, berpengetahuan, serta membuat keputusan untuk melakukan dan atau tidak melakukan yang tanggungjawabnya inheren pada manusia, sehingga perlu dimintai pertanggungjawaban. Sutan Takdir Alisjahbana. Menyatakan bahwa pikiran memberi manusia pengetahuan yang dapat dipakainya sebagai pedoman dalam perbuatannya, sedangkan kemauanlah yang menjadi pendorong perbuatan mereka. Oleh karena itu berfikir merupakan atribut penting yang menjadikan manusia sebagai manusia, berfikir adalah fondasi dan kemauan adalah pendorongnya.
Semua karakteristik manusia yang menggambargakan ketinggian dan keagungan pada dasarnya merupakan akibat dari anugrah akal yang dimilikinya, serta pemanfaatannya untuk kegiatan berfikir, bahkan Tuhan pun memberikan tugas kekhalifahan (yang terbingkai dalam perintah dan larangan) di muka bumi pada manusia tidak terlepas dari kapasitas akal untuk berfikir, berpengetahuan, serta membuat keputusan untuk melakukan dan atau tidak melakukan yang tanggungjawabnya inheren pada manusia, sehingga perlu dimintai pertanggungjawaban. Sutan Takdir Alisjahbana. Menyatakan bahwa pikiran memberi manusia pengetahuan yang dapat dipakainya sebagai pedoman dalam perbuatannya, sedangkan kemauanlah yang menjadi pendorong perbuatan mereka. Oleh karena itu berfikir merupakan atribut penting yang menjadikan manusia sebagai manusia, berfikir adalah fondasi dan kemauan adalah pendorongnya.
Kalau berfikir (penggunaan kekuatan
akal) merupakan salah satu ciri penting yang membedakan manusia dengan hewan,
sekarang apa yang dimaksud berfikir, apakah setiap penggunaan akal dapat
dikategorikan berfikir, ataukah penggunaan akal dengan cara tertentu saja yang
disebut berfikir. Para akhli telah mencoba mendefinisikan makna berfikir dengan
rumusannya sendiri-sendiri, namun yang jelas tanpa akal nampaknya kegiatan berfikir
tidak mungkin dapat dilakukan, demikian juga pemilikan akal secara fisikal
tidak serta merta mengindikasikan kegiata berfikir.
Menurut J.M. Bochenski berfikir adalah perkembangan ide dan konsep, definisi ini nampak sangat sederhana namun substansinya cukup mendalam, berfikir bukanlah kegiatan fisik namun merupakan kegiatan mental, bila seseorang secara mental sedang mengikatkan diri dengan sesuatu dan sesuatu itu terus berjalan dalam ingatannya, maka orang tersebut bisa dikatakan sedang berfikir. Jika demikian berarti bahwa berfikir merupakan upaya untuk mencapai pengetahuan. Upaya mengikatkan diri dengan sesuatu merupakan upaya untuk menjadikan sesuatu itu ada dalam diri (gambaran mental) seseorang, dan jika itu terjadi tahulah dia, ini berarti bahwa dengan berfikir manusia akan mampu memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu manusia menjadi lebih mampu untuk melanjutkan tugas kekhalifahannya di muka bumi serta mampu memposisikan diri lebih tinggi dibanding makhluk lainnya.
Menurut J.M. Bochenski berfikir adalah perkembangan ide dan konsep, definisi ini nampak sangat sederhana namun substansinya cukup mendalam, berfikir bukanlah kegiatan fisik namun merupakan kegiatan mental, bila seseorang secara mental sedang mengikatkan diri dengan sesuatu dan sesuatu itu terus berjalan dalam ingatannya, maka orang tersebut bisa dikatakan sedang berfikir. Jika demikian berarti bahwa berfikir merupakan upaya untuk mencapai pengetahuan. Upaya mengikatkan diri dengan sesuatu merupakan upaya untuk menjadikan sesuatu itu ada dalam diri (gambaran mental) seseorang, dan jika itu terjadi tahulah dia, ini berarti bahwa dengan berfikir manusia akan mampu memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu manusia menjadi lebih mampu untuk melanjutkan tugas kekhalifahannya di muka bumi serta mampu memposisikan diri lebih tinggi dibanding makhluk lainnya.
Sementara itu Partap Sing Mehra
memberikan definisi berfikir (pemikiran) yaitu mencari sesuatu yang belum
diketahui berdasarkan sesuatu yang sudah diketahui. Definisi ini
mengindikasikan bahwa suatu kegiatan berfikir baru mungkin terjadi jika
akal/pikiran seseorang telah mengetahui sesuatu, kemudian sesuatu itu
dipergunakan untuk mengetahui sesuatu yang lain, sesuatu yang diketahui itu
bisa merupakan data, konsep atau sebuah idea, dan hal ini kemudian berkembang
atau dikembangkan sehingga diperoleh suatu yang kemudian diketahui atau bisa
juga disebut kesimpulan. Dengan demikian kedua definisi yang dikemukakan akhli
tersebut pada dasarnya bersifat saling melengkapi. Berfikir merupakan upaya
untuk memperoleh pengetahuan dan dengan pengetahuan tersebut proses berfikir
dapat terus berlanjut guna memperoleh pengetahuan yang baru, dan proses itu
tidak berhenti selama upaya pencarian pengetahuan terus dilakukan. Menurut
Jujus S Suriasumantri Berfikir merupakan suatu proses yang membuahkan
pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti
jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang
berupa pengetahuan. Dengan demikian berfikir mempunyai gradasi yang berbeda
dari berfikir sederhana sampai berfikir yang sulit, dari berfikir hanya untuk
mengikatkan subjek dan objek sampai dengan berfikir yang menuntut kesimpulan
berdasarkan ikatan tersebut. Sementara itu Partap Sing Mehra menyatakan bahwa
proses berfikir mencakup hal-hal sebagai berikut yaitu
•
Conception (pembentukan gagasan)
• Judgement (menentukan sesuatu)
• Reasoning (Pertimbangan pemikiran/penalaran)
• Judgement (menentukan sesuatu)
• Reasoning (Pertimbangan pemikiran/penalaran)
bila seseorang mengatakan bahwa dia sedang berfikir
tentang sesuatu, ini mungkin berarti bahwa dia sedang membentuk gagasan umum
tentang sesuatu, atau sedang menentukan sesuatu, atau sedang mempertimbangkan
(mencari argumentasi) berkaitan dengan sesuatu tersebut.
Cakupan proses berfikir sebagaimana
disebutkan di atas menggambarkan bentuk substansi pencapaian kesimpulan, dalam
setiap cakupan terbentang suatu proses (urutan) berfikir tertentu sesuai dengan
substansinya. Menurut John Dewey proses berfikir mempuyai urutan-urutan
(proses) sebagai berikut :
• Timbul rasa sulit, baik dalam bentuk adaptasi terhadap alat, sulit mengenai sifat, ataupun dalam menerangkan hal-hal yang muncul secara tiba-tiba.
•
Kemudian rasa sulit tersebut diberi definisi dalam bentuk permasalahan.
• Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotesa, inferensi atau teori.
• Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotesa, inferensi atau teori.
•
Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional melalui pembentukan implikasi dengan
jalan mengumpulkan bukti-bukti (data).
•
Menguatkan pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik melalui
keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan.
Sementara itu Kelly mengemukakan bahwa proses berfikir mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
• Timbul rasa sulit
•
Rasa sulit tersebut didefinisikan
•
Mencari suatu pemecahan sementara
•
Menambah keterangan terhadap pemecahan tadi yang menuju kepada kepercayaan
bahwa pemecahan tersebut adalah benar.
•
Melakukan pemecahan lebih lanjut dengan verifikasi eksperimental
•
Mengadakan penelitian terhadap penemuan-penemuan eksperimental menuju pemecahan
secara mental untuk diterima atau ditolak sehingga kembali menimbulkan rasa
sulit.
• Memberikan suatu pandangan ke depan atau gambaran
mental tentang situasi yang akan datang untuk dapat menggunakan pemecahan
tersebut secara tepat.
Urutan langkah (proses) berfikir seperti tersebut di atas lebih menggambarkan suatu cara berfikir ilmiah, yang pada dasarnya merupakan gradasi tertentu disamping berfikir biasa yang sederhana serta berfikir radikal filosofis, namun urutan tersebut dapat membantu bagaimana seseorang berfikir dengan cara yang benar, baik untuk hal-hal yang sederhana dan konkrit maupun hal-hal yang rumit dan abstrak, dan semua ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang berfikir tersebut.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa manusia mempunyai akal, untuk dipergunakan untuk memikirkan apa yang ada dialam semesta ini, mengingat manusia merupakan mahluk ciptaan tuhan yang paling sempurna, sekaligus sebagai pemimpin di muka bumi ini, ini sesuai dengan keterangan al-quran dalam surat Hud ayat 61 yang artinya:
Urutan langkah (proses) berfikir seperti tersebut di atas lebih menggambarkan suatu cara berfikir ilmiah, yang pada dasarnya merupakan gradasi tertentu disamping berfikir biasa yang sederhana serta berfikir radikal filosofis, namun urutan tersebut dapat membantu bagaimana seseorang berfikir dengan cara yang benar, baik untuk hal-hal yang sederhana dan konkrit maupun hal-hal yang rumit dan abstrak, dan semua ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang berfikir tersebut.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa manusia mempunyai akal, untuk dipergunakan untuk memikirkan apa yang ada dialam semesta ini, mengingat manusia merupakan mahluk ciptaan tuhan yang paling sempurna, sekaligus sebagai pemimpin di muka bumi ini, ini sesuai dengan keterangan al-quran dalam surat Hud ayat 61 yang artinya:
“ dan kepada Tsamud
(kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah
Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan
kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya[726], karena itu
mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku
Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
[726] Maksudnya: manusia dijadikan
penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.
2.
Filsafat sebagai pandangan hidup (Philosophy as a way of life).
Filsafat sebagai pandangan hidup
mengacu pada suatu keyakinan yang menjadi dasar dalam kehidupan baik
intelektual, emosional, maupun praktikal, sedangkan
3. Filsafat
sebagai Ilmu (Philosophy as a science)
Filsafat sebagai Ilmu artinya melihat
filsafat sebagai suatu disiplin ilmu yang mempunyai karakteristik yang khas
sesuai dengan sifat suatu ilmu.
A. Kesimpulan
Secara
etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani dari kata “philo” berarti cinta
dan” sophia” yang berarti kebenaran, sementara itu menurut I.R. Pudjawijatna
(1963 : 1) “Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan
karena ingin lalu berusaha mencapai yang diinginkannya itu. Ilmu
filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai
bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara
menuju akhirat". Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu
manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi),
filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi -
filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat
dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi,
sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang
yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan
filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam
dunianya.Obyek Formal adalah sudut pandangan yang
ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau
sudut dari mana objek material itu di sorot.dan Sudut pandangan filsafat terdiri atas Filsafat sebagai metode
berfikir, Filsafat sebagai pandangan hidup, Filsafat sebagai Ilmu.
Saran
Kepada
mahasiswa dapat menggali makalah filsafat ini dengan lebih tajam agar dapat
dikembangkan untuk menjadi pembelajaran kita bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar